bangkapos.com
Pernahkah suatu ketika di sebuah tempat yang tak pernah kita bayangkan kita membutuhkan sebuah kalkulator, padahal sangat darurat. Apa yang kita lakukan ketika kita begitu tergantung dengan mesin hitung buatan Jepang?.
Apa yang dilakukan para penyelam di lautan dalam, atau penjelajah rimba belantara ketika melakukan penelitian dan ternyata membutuhkan kalkulator atau alat hitung?.
Atau ketika kita sedang ujian dan tidak diperbolehkan membawa kalkulator, padahal kita termasuk jenis oranag yang paling alergi dengan urusan hitung-menghitung?.
Kita tak pernah menyadari bahwa selama hidup kita, kita selalu membawanya. Tuhan sudah menganugerahkan “kalkulator ajaib”, yaitu jari jemari kita. Jadi sebenarnya kita tak perlu panik, misalnya, ketika panitia ujian tak membolehkan membawa kalkulator, bukankah tak mungkin mereka melarang kita membawa jari-jemari kita ke dalam ruang ujian?.
Sebagian kita ternyata memang memiliki titik lemah dalam berhitung, sebagian karena kurang tekun belajar, sedangkan lainnya karena kita mengalami gangguan kemampuan dalam menghitung.
Faktanya, meskipun kita “normal”, ternyata sebagian dari kita mengalami Diskalkulia (Discalculia), yang didefinisikan secara sederhana, sebagai kesulitan memperoleh keterampilan aritmatika dasar, seperti berhitung dan memahami bilangan.
Mereka cenderung merasa sulit untuk memecahkan soal matematika dasar, dan segala hal lain yang berkaitan dengan hitung-hitungan atau angka. Berbeda halnya dengan fakta lainnya yaitu demensia, kondisi paling umum dari penderita Alzheimer yaitu, menurunnya seluruh fungsi dan kemampuan otak karena faktor usia.
National Geographic pernah melansir sebuah hasil penelitian dari Maree Farrow, ahli saraf kognitif Pusat Penelitian dan Pendidikan Penyerapan Demensia di University of Tasmania, tentang apa saja pertanda kita telah mengalami demensia. Secara sederhana gambarannya bisa kita temukan dalam intisari film The Notebook (2004).
Kita akan mudah memahami, mengapa dan bagaimana sebuah keadaan membuat seluruh fungsi dan kemampuan otak kita menurun. Salah satunya kehilangan kemampuannya dalam berhitung.
Fakta lain yang bisa menganggu kemampuan kita dalam berhitung adalah, Disleksia. Merupakan gangguan yang terjadi dalam proses belajar. Kondisi ini ditandai dengan kesulitan membaca, menulis, serta mengeja. Ini membuat pengidap disleksia kerap dianggap sebagai orang yang malas membaca buku atau malas belajar.
Padahal, pengidap gangguan ini sebenarnya kesulitan dalam mengidentifikasi kata-kata yang diucapkan dan mengubahnya menjadi huruf atau kalimat. Penyebab Disleksia terjadi karena adanya gangguan saraf pada bagian otak yang memproses bahasa.
Meski terkait dengan gangguan dan kesulitan dalam belajar, namun disleksia sama sekali tidak memengaruhi tingkat kecerdasan pengidapnya.
Jari-Jemari Ajaib Kita
Pada tahun pertama menjelang masuk ke sekolah dasar, putra pertama saya mengikuti sebuah kursus jarimatika. Semula saya tidak begitu optimis hal itu bisa bekerja efektif membantu anak-anak dalam berhitung. Bagian inti dari pelajaran matematika yang menjadi momok bagi banyak orang.
Saya menemukan fakta bahwa mengapa orang tua kita dahulu begitu mahir berhitung, karena dahulu sistem belajar tidak mengenal alat hitung. Paling canggih adalah sempoa (alat hitung khas dari China). Sedangkan sistem mencatatpun masih sangat unik, menggunakan “sabak” (sebuah papan tulis kecil seukuran buku).
Mereka menggunakan sabak untuk mencatat pelajaran seperlunya. Jika kita ingin menguasai materi pelajaran kita harus menghafal, dan memahami dengan segala daya upaya, karena esok hari ketika masuk pelajaran baru, seluruh catatan itu akan dihapus dan digantikan dengan catatan baru.
Fakta inilah yang menjadi kunci rahasia mengapa para orang tua kita mahir berhitung, mahir berbahasa asing dan berpikir lebih jeli.
Saya kemudian juga terkejut dengan fakta bahwa ternyata hingga putera saya masuk perguruan tinggi, ia justru makin mahir menggunakan jarimatika.
Dalam sebuah kesempatan ketika kami sedang melakukan perhitungan berat, dan membutuhkan kalkulator di sebuah pusat belanja, dengan santainya putera saya menggunakan kemahirannya ber-jarimatika.
Sungguh ajaib, hasil total penjumlahan dan pengurangan dari kalkulasi kami, ternyata sama persis dengan perhitungan petugas teller yang menggunakan kalkulator. Sejak saat itu saya mengakui keajaiban jarimatika, meskipun belum berkesempatan belajar dengan serius.
Pernah dalam sebuah referensi tentang penelitian di kedalaman laut, para penyelam menggunakan jari sebagai alat hitung, karena secara kondisional, “laut dalam” tidak memungkinkan menggunakan alat bantu hitung.
Apa Sebenarnya Jarimatika Itu?
Di tahun 2003, untuk pertama kalinya Septi Peni Wulandani, penemu metode jarimatika ini mempublikasikan temuannya. Dalam buku, Jarimatika, Penambahan dan Pengurangan, ia menjelaskan secara teknis bagaimana cara bekerjanya metode ini.
Jarimatika adalah cara berhitung matematika dengan menggunakan jari tangan. Metode ini dirintis kembali dan dikembangkan pada awal milenium baru tahun 2000 sampai 2003.
Jauh sebelumnya, di tahun 1960, sebenarnya teknik ini secara sederhana telah diperkenalkan oleh Drs. Hendra BC dalam bukunya Kuncung dan Bawuk Pintar Berhitung yang diterbitkan oleh CV. Oemar Mansoor. Di tahun 1986, oleh penulis yang sama, teknik ini mulai disusun kembali dengan judul Aneka Reka, diterbitkan oleh media komputindo kelompok Gramedia.
Metode berhitung jarimatika menggunakan jari tangan. Meski hanya dengan menggunakan tangan metode jari matika mampu melakukan operasi bilangan Kabataku, kali bagi tambah kurang. Metodenya sangat mudah diterima peserta didik dan mengasyikan karena jarimatika tidak membebani memori otak dan alatnya selalu tersedia.
Metode Jarimatika digunakan untuk mempelajari salah satu cabang dari mata pelajaran matematika yaitu arimatika. Aritmatika sendiri mempelajari sifat hubungan bilangan nyata dengan penghitungan terutama yang menyangkut perkalian, pembagian, penjumlahan dan pengurangan.
Metode ini sebenarnya sangat sesuai untuk usia anak, anak bahkan balita. Metodenya dengan menggunakan jari, memungkinkan diajarkan dalam format “belajar sambil bermain”.
Sebuah pola pembelajaran yang sudah lama kita abaikan, karena kita dipaksakan mengejar sebuah ukuran kualitas, berupa kemampuan membaca, menulis dan berhitung.
Padahal dalam usia balita yang begitu belia, pemaksaan kemampuan otak berlebihan, kadangkala justru menjadi pemicu kemunculan problem lainnya, terutama stress, turunya kemampuan bersosialiasi, bullying, rendah diri.
Hal ini kurang kita sadari, sehingga sudah saatnya, jarimatika di dorong menjadi bagian dari kurikulum di sekolah-sekolah dasar kita. Bahkan mungkin di Taman Kanak-Kanak kita. Biarkan anak-anak kita tetap bermain sambil belajar. Justru dalam usia belia mereka harus lebih didorong untuk membangun kepribadian, sosialiasi dan interkasi sosial, agar mereka cerdas sosial dan cerdas mental, dan tentu saja intelegensinya. Ini dapat menjadi solusi ketakutan, dan kurang miantnya anak-anak kita terhadap matematika.
referensi; 0 Jarimatika; 1 disleksia; 2 demensia; 3 Diskalkulia;
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H