Mediaindonesia
Dalam Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A.Garner dijelaskan, bahwa omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once ; inculding many thing or having varius purposes. Intinya, dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan kebijakan ke-dalam satu UU payung.
Omnibus law terus menuai polemik tak berhenti. Seperti api dalam sekam, polemiknya kembali memanas. Termutakhir massa buruh menggelar demo di depan Gedung DPR RI, meminta anggota dewan itu mau membuka sedikit nurani, jika masih ada untuk berpihak kepada para buruh.Â
Tentu saja masih banyak alasan mengapa omnibus law, dianggap sebagai "momok"i para buruh hingga saat ini, utamanya soal ketidakadilan yang dianggap lebih berpihak pada kelompok "ber-uang".
Demo dan konstestasi 2024
Bahkan dalam demo besar yang berlangsung serentak di 34 propinsi, dalam minggu ini, masih terus akan menjadi agenda besar para buruh, mereka tetap konsisten pada tuntutan menolak omnibus law UU Cipta Kerja.Â
Orator perwakilan para buruh, bahkan mengajak masyarakat untuk tidak mendukung partai politik yang mendukung UU Cipta Kerja. Ini sebuah isu menarik, terutama karena berkaitan dengan kontestasi 2024.
Dalam situasi sosial bercampur politik, akan banyak tokoh berada dalam posisi dilematis, apalagi kelompok buruh adalah partisipan politik dengan massa yang besar. Bagi kekuatan oposisi pemerintah, bisa jadi ini sebuah peluang.
Karena tidak berada dalam barisan pemerintah yang berkuasa, mereka tak ada beban ketika menggunakan isu ini sebagai bagian dari kekuatan kampanye mereka.
Dalam konteks ini buruh dan serikatnya harus berhati-hati menyikapinya. Artinya sekalipun dukungan mereka realistis terhadap kepentingan para buruh namun kepentingan jangka panjang patut dipertimbangkan.Â
Bisa jadi para buruh dalam kondisi selalu ditekan kebijakan yang tidak pro buruh, secara pragmatis pasti akan mendukung aspirasi mereka.
Tapi bagi pemerintah berkuasa, mereka akan sangat berhati-hati menghadapi situasi yang krusial ini, termasuk peluang mereka jika ingin melanjutkan kekuasaannya.Â
Memilih "jalan aman" menjadi pilihan yang sulit. Namun menggunakan tindakan represif untuk menyelesaikan masalah menjadi solusi tidak populer secara politis.
Omnibus Law dan kaca mata berbeda
Dari sudut pandang pemerintah, alasan membuat Omnibus Law lantaran sudah terlalu banyak regulasi yang dibuat, yang kemudian menimbulkan persoalan tersendiri, seperti tumpang tindih regulasi, yang berdampak pada terhambatnya implementasi program pembangunan dan memburuknya iklim investasi di Indonesia.
Padahal satu sisi keuntungan dari keberadaa UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah pengurusan perizinan akan lebih mudah melalui satu pintu, sehingga menutup peluang munculnya praktik korupsi dan pungli satu pintu. Namun realitasnya muatan itu tetap saja belum mengakomodir keadilan bagi kelas pekerja.
Dalam UU tersebut juga sudah diatur bonus yang diterima buruh berbasis kinerja. Jumlah maksimal jam lembur juga ditambah dari tiga jam menjadi empat jam per hari.Â
Stimulan ini untuk mendorong produktifitas buruh.UU Ciptaker juga diangap oleh pemerintah mempermudah investor menanamkan modal usaha di Indonesia, untuk membangkitkan ekonomi dan menguntungkan pekerja namun juga tidak merugikan pengusaha, terutama juga terbukanya peluang kerja baru.
RUU Cipta Kerja diklaim juga memberikan kemudahan dan kepastian dalam proses perizinan melalui OSS (Online Single Submission), pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), dan kemudahan dalam mendirikan Perseroan Terbuka (PT) perseorangan.Â
UU Cipta kerja menjadi payung hukum bagi pelaku usaha, investor, pekerja, kalangan pencari kerja, serta UMKM dan industri padat karya. UU Cipta Kerja memberikan kesempatan para pekerja untuk mendapatkan pelatihan untuk mendapatkan pekerjaan.
Namun sisi tersebut masih berbenturan dengan pasal-pasal kontroversi yang dianggap secara sepihak tidak pro pekerja.
Mungkin menarik jika kita merujuk pada referensi Barbara Sinclair (2012), bahwa Omnibus Bill, merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.Â
Sementara dalam kasus Omnibus Law di Indonesia, salah satu kekurangannya, omnibus law UU Cipta Kerja, proses pembuatannya sangat cepat dan tidak partisipatif.
Penggunaan Omnibus Law telah banyak dilakukan oleh negara di dunia terutama yang menggunakan tradisi common law system. Di dunia terdapat dua sistem hukum yakni common law system dan civil law system.Â
Sementara Indonesia mewarisi tradisi civil law system, apakah hal ini bisa dijalankan dalam sisitem kultur hukum yang berbeda dan tidak dominan?
Ada apa lagi dengan Omnibus Law
Agar ada kesepahaman, kita bisa melihatnya dari sisi terminologi. Omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti "untuk semuanya".
Omnibus Law adalah konsep atau metode pembuatan regulasi yang menghimpun sejumlah aturan di mana substansi setiap aturan berbeda-beda, namun tergabung dalam satu paket hukum. Kelompok buruh sejak awal bergulir paket hukum Omnibus law atau Undang-undang "sapu jagat" telah menolak dengan keras.
Terdapat pasal kontroversi dalam omnibus law yang menjadi pangkal ketidak setujuan para buruh. Dulu tuntutannya kurang lebih meliputi tiga hal; pembatalan Omnibus Law UU Ciptaker oleh MK, bendung ledakan PHK, dan pemberlakuan upah minimum sektoral kabupetan,kota (UMSK) 2021.Â
Kini tuntutan itu semakin kompleks. Tetap menolak Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Kemudian, meminta revisi Surat Keputusan (SK) Gubernur terkait upah minimum kota/kabupaten (UMK) dengan kenaikan antara 5 persen-7 persen, dan terakhir meminta revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagai salah satu bagian dari Omnibus Law Ciptaker, ada regulasi terkait Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, serta Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.Â
Namun, dari ketiganya, UU Ciptaker paling banyak menuai sorotan publik lantaran dinilai banyak memuat pasal-pasal kontroversial yang merugikan para buruh dan hanya mementingkan kepentingan investor. Inilah pesan inti dari demo para buruh;
Pertama; Upah minimum bersyarat Dalam RUU Ciptaker, Upah Minimum Sektoral (UMSK) dihapuskan dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memperhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi.Â
Besaran UMK Indonesia saat ini juga tidak lebih besar dibandingkan negara ASEAN lainnya, sehingga solusi yang tepat dalam konteks masalah ini adalah dengan melihat penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang memperoleh UMSK yang, bisa dieksekusi di tingkat nasional, terutama untuk beberapa daerah dan jenis indsutri tertentu saja.
Kedua; Besaran pesangon dikurangi, selain upah minimum. Sehingga memicu penolakan pemangkasan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah. Dalam UU Ciptaker, 19 bulan dilunasi oleh pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Mekanisme ini dianggap sangat aneh, karena keterlibatan BPJS dalam urusan membayar pesangon buruh.
Ketiga; Penghapusan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang skemanya mendapat penolakan keras dari para buruh, karena membuat peluang jaminan buruh menjadi karyawan tetap perusahaan semakin tidak jelas.
Keempat; Dalam UU Ciptaker soal jumlah jam kerja dianggap terlalu berlebihan dan cenderung eksploitatif terhadap buruh. Durasi pekerjaan paruh waktu menjadi paling  lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sementara, untuk buruh di sektor migas, perkebunan, pertambangan, dan sejenisnya, durasi jam kerja bisa melebihi 8 jam per hari.
Kelima; Kontrak outsourcing melalui UU Ciptaker dapat diberlakukan seumur hidup bagi para buruh dan diterapkan tanpa batas jenis pekerjaan.
Keenam; No work no pay, dalam urusan hak upah cuti. Meskipun cuti haid dan melahirkan tidak dihapuskan, namun selama cuti tersebut para buruh tidak akan menerima bayaran. Hilangnya hak upah cuti UU Ciptaker dinilai memangkas hak buruh perempuan, karena menyebabkan buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya karena takut dipotong upahnya.Â
Padahal hak itu harus tetap diberikan dan jika dilanggar bertentangan dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
Ketujuh; Dalam UU Ciptaker ditegaskan soal kompensasi bagi buruh yang akan diberikan apabila masa kerja telah mencapai minimal satu tahun. Sedangkan kontrak kerjanya tidak memiliki batasan waktu. Kondisi ini menyebabkan pekerja yang dikontrak di bawah satu tahun tidak akan bisa merasakan manfaat kompensasi kerja.
Artinya pihak yang seharusnya bertanggungjawab membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing bisa mengambil keuntungan secara sepihak. Peluang ini juga dapat dimanfaatkan para pengusaha untuk melakukan kontrak terhadap buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar kompensasi. Padahal jumlah ini adalah komponen terbesar dalam barisan para pekerja, hingga mencapai 80 persen.
Kedelapan; Â Hari libur menjadi kebutuhan penting bagi para buruh, namun dalam Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, para pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Selain itu, Pasal ini juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan istirahat panjang dua bulan kepada pekerja yang telah berbakti selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.Â
Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan penuh. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja antar pihak yang melakukan kesepakatan kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Kontroversi yang belum  berhenti
Sejak disahkan DPR dan Diteken Jokowi Melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 5 Oktober 2020, UU Cipta Kerja resmi disahkan. Omnibus UU Cipta Kerja resmi diundangkan pada 2 November 2020 dengan jumlah halaman final 1.187 lembar.Â
Hingga kini muatan dalam pasal yang "disengketakan" antara para buruh, pengusaha dan pemerintah itu belum menemukan titik temu yang "berkeadilan".
Contoh yang aktual, dalam penetapan UMP DKI Jakarta terbaru 2022 kemarin, para pengusaha mempertimbangkan kenaikan UMP atas dasar kondisi pandemi, padahal dalam perkembangannya, ekonomi sudah mulai menunjukkan tingkat perubahan terutama setelah terbukanya sekat-sekat dalam pembatasan selama pandemi.
Bagi para pekerja kondisi ini dianggap tidak adil, apalagi kenaikan UMP seperti di DKI Jakarta, sebesar 5 persen kemudian juga diikuti dengan kenaikan harga-harga sembako dan barang lainnya, termasuk gas non subsidi.Â
Kenaikan UMP itu kemudian menjadi seperti tak berarti apa-apa. Karena kenaikan UMP pada akhirnya hanya untuk menambal sulam kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari.
Jadi jika ketidakadilan itu masih memihak pada para pengusaha, dan pemerintah, sekalipun dimaksudkan untuk tujuan-tujuan, melawan tindak koruptif, solusi satu pintu, serta meninggalkan para buruh dibelakang bisa jadi demo-demo itu akan terus berulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H