Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahasa Gaul Anak Jaksel, Buat Apa Dipermudah Kalau Bisa Dipersulit!

15 Januari 2022   21:26 Diperbarui: 25 Januari 2022   10:24 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebgaian kalangan justru mencibir gaya berbahasa anak Jaksel, sebagai melecehkan bahasa negara dan tak mencerminkan nasionalisme. Penggunaan bahasa campuran semacam ini, menandakan kusutnya pikiran si penutur bahasa dan ketidakmampuan dalam menyusun kalimat. Benarkah?. Pertanyaan krusial berikutnya mengapa muncul fenomena tersebut?.

Bahasa Jaksel Muncul Sekedar Tren atau Ketidakstabilan

Apa pendapat kita jika  diberi penjelasan oleh anak Jaksel sebagai berikut;  "Keminggris" atau bahasa Jaksel is Bahasa Indonesia yang usually digunakan sama anak-anak yang tinggal dan beraktifitas di Jaksel. Literally bahasa Jaksel adalah simbol sosial dikalangan anak-anak sekolah, anak kuliahan dan pekerja which is ngantor didaerah Jaksel, yah semacam bahasa gaul lah di Jaksel, either bahasa. Bagi awam jelas ini "ancaman", dalam memahami maksudnya.

Apakah ini sebuah trens atau cara berpikir yang salah dan aneh?. Lantas mengapa fenomena ini muncul juga. Sebut saja, ini adalah wujud ekspresi identitas. Mereka sedang menyampaikan "pesan" pada khalayak, kelompok di luar generasi mereka tentang sebuah eksistensi, bahwa inilah mereka. Mereka menyadari, identitas bahasa baru ini sebagai bagian dari dinamika mereka. Meskipun mungkin dianggap sebagai sebuah cara berpikir yang aneh. Pernah dengar pameo, "jika mudah untuk apa dipersulit?".

Jelas ada "rasa bahasa" yang hilang dalam frasa baru yang terasa sangat kaku, dalam format akronim, meskipun ternyata kata baru itu bisa mewakili sebuah kompleksitas penjelasan situasi dan kondisi dengan begitu sederhananya. 

Satu contoh, kata JOMO (Joy of Missing Out), acap dianggap sebagai cara terbaik untuk mengatasi FOMO, yaitu dengan meninggalkan internet dan acuh tak acuh terhadap tren. FOMO akronim dari fear of missing out, merupakan perasaan cemas yang timbul karena sesuatu yang menarik dan menyenangkan sedang terjadi, sering disebabkan karena unggahan di media sosial. 

Dengan begitu panjang penjelasan, namun cukup hanya diucapkan atau diwakili kata "FOMO". Sekali lagi, ini menjadi salah satu bukti bahwa anak-anak milenial salah satu cirinya adalah keterhubungan dengan akses informasi, yang sangat disruptif, bergerak sangat cepat disertai perubahan yang cepat.

Mereka tak pernah mau ketinggalan, apalagi gadget berada di tangan mereka nyaris 24 jam, hanya saat tidur atau ketiduran saja mereka putus informasi. 

Bahkan jika mereka menggunakan fasilitas media sosial yang intens dalam komunikasi mereka, mereka akan mendapatkan up date informasi bahkan ketika mereka tengah tidur pulas dan bermimpi indah. 

Dengan jenaka ada yang bilang, sebelum tidur harus menyiapkan gadget tidak jauh-jauh dari mereka, agar dalam mimpi pun mereka bisa eksis.

Bahkan dalam jutaan informasi yang bersliweran dengan cepat di ruang sosial media, anak-anak milenial tetap dapat menemukan cara mengaktualkan identitas dan eksistensinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun