Tahun 2023, menjadi tahun penentuan nasib bagi ribuan tenaga honorer yang bekerja di berbagai instansi pemerintah. Pasalnya karena Pemerintah akan menghapus tenaga honorer dan menggantinya dengan PNS dan PPK.
Entah kebetulan atau tidak, sejak bergulir kasus BRIN, pemerintah juga mengeluarkan wacana kebijakan baru soal PNS. Kebijakan ini mengacu pada UU Aparatur Sipil Negara (ASN), dan sesuai aturan ASN, paling lambat 2023, status pegawai di instansi pemerintah hanya ada dua pilihan, PNS atau PPPK.
BRIN sendiri melakukan penataan organisasi SDM lebih cepat, pada tahun 2022 ini, sejak pengintegrasian Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman tersebut ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Jadi BRIN menjadi contoh, percepatan implementasi kebijakan pengalihan status dari honorer, pegawai tidak tetap menjadi PNS dan PPPK.
Pemerintah yang Lebih Bersih
Beberapa poin yang menjadi landasan krusial kebijakan ini, terutama karena persoalan klasik soal sistem rekrutmen dan kebijakan pemerintah di tingkat lokal dalam penanganan tenaga honorer.Â
Sistem ini dipenuhi dengan berbagai kelemahan birokrasi, semacam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) kecil-kecilan di tingkat lokal.Â
Sehingga berita yang muncul ke permukaan juga tidak jauh dari tindakan moral hazard dengan warna yang kental. Intinya mekanisme rekrutmennya tidak melalui proses yang akuntabel.
Kebijakan honorer berbalut masalah itu dimungkinkan terjadi, karena mekanisme kebijakan itu dapat diotorisasi di tingkat lokal. Pegawai hononer, adalah pegawai instansi pemerintah yang selama ini diangkat  oleh Pejabat Pembina dengan delegasi tugas tertentu sesuai kebutuhan.Â
Ada payung legalitas yang melingkupinya,  PP Nomor 48 Tahun 2005 yang kemudian disempurnakan oleh PP Nomor 56 Tahun 2021, yang menyebutkan, tenaga honorer merupakan  pegawai non PNS dan non PPPK. Kewenangan beserta kompensasi di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah di tingkat lokal.
Pertanyaan kritisnya, apakah kompetensi, kapasitas dan keberadaan tenaga honorer tersebut telah sesuai dengan tingkat kebutuhan di masing-masing instansi? Apakah ketersediaan alokasi dana untuk menutupi dana kesejahteraan telah sesuai dengan kemampuan atau justru "mengganggu" dompet pemerintah di tingkat lokal? Dalam beberapa kasus juga ditemukan kas daerah mengalami krisis, salah satunya karena alokasi dana bagi kesejahteraan tenaga honorer yang jumlahnya tak lagi sepadan dengan kebutuhan riil di lapangan, dan tingkat kemampuan kas daerah menutupinya.