Namun, dari ketiganya, UU Ciptaker paling banyak menuai sorotan publik lantaran dinilai banyak memuat pasal-pasal kontroversial yang merugikan para buruh dan hanya mementingkan kepentingan investor. Inilah pesan inti dari demo para buruh;
Pertama; Upah minimum bersyarat Dalam RUU Ciptaker, Upah Minimum Sektoral (UMSK) dihapuskan dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memperhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi.Â
Besaran UMK Indonesia saat ini juga tidak lebih besar dibandingkan negara ASEAN lainnya, sehingga solusi yang tepat dalam konteks masalah ini adalah dengan melihat penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang memperoleh UMSK yang, bisa dieksekusi di tingkat nasional, terutama untuk beberapa daerah dan jenis indsutri tertentu saja.
Kedua; Besaran pesangon dikurangi, selain upah minimum. Sehingga memicu penolakan pemangkasan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah. Dalam UU Ciptaker, 19 bulan dilunasi oleh pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Mekanisme ini dianggap sangat aneh, karena keterlibatan BPJS dalam urusan membayar pesangon buruh.
Ketiga; Penghapusan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang skemanya mendapat penolakan keras dari para buruh, karena membuat peluang jaminan buruh menjadi karyawan tetap perusahaan semakin tidak jelas.
Keempat; Dalam UU Ciptaker soal jumlah jam kerja dianggap terlalu berlebihan dan cenderung eksploitatif terhadap buruh. Durasi pekerjaan paruh waktu menjadi paling  lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sementara, untuk buruh di sektor migas, perkebunan, pertambangan, dan sejenisnya, durasi jam kerja bisa melebihi 8 jam per hari.
Kelima; Kontrak outsourcing melalui UU Ciptaker dapat diberlakukan seumur hidup bagi para buruh dan diterapkan tanpa batas jenis pekerjaan.
Keenam; No work no pay, dalam urusan hak upah cuti. Meskipun cuti haid dan melahirkan tidak dihapuskan, namun selama cuti tersebut para buruh tidak akan menerima bayaran. Hilangnya hak upah cuti UU Ciptaker dinilai memangkas hak buruh perempuan, karena menyebabkan buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya.Â
Padahal hak itu harus tetap diberikan dan jika dilanggar bertentangan dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
Ketujuh; Dalam UU Ciptaker ditegaskan soal kompensasi bagi buruh yang akan diberikan apabila masa kerja telah mencapai minimal satu tahun. Sedangkan kontrak kerjanya tidak memiliki batasan waktu. Kondisi ini menyebabkan pekerja yang dikontrak di bawah satu tahun tidak akan bisa merasakan manfaat kompensasi kerja.
Artinya pihak yang seharusnya bertanggungjawab membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing bisa mengambil keuntungan secara sepihak. Peluang ini juga dapat dimanfaatkan para pengusaha untuk melakukan kontrak terhadap buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi. Padahal jumlah ini adalah komponen terbesar dalam barisan para pekerja, hingga mencapai 80 persen.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!