Tsunami Aceh dicatat dalam peristiwa dunia, tsunami terbesar kedua dalam 100 tahun terakhir, Â sejak gempa besar melanda Chile dengan kekuatan 9,5 skala Richter.
Menunggu Harapan Baik
Malamnya kami mencari titik untuk mengungsi dan mencari dapur darurat untuk mendapatkan makan malam, sambil terus mencari. Di bawah jembatan yang menghubungkan kampus, ke arah kota, saya menemukan mobilpick up terbalik, warnanya persis sama dengan yang mmebawa rombongan istri dan anak, kami sudah berkali-kali memastikan tapi tak satupun orang atau apapun tersisa, mobil dalam keadaan hancur.
Dengan harapan yang hampir putus asa, saya kembali ke posko dan menunggu semuanya. Menurut kabar dari orang-orang, istri dan anak katanya selamat, tapi sekarang posisinya sedang dalam pengungsian di daerah Indrapuri. Daerah yang jauhnya setengah jam perjalanan. jadi saya berpikir selama mereka aman, sudahlah, jadi saya tak menyusul kesana karena tak satupun kendaraan yang beroperasi di malam hari.
Malam itu saya habiskan tidur dipondok, satu-satunya tempat yang tersisa karena seluruh ruangan lain di gedung terisi anak-anak dan perempuan. Termasuk para korban yang tengah mendapat perawatan medis.
Pagi sekali, ketika air genangan tsunami sudah mulai surut, tinggal setinggi leher, kami kembali ke perumahan melihat situasi, apalagi ada kabar, para pencuri yang entah datang dari mana memanfaatkan situasi untuk mengambil apa saja yang dianggap layak dicuri.
Setelah bersusah payah, kami sampai di rumah, dan memutuskan malam itu untuk tinggal di lantai dua dengan beberapa orang, tapi semakin air surut, ternyata begitu banyak korban yang semakin terlihat, diantara perasaan takut dan iba, kami memutuskan hanya menolong yang masih selamat, sementara yang sudah tiada kami biarkan menunggu pertolongan tim khusus, kami hanya memberitahukan di mana saja titik para korban yang sudah kami tandai.
Beruntung siangnya, semua anggota keluarga terkumpul dan semuanya selamat. saya juga mendapat kabar, ternyata tim dari kantor WWF Indonesia, tempat saya bekerja, sudah menyebarkan selebaran mencari stafnya untuk dievakuasi. Ada bantuan dari WWF Internasional yang mengharuskan kami harus dievakuasi.
Maka seluruh anggota keluarga yang berhasil di temukan kontaknya sebanyak 14 orang, kami dievakuasi menggunakan Boing 747 Jumbo Jet, Garuda, ke Medan. Lucunya ketika mendapatkan tiket pesawat persis seperti kita membeli karcis bioskop. Tinggal menyebut berapa orang dan kemudian tim dari WWF, memberikan tiketnya seberapa banyak yang diminta. Begitu mudahnya.
Di Medan sudah ada tim penjemput menunggu,dan membawa kami ke hotel yang sudah dipesan, maka disanalah kami tinggal selama hampir sebulan sambil menunggu situasi aman dan kesiapan istri untuk melahirkan.Â
Tapi menjelang kelahiran, ternyata istri minta kembali ke Aceh, seperti biasa permintaan "jabang bayi" yang tidak bisa ditolak. Maka kami mengusahakan penerbangan kembali ke Aceh dengan menggunakan pesawat yang sama, beruntung, setelah info dokter yang akan menangani persalinan di Banda Aceh mengkonfirmasi bersedia membantu, kami berangkat dari Medan.