Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Go Dutch" Butuh Adaptasi Agar Tak Gagap Budaya

17 Januari 2022   10:03 Diperbarui: 18 Januari 2022   23:51 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kaskus

going-dutch-6-61e5e5a580a65a2a49381d85.jpg
going-dutch-6-61e5e5a580a65a2a49381d85.jpg
dictionary.com

Sewaktu berkantor di WWF, dalam satu ruangan saya selalu berbagi tempat dengan teman-teman 'bule' dari Amrik, Ausie, sampai Denmark. Satu yang selalu bikin risih soal makan BSS- Bayar sendiri-sendiri alias go dutch. Ini soal budaya silang yang harus dipahami- Cross Cultural Understanding (CCU) dengan "rasa", logika dan adaptasi.

Beda Budaya

Sebenarnya masalahnya tidak substansial, hanya saja, kita butuh adaptasi untuk membiasakannya. Di awal mereka kerja, karena lidah belum terbiasa makanan Indonesia, teman-teman mengorder ke 'warung" franchise (jaman itu belum ada makanan online selain Ka eF Ci). 

Begitu kiriman paket orderan makanan datang, mereka segera menikmati makanannya tanpa sedikitpun berbasa-basi mengajak makan. 

Mereka mungkin terbiasa berpikir lateral; cara pemecahan masalah dengan menggunakan pendekatan tidak langsung dan kreatif melalui penalaran yang tidak langsung terlihat.

Ini melibatkan ide-ide yang mungkin tidak dapat diperoleh hanya dengan menggunakan logika langkah-demi-langkah tradisional. Sebaliknya kita berpikir logis dan tradisional, jadi kita berbasa-basi.

Jadi mereka pikir, setiap orang akan makan karena kebutuhan, jadi jika tidak sekarang , pasti nanti juga akan makan, ini hanya soal waktu. Kita juga sama-sama kerja dan punya penghasilan jadi tak ada masalah dengan uang. Mereka juga disiplin kapan makan dan kapan waktunya kerja. Mungkin logika sederhananya begitu, tidak ada hubungan dengan etika dan sopan santun.

Sebaliknya yang terjadi, mereka harus membiasakan diri ketika, teman-teman dari Indonesia, justru menawari makanan ketika akan makan.  

Sesekali saya harus menyodorkan makanan ketika menawarkan, untuk memastikan kita  sedang mentraktirnya. Seorang teman bule yang berhasil belajar tradisi baru anti go dutch, bahkan akan duluan meminta makanan kita jika di rasa enak, kali ini tanpa basa-basi. 

Dalam budaya ketimuran, basa-basi itu sesuatu yang jamak. Bahkan kalau tidak  justru akan dianggap orang aneh dan tidak sopan.

Basa Basi Takut Basi

Di Barat sendiri istilah Bayar sendiri-sendiri (kadang disingkat BSS alias go dutch), adalah istilah yang digunakan untuk menandakan bahwa masing-masing orang yang terlibat dalam sebuah kegiatan berbayar,seperti makan malam, nongkrong, ngopi cantik, bertanggung jawab untuk membayar pengeluarannya sendiri. 

Hal ini merupakan kebalikan dari kegiatan berbayar yang dibiayai seluruhnya oleh satu orang saja, yang juga dikenal dengan istilah mentraktir.

Memang ketika teman-teman bule berniat "mentraktir", barulah mereka mangajak kita makan bersama. Begitupun kita masih menunggu , bahkan jika makanan pesanannya sudah ada di meja, dan belum dipersilahkan kita belum yakin ini traktiran apa pesanan buat sendiri, walaupun yang terhidang Pizza, ukuran ekstra large dua kotak lagi.

Butuh Adaptasi dan Rasa

Nah, setelah waktu berjalan, saya mencoba mempraktekkan kebiasaan go dutch kepada para teman bule, sebagai pembelajaran ilmu Cross Cultural Understanding, meskipun ternyata awalnya begitu sulit, karena melawan budaya dalam nurani sendiri. 

Mereka melihat kita makan dan bertanya, apa yang kita makan, meskipun pertanyaannya sebenarnya ditujukan, lebih karena mereka sedang bingung mau makan apa dan berharap jenis makanan kita bisa direkomendasi jadi pilihan makanan mereka saat itu karena sudah jam makan siang.

Ternyata susah juga mempraktekkan budaya yang bertentangan dengan ketimuran kita dalam wujud sebenarnya. Ternyata ilmu "ewuh pakewuh" dari nenek moyang kita seperti sudah jadi dogma. Tidak semudah sekedar copy paste, lalu semuanya menjadi nyaman.

Baru setelah beberapa minggu, saya seperti sedang bereksperimen, menenteng makanan dari kedai, masuk ke ruang kerja atau ruang makan, membuka makanan dan makan tanpa mengajak berbasa-basi, kecuali bersapa selamat pagi, sambil menghidupkan komputer. 

Lalu menanyakan kabar apakah mereka sudah sarapan?, sambil makan. Selanjutnya terserah anda, tapi tetap saja dalam hati bertanya-tanya, apa kira-kira pikiran mereka saat kita makan?.

Bahkan suatu ketika saya pernah berkeinginan diskusi soal ini, tapi setelah dipikir-pikir nantinya malah justru membuat saya serba salah, karena mereka "menyadari" ada beda budaya soal basa-basi, dan kita sudah mendiskusikannya, sambil "meluruskan" atau mengingatkan soal tawar- menawar dam wujud basa-basi. 

Ketika kita makan, mereka jadi teringat sama beda budaya itu, maka mereka juga akan basa-basi minimal dengan hanya mempersilahkan kita  makan.

Bahkan untuk makanan kecil jenis keripik saja, saya masih tetap serba salah. Padahal teman bule itu nyaris setiap hari mengunyah cemilan kacang dari toples yang selalu tersedia di depan mejanya dan tak pernah sekalipun menawari ke saya, bahkan sejak pertama kali masuk kantor. 

Sementara saya  yang juga punya toples kacang lebih lama umurnya dari kehadiran mereka tetap saja merasa "bersalah" jika tak berbasa-basi. Bahkan mereka tak pernah menyentuh walaupun kita tak ada disana, dan sudah kita kasih izin.

Mereka biasanya makan dengan santai, bahkan ketika kami ngobrol atau sedang mendiskusikan sesuatu, dengan santainya ia tega ngemil dengan memegang toplesnya sekalian. 

Bayangkan apakah kita bisa memegang toples di depannya sambil ngobrol dan sesekali ia akan melihat ke arah toples kita dan melihat kunyahan kita, tapi tak terbersit, masa sih aku tak ditawari?.

tribunstyle.com
tribunstyle.com

Pacaranpun bisa go ducth

Mungkin akan beda nuansanya dalam konteks jika bayar sendiri-sendiri itu dalam situasi atau hubungan antar-orang yang terlibat, apakah termasuk ke dalam jalan-jalan kasual dengan teman atau kencan dengan kekasih. 

Bahkan di barat, bule pacaran juga biasa bayar sendiri-sendiri. Kalau dipraktekkan di Indonesia, setelah kencan pertama lalu berakhir tragis dengan kata penutup', loe, gue end!!

Secara teori manusia tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan budayanya masing -masing sehingga membentuk dan menciptakan cara berpikir dan bertingkah laku yang khas.

Cara berpikir dan bertingkah laku tersebut merupakan hasil 'pengondisian budaya' cultural conditioning melalui proses panjang pendidikan dan pengajaran yang diberikan secara temurun oleh orang tua, guru, dan masyarakat sekitar kita baik secara langsung maupun tidak langsung.

Nah sering kali kita merasa yakin bahwa cara berpikir dan bertingkah laku serta sistem budaya yang kita anut adalah sistem yang baik, benar, dan normal.

Tapi ketika benturan masalah muncul saat kita melakukan kontak atau berinteraksi dengan orang-orang yang berasal dari lingkungan budaya yang berbeda, karena orang-orang yang berasal dari lingkungan budaya yang berbeda itu memiliki pola, kebutuhan, dan pilihan yang didasarkan atas pengondisian budaya mereka sendiri, semuanya bisa bikin semua serba salah jadinya

Maka pemahaman terhadap budaya orang lain atau budaya suatu masyarakat sangat penting, terutama bagi orang-orang yang sebut saja bekerja dalam industri pariwisata dan hospitalitas, termasuk diantaranya para manajer, para pengambil keputusan, atau para petugas yang dalam pekerjaan sehari-harinya melakukan hubungan, interaksi atau kontak langsung dengan orang-orang yang berasal dari dan memiliki kebudayaan yang berbeda. Di Indonesia ada pepatah bilang, ; "dimana bumi di pijak, di situ langit di junjung". Intinya ya pahami lingkungan baru dan beradaptasilah.

Jadi secara garis besar pemahaman lintas budaya tersebut antara lain mencakup pemahaman tentang nilai-nilai, kepercayaan, sikap, pola berpikir, adat istiadat, kebiasaan, bahasa, dan cara berkomunikasi.

Setidaknya memang butuh adaptasi, dan anehnya tradisi itu seringkali berpengaruh ketika kami sesama orang lokal, sedang makan bukan traktiran di kafe selepas kerja. 

Kami biasanya berbasa-basi dengan cukup bilang, it's going dutch time!. Beruntung karena teman juga punya pengalaman kerja dengan bule mereka mang-amini saja. Semua akan lebih mudah jika urusan kafenya ala Ka eF Ci tadi, coba saja di warung padang.

Dulu kalau ada teman yang mau mempraktikkan go dutch, dengan mendatangi kasir untuk bayar pesanannnya sendiri, kami  menggodanya dengan bilang, "eh nggak usah repot-repot dibayarin nanti biar kami bayar masing-masing".

Mengapa?, karena kebiasan kita jika mentraktir teman, kita tidak akan membayar di depan para tamu karena ini soal etika "ketimuran" itu. 

Jadi satu-satunya cara mengatasi gagap budaya dengan mempelajari seluk beluk budaya orang, bahkan jika budaya itu beda dengan kita kita harus ikut. Itulah maka ketika kita hendak main ke negeri orang, kita akan belajar adaptasiny terlebih dulu. 

Saya sempat heran ketika, mendengar, bahwa ternyata seorang bule ketika hendak "main" ke Asia, diajari bagaimana cara menggunakan WC jongkok dan cara "maaf' -ceboknya.

Tapi khusus untuk budaya go dutch, kita sepakat dan setuju saja, lumayanlah, kita tak perlu basa-basi, bahkan ketika mengajak orang makan di kafe, bahkan jika kafenya murah sekalipun.

referensi; 1, 2,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun