Ketika ekonomi kusut di terpa pandemi covid-19, Omicron, kabar gembira kenaikan UMP ternyata hanya sesaat dirasakan karena kebijakan susulan justru memukul kembali "pendapatan" tambahan ke level biasa.Â
Besaran UMP sebelum revisi, kenaikannya hanya sebesar 0,8 persen. Untuk Jakarta, jelas sangat memilukan, untunglah ada revisi, sehingga UMP Jakarta, naik 5,1 persen, kenaikan yang lumayan dari angka UMP sebelumnya.Â
Dari besaran Rp 4.452.724 (0,8%) naik sebesar Rp 225.667 dari UMP 2021, menjadi Rp4.641.854,-.Acuannya  adalah Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1395 Tahun 2021 tentang UMP DKI Jakarta 2022.Â
Selanjutnya, ketika UMP naik, barang ikutan naik dan gas nonsubsidi akhirnya ikut melonjak. Apa ada gunanya, jika nilai uang dinaikkan jika dibarengi inflasi?.Â
Kebijakan kenaikan UMP juga tidak serta merta dinikmati semua kalangan. Aturan mainnya, UMP baru akan diberlakukan bagi para pekerja yang belum genap setahun, ia berhak atas UMR baru. Jika ia pekerja lama akan disesuaikan dengan masa kerja.Â
Proses penghitungan Take Home Pay-nya juga mempertimbangkan banyak faktor, termasuk penambahan pendapatan rutin, pendapatan insidental serta dikurangi komponen pemotongan gaji. Jadi pengertian take home pay bukan sekedar gaji pokok belaka, karena itu dua hal yang berbeda.
Jadi berapa besaran gaji (brutto) yang bisa dibawa pulang alias Take Home Pay, yaitu jumlah pembayaran setelah mendapat potongan (netto). Seorang pekerja harus memilih tempat kerja yang bisa dihitung masa kerjanya, dan mendapat fasilitas UMP, agar tidak sia-sia, cuma jadi buruh harian belaka.
Inflasi Baru Awal Tahun
Tapi seperti biasa, kenaikan UMP selalu pararel dengan kenaikan beberapa harga kebutuhan pokok selain pangan, termasuk gas elpiji non subsidi juga ikut naik. Kenaikan makin berganda, karena kenaikan gas juga memicu kenaikan sembako dan barang "berbasis" gas.
Dengan kondisi ekonomi paska pandemi, inflasi yang bergerak naik, besaran gaji take home pay para pekerja makin berada dalam posisi dilematis.Â