Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kurikulum Prototipe 2022, Kurikulum yang Mengerti Kita

31 Desember 2021   14:55 Diperbarui: 1 Januari 2022   17:48 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sebenarnya daya tarik kurikulum prototipe 2022 dibandingkan dengan kurikulum 2013. Ketika kita menganalisis materi dalam kurikulum prototipe, ada tiga hal di sana; kurikulum 2013, kurikulum 2013 yang disederhanakan, dan kurikulum prototipe itu sendiri.

Kita dan Stereotip Sekolah

Dulu, sejak di kelas satu sekolah menengah atas, kita sudah mendapat penilaian dari para guru, akan duduk di kelas mana selanjutnya di kelas 2 dan 3 berdasarkan akumulasi perolehan nilai selama kelas sebelumnya. 

Apakah di kelas IPS atau kelas IPA. Dahulu, perbedaan antara  S dan A itu sangat signifikan, banyak sekolah yang memperbanyak kelas IPA-nya daripada kelas IPS-nya, karena alasan sederhana soal gengsi sekolah.

Semakin banyak kelas IPA-nya itu artinya makin bonafid sekolahnya, sebabnya tidak lain karena stereotip yang sudah dibentuk dan terbentuk sejak lama adalah bahwa kelas IPA adalah kelas unggul dibandingkan kelas IPS. 

Dok IDNtimes
Dok IDNtimes
Kelas IPA adalah kelas para anak cerdas atau minimal berkemampuan eksakta, kelas khusus anak-anak peminat pelajaran yang ribet, seperti Fisika, Kimia, Matematika. Ukuran itulah yang menyebabkan kelas IPS yang cuma belajar, sosiologi, bahasa, ekonomi akhirnya menjadi kelas peringkat 2 derajatnya dibanding IPA.

Apakah hal itu sebenarnya positif, tergantung pada bagaimana mengeksekusinya. Banyak sekolah dahulu, sangat tergantung pada penilaian yang sebenarnya subjektif. Sebabnya karena tidak semua anak-anak yang bernilai tinggi di pelajaran eksakta atau kelas IPA adalah para saintis sejati. 

Ada kalanya mereka justru memiliki ilmu pengetahuan sosial, kemampuan bahasa yang lebih baik daripada nilai eksaknya. Artinya nilai itu bisa jadi bersifat semu, ketika dikaitkan dengan passion, hobby, dan minatnya. Sehingga tidak bisa pukul rata, menjustifikasi ketika anak bernilai rerata tinggi, kemudian solusinya masuk kelas IPA.

Nah problem inilah yang sedang dijembatani oleh kurikulum prototipe 2022.

Pertama, berdasarkan pengalaman selama pandemi,  ketika anak-anak belajar secara daring, banyak titik lemah yang muncul, sebab kurikulum darurat pandemi belum bisa mengakomodasi kebutuhan materi belajar dan pembelajaran di sekolah yang tepat. 

Kita juga menemukan realitas materi dan bahan ajar yang sangat terbatas menyebabkan anak-anak dengan kesulitan bidang eksakta mengalami masalah.

Dok zonariau
Dok zonariau
Salah satu wujud kekhawatiran itu adalah munculnya fenomena loss learning atau hilangnya kemampuan anak-anak dalam memahami materi pelajaran akibat kondisi seperti pandemi, dengan sisitem belajar daring. Bahkan ketika kita memodifikasi model pembelajaran dengan kombinasi daring-luring-blended learning-pun, masalah itu juga masih muncul. Sehingga jalan keluar mengatasi problem loss learning adalah, lebih jeli melihat minat bakat anak-anak saat belajar di sekolah.

Kedua, kita sudah belajar dari pengalaman kurikulum 2013 ketika sebelum pandemi. 

Kurikulum 2013 sangat menarik, karena memadukan antara teori dan praksis. Anak-anak tidak hanya fokus belajar, namun juga memikirkan apa relevansi ilmu yang dipelajari di kelas dengan kehidupan sebenarnya. Serta bagaimana mengaplikasikannya dengan pengalamannya kelak dalam kehidupan sosial dalam masyarakat.

Sayangnya, ketika belum optimal dilaksanakan,  akhirnya kita berada dalam situasi pandemi yang memunculkan kekhawatiran  fenomena loss learning.

Dok muslimobsession
Dok muslimobsession
Memutus Problem Link and Match

Banyak pembelajaran dari pandemi yang kemudian menjadi inisiasi kita untuk menciptakan kurikulum yang bisa menjembatani masalah-masalah yang kita temukan. Salah satunya adalah, apakah sebenarnya pilihan anak-anak di kelas IPA atau IPS ada korelasinya dengan semakin meningkatnya kemampuan anak-anak ketika melanjutkan ke jenjang lebih tinggi?

Apakah kualitas Perguruan Tinggi (PT) juga dipengaruhi oleh pilihan-pilihan yang salah ketika di sekolah?. Artinya ketika ada anak-anak yang berkelas IPS mengambil jurusan di PT ternyata hanya mendapat jatah fakultas berbasis IPS saja. Sedangkan anak berjurusan IPA lebih beruntung karena bisa memilih jurusan IPS. Bisa jadi berpengaruh pada minat sebenarnya daripada formalitas ijazahnya.

Kondisi  penjurusan di PT dan peluang lulusan Sekolah menengah didasarkan pada jenis kelas yang diambil juga menyebabkan timbulnyamasalah;

Pertama, sekolah dengan prioritas kelas IPA menjadi tumbuh subur.

Kedua, kondisi ini memposisikan kelas IPS sebagai "kelas dua". 

Ketiga, anak-anak yang karena kesalahan penilaian di sekolah, terjerumus ke dalam kelas IPA, padahal passion sebenarnya adalah sosial. Kondisi sekolah, sistem penilaian sekolah, kondisi keluarga, kondisi sosial ekonomi, bisa menyumbang kemungkinan anak-anak berpassion IPA, terjerembab dalam kelas IPS ketika sistemnya berlaku seperti  sebelum kurikulum prototipe 2022.

Kondisi ini menjadi problem jangka panjang., dan bisa jadi  "menyumbang" problem link and match sebagai problem klasik para lulusan PT ketika berhadapan dengan bursa tenaga kerja, karena kesalahan pilihan jurusan.

Kejadian paling sering terjadi adalah, lulusan teknik bekerja di industri perbankan. Lulusan jurusan profesi akuntansi, bekerja menjadi desainer. Seorang dokter bekerja sebagai master chief di sebuah resto terkenal. Ilmu mereka menjadi tidak pararel dengan dunia kerja. Kondisi ini dalam pemetaan dunia kerja menjadi sesuatu yang sulit.

Bahkan ada sebuah perusahaan ketika memilih tenaga kerjanya, melihat berdasarkan inisiatifnya, yang dilihat dari jenis golongan darah, horoskop zodiak, bahkan faktor fengshui-nya.

Dok sumselsatu
Dok sumselsatu
Memutus Gap

Kurikulum prototipe berusaha menghilangkan gap. Sebagaimana kita memahami sebuah dunia yang flat, dunia datar ala Thomas L  Friedman. Kini dunia semakin masuk dalam dunia digital, dunia meteverse, realitas semakin semu, dan tanpa batas.

Lantas bagaimana kurikulum prototipe bekerja dalam mengatasi problem pendidikan kita sebenarnya?.

Kurikulum ketika dirancang memang ibarat mendiagnosis penyakit, sehingga obat yang diberikan tidak hanya harus tepat jenis, tapi juga tepat dosis. Persoalan korelasi antar minat anak, pemilihan kelas dan jurusan, dan kaitannya dengan pilihannya ketika kuliah, paralelisasi ilmu,dan fokusnya telah lama menjadi persoalan. 

Barangkali salah satu titik lemah lulusan yang tidak link and match dengan dunia kerja salah satunya, sumbernya berasal dari ketidaksinkronan antara minat dan pilihan jurusan ketika di PT.

Banyak pengalaman realitas dunia kerja, di mana seorang guru yang hanya bisa mendidik, namun tidak memiliki kemampuan pedagogik atau minat dibidang pendidikan. Namun sebaliknya orang yang berskill eksak  justru mumpuni sebagai guru, selain faktor karakteristik orang, faktor problem salah jurusan bisa menjadi penyebab yang melatarbelakanginya.  Lebih dari itu, sebenarnya substansinya berkaitan dengan minat atau passion dasar yang dimiliki setiap orang yang beragam.

Kurikulum yang mengerti kita

Sebuah ilustrasi menarik menggambarkan bagaimana bekerjanya kurikulum prototipe 2022, dengan melihat kemampuan, minat dan bakat setiap orang yang berbeda, digambarkan dengan ilustrasi yang sangat jitu oleh Kak Setok, dalam cerita, "Sekolah Para Penghuni Rimba";. Coba renungkan sejenak.

"Tersebutlah sebuah kisah di hutan belantara yang lebat. Di sana akan dibuat sebuah sekolah untuk para hewan yang ada di hutan. Adapun mata pelajaran pokok yang akan diajarkan adalah berlari, memanjat, terbang, dan berenang. 

Dengan demikian, maka semua murid yang berprestasi diharapkan akan mampu menguasai keempat mata pelajaran pokok tersebut. Namun apa yang terjadi kemudian?.

Si Kucing Hutan ternyata amat pandai dalam mata pelajaran berlari dan memanjat. Dengan cepat ia dapat mengejar mangsanya, bahkan sampai ke bagian atas pohon yang cukup tinggi. 

Namun, sayangnya, ia cukup mengalami kesulitan dalam mata pelajaran berenang karena ia memang sangat takut pada air. Apalagi dalam pelajaran terbang. Berkali-kali ia memanjat pohon yang cukup tinggi, kemudian mencoba melompat ke bawah bagaikan seekor burung yang hendak terbang. 

Tapi bagaimana akibatnya? Berkali-kali itu pula si Kucing Hutan jatuh terguling-guling di tanah dengan kesakitan karena kakinya terkilir. Akibatnya, ia malah tidak mampu berlari dan memanjat sama sekali, suatu bidang yang semula amat dikuasainya dengan baik.

Lain halnya dengan si Bebek, ia cukup mahir dalam mata pelajaran berenang, terbang pun untuk jarak yang tidak terlampau jauh ia mampu, namun untuk berlari dengan cepat, ia mengalami kesulitan. 

Apalagi untuk memanjat pohon. Bahkan berkali-kali ia mencoba untuk memanjat pohon, sampai akhirnya kakinya lecet-lecet dan berdarah. Usahanya sia-sia, malah karena luka-luka yang dialaminya, ia jadi terhambat untuk berenang dan terbang dengan lancar, yang semula amat dikuasai dengan baik. Sayang sekali bukan?".

Kisah itu menunjukkan bagaimana kurikulum prototipe 2022, bekerja. Sehingga jika berjalan sesuai harapan, maka kurikulum prototipe ini adalah kurikulum yang bisa mengerti kita.

Kurikulum prototipe tidak hanya menyelesaikan satu persoalan kekhawatiran loss learning saja, namun memutus sebuah mata rantai kondisi yang sudah akut dan menahun terkait dengan bagaimana anak bisa memilih dengan leluasa berdasarkan kemampuan dan passionnya. Tidak lagi hanya dipatok dari  ukuran-ukuran yang sangat subjektif dari sekedar nilai.

Karena sebenarnya nilai tinggi juga bukan ukuran tepat untuk mengambarkan kecerdasan seseorang. Justifikasi nilai tinggi berarti cerdas saja bisa salah, artinya di sana ada faktor komitmen belajar, kemampuan daya serap, cara berpikir, kondisi ekonomi, passion, hobby dan lainnya yang sering luput dinilai, semuanya bisa memengaruhi penilaian yang akan kita lakukan.

Ketika seseorang memiliki minat bidang teknik industri, maka ia akan mempelajari tentang teknik, pelajaran lingkungan, sosiologi, karena kemampuan mendesain, memahami industri berkorelasi dengan kelestarian lingkungan dan pengelolaan limbah.

Dalam teknik industri seorang mahasiswa tidak hanya belajar tentang bagaimana produk diciptakan sebagai bagian dari desain produk, bahkan proses bagaimana mengolahnya ketika benda telah menjadi limbah juga menjadi konsen ilmunya. 

Termasuk soal kesehatan, bagaimana sebuah produk harus memiliki sisi ergonomi, agar selain memudahkan, sebuah produk juga aman dari sisi kesehatan. Intinya sebuah ilmu memiliki korelasi dengan kehidupan sosial kita yang luas.

Apalagi, ketika seseorang berminat menjadi guru, banyak aspek daripada sekadar pelajaran ilmu pendidikan, seperti pedagogik. Ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, bahkan berperan besar menjadikan seseorang guru yang tepat bagi para muridnya.

Semoga pilihan kita ber-kurikulum prototipe menjadi arah perubahan baru pendidikan kita.

referensi": 1, 2, 3, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun