Tome Pires (1512-1515) mencatat pelabuhan Pidie dan Pasai memperdagangkan komoditas lada hingga 2.718 ton (atau 16.000 bahar dalam ukuran ketika itu) per tahunnya, sehingga mencatatkan Aceh sebagai produsesn utama lada dunia. Dan panjangnya sejarah perang hingga tahun 1942 kemudian menenggelamkan kejayaan lada sebagai komoditas utama. Sedangkan kopi baru diinisisi Belanda di tahun 1908 dengan memilih menanam kupi Arabica di Utara Danau Lut Tawar, dan utamanya di dataran tinggi Gayo. (tengkuputeh.com)
Sementara kopi robusta tumbuh subur di area Kabupaten Pidie (Tangse dan Geumpang serta Aceh Barat). Tak ada batasan soal penanaman, bahkan Belanda memerintah masyarakat sendiri mengkonsumsi kopi jenis robusta, sedangkan Arabica dikonsumsi dan diekspor oleh Belanda. Kondisi ini menyebabkan kopi begitu cepat berkembang karena mendapat respon positif dari semua orang terutama di Kampong Belang yang menjadi sentra kopi yang terkenal hingga sekarang sebagai penghasil kopi dengan kualitas prima.
Apalagi tak banyak debat soal baik-buruk kafein kopi, sehingga tak harus membuat larangan layaknya catatan peringatan di kemasan rokok di Italia-'vietato a minori' (dilarang untuk anak-anak di bawah umur). Sejak tahun 1925-1930 setidaknya terdapat empat kampong di Belang Gele yang menjadi sentra kopi Arabica, Kampong Belang Gele, Paya Sawi, Atu Gajah dan Pantan Peseng.
Budaya dan kopi
Dalam urusan ngopi, Aceh punya pameo, "semua bisa selesai diwarung kopi".Tentu saja pemeo itu 'dalam' sekali. Artinya warung kopi seolah menjadi ruang pusaran mereduksi dan merekonstruksi berbagai masalah sosial, ekonomi hingga politik menjadi lebih sederhana. Sesederhana dialog iklan bapak dan anak gadisnya yang dilarang menghadiri konser dan seketika si ayah berubah pikiran lantaran meneguk segelas air yang dibubuhi teh wangi.
Kopi tidak lagi sekedar menjadi medium perkembangan tradisi dan budaya, namun kupi juga bisa bermakna politis alias "Kopi politik atau politik kopi. Bahkan tak jarang para petinggi kelas eksekutif memanfaatkan warung kopi sebagai ruang mediasi, menemukan cara penyetaraan, ketika pemimpin duduk sebangku dengan rakyat kecil dan sama-sama menikmati kopi sambil berdialog. Sesederhana apapun, tetap saja dialog itu bernilai politis karena yang hadir para petinggi nanggroe.
Bahkan dalam beberapa kesempatan, penulis juga menikmati narasumber gratisan ketika mengunjungi warung kopi, sekedar debat kusir atau bahkan ketika politisi menyampaikan visi terselubung, budayawan mengekspresikan cita rasa seni, atau sekedar mahasiswa dan pegawai kantoran menikmati rehat melepas penat, bahkan kalangan perempuan yang dahulu tak pernah menjadi bagian dari warung kopi.
Maka budaya "minum kopi" menjadi makin kompleks, terutama ketika budaya melebar dari batasan-batasan tradisi, sehingga kelas atas-bawah, perempuan-laki-laki, profesional dan amatiran berkumpul dalam 'ekosistem kopi' yang sama.
Tanpa disadari warung kopi telah jauh berubah, bahkan menjadi ruang perubahan, lepas dari salah benar. Ketika menyoroti hal ikhwal dimulainya perubahan, sejak tsunami, para pendatang membawa kebudayaan baru dalam menikmati kopi. Menjadikan kopi sebagai medium berbagi informasi, melepas penat rutinitas, menikmati kopi itu sendiri atau sekedar konkow biasa.
Jika di abad ke-19 masyarakat Aceh tidak mengenal kopi dan di akhir abad ke-20 masih sebatas produsen utama kopi, mengingat Aceh memiliki bentangan kebun kopi seluas kurang lebih 94.500 hektar; 48.500 hektare (Aceh Tengah), 39.000 hektar (Bener Meriah) dan 7.000 hektar (Gayo Lues) yang menghasilkan tak kurang dari 50.774 ton pertahun, maka di abad ke-21 kopi telah menjadi budaya dan gaya hidup. (tengkuputeh.com).