Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Benarkah Naturalisasi Timnas Kali Ini Demi Nasionalisme?

18 Januari 2022   04:51 Diperbarui: 18 Januari 2022   23:57 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

duel Sandy Walsh dalam sebuah laga-CNNIndonesia

Meski Haruna Soemitro melempar kritik, Shin Tae-yong (STY), kelihatannya akan tetap melenggang. Pasalnya PSSI pastikan Shin Tae-yong tetap tangani timnas Indonesia. 

Meski perseteruan antara Haruna dan STY terus menguat, namun penggemar sepak bola tanah air kelihatannya masih penasaran dengan langkah naturalisasi di PSSI yang dipilih STY. Di Twitter, bahkan menguat  #harunaout, sebagai dukungan bagi STY dan tanggapan atas kritik yang dilontarkan Haruna.

Kritik Tajam Untuk STY

Kritikannya apa lagi kalau bukan soal naturalisasi dan kaitannya dengan "kegagalan" timnas Indonesia meraih juara di Piala AFF 2020, serta kritik taktik yang diterapkan pelatih asal Korea Selatan tersebut. Haruna juga mempertanyakan kualitas pemain asing yang ingin dijadikan warga Indonesia. 

Menurut Haruna, jika hanya runner up, itu memang "tradisi" atau mungkin "kutukan" yang dimiliki timnas Indonesia. Haruna juga menyampaikan soal komitmen baru dengan STY tentang target,road map yang sama, dan keinginan pelatih harus sama dengan pelatih.

Dalam semangat optimisme baru, kita patut mendukung rencana STY, tanpa mencoba dulu, juga sebuah langkah yang patut disayangkan. Bisa jadi langkah ini adalah pembuka jalan bagi berkembangnya sepak bola tanah air. Apalagi STY tak main-main dengan komitmennya.

Demi mulusnya rencana itu, PSSI juga telah mengambil sikap tegas, agar friksi tidak menjadi bola liar, bahwa keputusan akhir terkait pelatih timnas dan juga program naturalisasi ada di tangan Ketua PSSI dan juga Komite Eksekutif (Exco).

Kita meyakini, pilihan ini sekalipun bukan atas dasar nasionalisme, namun bisa menjadi bibit penumbuh bangkitnya nasionalisme dari lapangan hijau. 

Kehadiran para naturalisasi berdarah Indonesia dari kelas atas liga-liga Eropa dapat menyuntikkan semangat nasionalisme itu. Selain soal gengsi, ini adalah cara baru menstimulasi dunia sepak bola Indonesia.

Bahkan semangat kita dalam mendorong Garuda Selecta saja membuat media asing merasa optimis terhadap capaian Indonesia dalam kurun sepuluh tahun kedepan. 

Lawan-lawan timnas di ASEAN saja, mengikut geliat dan tren menggunakan pelatih asal Korea. Terlepas dari pertimbangan prestasi dan performa timnas yang mengalami perbaikan, tren ini akan menguatkan persaingan yang positif.

Naturalisasi yang beda

Pilihan naturalisasi STY memang tak bisa dibandingkan dengan era kejayaan, Cristian Gonzales, Greg Nwokolo, Victor Igbonefo, Beto Gonzalves, karena mereka berdarah "asing". Naturalisasi ala STY, tidak hanya memilih pemain berdarah Indonesia, namun track recordnya juga sudah mendunia. 

Sebut saja Jordi Amat yang mentas di kasta tertinggi Liga Belgia bersama KAS Eupen, Sandy Walsh (KV Mechelen -- Belgia), Mees Hilgers (FC Twente -- Belanda) dan Ragnar Oratmangoen (Go Ahead Eagles -- Belanda).

Meskipun tidak dimaksudkan sebagai trial and error, pengalaman naturalisasi yang dilakukan PSSI dahulu, banyak yang belum berkontribusi maksimal bagi Timnas Indonesia. Naturalisasi saat ini adalah murni yang memiliki darah Indonesia. Program naturalisasi kali ini juga keinginan dari STY.

Sebenarnya pilihan STY terhadap empat pemain naturalisasi, terlepas dari niat nasionalisme, penguatan kapasitas timnas, bahkan trial and error, namun secara tidak langung pilihan ini juga turut "mengamankan" posisi STY. 

STY memainkan strategi sekali mendayung perahu, bisa melintasi dua tiga pulau. Barangkali sisi ini menjadi salah satu sasaran kritik, terutama dari "pesaing" yang merasa tidak puas dengan performa kepelatihan STY atau "kalah strategi" dengan pilihan naturalisasi ala STY sekarang ini.

Optimisme Baru Timnas

PSSI mentargetkan 4 pemain natualisasi bisa membela Timnas di babak ketiga kualifikasi Piala Asia 2023, Juni mendatang. Jelas kehadiran mereka belum apa-apa sudah memompa semangat timnas kita.

Bahkan tidak terbayangkan, bagaimana reaksi lawan-lawan timnas nantinya. Mau tidak mau, timnas lawan harus bekerja ekstra keras dengan "kejutan langkah STY tersebut.

Langkah STY termasuk untuk memupus ketakutan dan kekuatiran Haruna soal "kutukan" runner up yang bisa jadi dipatahkan dengan jurus kepelatihan STY yang jitu. Ada catatan khusus disematkan STY soal pilihan naturalisasi barunya.

Selain faktor alih kewarganegaraan pemain saat ini memiliki dua perbedaan dibanding tahun-tahun yang lalu.

Pertama; Proses naturalisasi saat ini dianggap lebih terarah karena sesuai dengan kebutuhan Shin Tae Yong selaku pelatih Timnas Indonesia.

Kedua; Hanya pemain-pemain dengan syarat tertentu yang diproses. "Saya hanya menginginkan pemain yang punya darah Indonesia alias keturunan. Bukan yang tidak ada darah keturunan. Jadi bukan hanya sekadar mengubah kewarganegaraan, tetapi pemain itu harus punya darah keturunan Indonesia," ujar Shin Tae-yong dilansir dari YouTube Deddy Corbuzier, Selasa (11/01/22).

Kelompok-kelompok yang pesimis dengan strategi naturalisasi baru ini beranggapan ini hanya cara usang. Belajar dari pengalaman kegagalan proyek sebelumnya, performa para naturalisasi tak membuat Indonesia bergeming dari posisi langganan runner up.

Sehingga menjadi trauma tersendiri. Kita tentu ingat bagaimana PSSI bersikeras meng-Indonesia-kan para pemain yang dianggap punya kualitas lebih baik dari talenta lokal.

Lantas menghadirkan nama-nama dalam rombongan pertama naturalisasi seperti Kim Jeffrey Kurniawan, Stefano Lilipaly, Raphael Maitimo, Jhonny van Beukering, Tonnie Cusell, hingga Diego Michiels. Para pemain ini dinaturalisasi lewat syarat lima tahun tinggal di Indonesia.

Bahkan kerasnya friksi yang timbul dari keputusan naturalisasi besar-besaran tersebut menimbulkan polemik seiring dengan konflik dualisme PSSI yang terjadi pada 2012.

Antara PSSI kubu Djohar Arifin dibawah FIFA dengan kompetisi Indonesia Premier League (IPL). Dan Indonesia Super League (ISL) yang berafiliasi kepada KPSI pimpinan La Nyalla Mattalatti.

Konflik ini merugikan timnas Indonesia yang berlaga di Piala AFF 2012, dan tidak lolos fase Grup B karena kalah bersaing dengan Singapura dan Malaysia.

Tentu saja tidak hanya para pemain yang dirugikan seperti Boaz Solossa, Ahmad Bustomi, Firman Utina, Kurnia Meiga, Muhammad Roby, dan Hamka Hamzah, namun juga timnas secara keseluruhan, hanya karena konflik internal.

Kita juga tidak mau mengulang blunder serupa dalam perseteruan Haruna dan STY kali ini.

Dengan pola naturalisasi yang dipilih STY, akan banyak keuntungan yang akan kita raih. Kita makin optimis terutama dalam usaha mendorong timnas lebih solid, dukungan pemain naturalisasi juga dapat menjadi stimulan performa timnas lebih baik lagi.

Sesi latihan dan tanding akan menjadi kesempatan bagi para pemain timnas Indonesia untuk belajar bagaimana bermain sepak bola dengan baik dan benar. Setidaknya kini ada nafas optimisme baru di bawah arahan STY.

referensi: 1,2,3,4,5,6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun