Seiring perubahan itu bermunculan kopi kelas premium yang memanjakan penikmat kopi. Meskipun tidak ada yang memaksa namun seiring waktu, kupi menemukan kelasnya yang baru. Menikmati kopi tidak melulu soal tradisi dan cita rasa, namun kini juga telah menjangkau 'kalangan baru' generasi Y. Gambaran stereotif kopi adalah minuman kalangan tua telah jauh terlewatkan. Justru kalangan tua terpinggirkan dan tetap menikmati kelasnya sendiri di warung kopi semula kampungnya sendiri.
Sedikit dari gambaran warung kopi jaman dulu, mungkin masih terlihat di kawasan Beurawe, yang masih membiarkan tampilannya seperti masa lalu. Mengunggulkan cita rasa tanpa peduli pernak-pernik dan polesan yang mengharuskannya tampil seperti sebuah kafe jaman now. Mungkin tak pernah terpikirkan bahwa pada akhirnya kopi harus punya kelas klasik alias reguler dan kelas premium.Â
Maka beberapa produsen kopi menambahkan warung-warung premiumnya  tidak saja sebagai bentuk daya tarik baru kopi yang telah menjadi gaya hidup namun juga menghadirkan kopi sebagai 'pembeda' gengsi semacam kasta jika tidak berlebihan. Sementara di sisi lain kota, tumpukan kubus container yang membentuk bangunan kafe kopi mungkin tak terpikirkan sebelumnya di era ketika ulhee kareng masih merajainya dengan warung kopi beratap daun rumbia.
Kini kafe-kafe dengan nama-nama jadul justru muncul menjadi ikon baru tak melulu nama-nama barat yang disandangkan pada papan nama warung kopi. Secara fisik warung kopi telah mengalami metamorfosa sehingga membuat panoramik fasad-fasad kafe mencerminkan sebuah perubahan budaya dalam menikmati kopi tapi tidak dengan tradisi minum kopi itu sendiri. Kafe kopi kini makin instagramable. Jika dulu kawasan Beurawe, Ulhee kareng menjadi sentra warung kopi, seiring perluasan kota, Kampong Pineung, Batoh, Pango telah menjadi sentra baru melengkapi sebutan kota 1000 warung kopi.
Kopi posmo
Kopi juga membawa pengalaman sosial dan persepsi kultural yang kaya dan beragam. Ketika mencoba menyerempet perubahan dan gejalanya sebagai bagian dari perubahan generasi posmo. Tentu kita tak akan membahasnya secara teoritis meski harus diakui dibutuhkan penyamaan visi untuk melihat sudut pandang agar seiring jalan dalam memahami perubahan dan makna di dalamnya. Seperti halnya David Graffin, yang melihat gejala postmodernisme sebagai sebuah 'koreksi' atas beberapa aspek dari modernism.
Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme. (wikipedia.org)
Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah, pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.Â
Bagian penting ini yang menandai berbagai perubahan mendasar, untuk melihat bagaimana kebudayaan baru menikmati kopi berimplikasi lebih jauh dari sekedar sebuah ruang kulinari. Lebih dari itu godaan perubahan budaya yang memudar juga berjalan beriring bersamanya. Sehingga ketika berbicara tentang kopi, tradisi dan budaya menjadi tidak lagi sesederhana menikmati secangkir kopi biasa.
Dari sisi berbeda Eagleton menyoroti postmodernisme sebagai upaya mewarisi kritik yang mengambil jarak atas modernism. Sedangkan dari avant-garde, mencoba memecahkan masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi "high culture".
Begitupun dengan segelas kupi, juga menjadi bagian dari koreksi atas modernisme menjadi postmodernitas. Fragmentasi gaya hidup, keluaran produk tehnologi informasi, konsumerisme beradu vis a vis dengan tradisi dan spiritualitas. Utamanya dalam kaitan syariah. Pengalaman sosial dan persepsi kultural 'minum kopi' menjadi jauh lebih kompleks. Jika modern hanya sekedar perubahan penampakan fisik, sehingga seringkali menimbulkan benturan dengan tradisi dan kultur tradisional.Â