Saya paham dengan peribahasa mulutmu, harimaumu. Salah satu warning keras yang harus diwaspadai para-humoris-berbau body shaming. Tapi saya jenis orang yang humoris, sehingga teman-teman justru senang dicandain, mereka bahkan selalu memancing atau membalas humor saya.
Ternyata humor dengan body shaming bisa beda tipis. Karena dalam humor bisa terselip bullying jenis verbal. Lebih parahnya lagi kalau jadi kebiasaan atau latah.Â
Alasan orang melakukan body shaming (body shamer) beragam, mulai dari sekedar ice breaking-ingin mencairkan suasana, mengundang gelak tawa, iseng belaka, hingga memang serius ingin menghina.
Apa Bedanya Stand Up Comedy, Lawak Dan Badut
Coba perhatikan celetukan dalam lawakan atau stand up comedy versi Indonesia, yang sering sembarangan memasukkan body shaming. Tanpa sadar penonton bisa terikut kebiasaan buruk tersebut.Â
Model lawakan Indonesia dari jaman dahulu, memang banyak mengandalkan asesoris pendukung yang lucu dan aneh plus celetukan yang asal!. Baru setelah masuk era milenial, agak berkurang atau menjadi lebih sedikit halus. Padahal Jelas, lawak, stand up comedy, beda dengan badut. Badut "direkayasa" agar tampil lucu, walaupun hanya berpantomim.
Sederhananya, Body shaming berarti perilaku mengkritik atau mengomentari fisik atau tubuh diri sendiri maupun orang lain dengan cara yang negatif. Entah itu mengejek tubuh gendut, kurus, pendek, atau tinggi, sama seperti saat kita melakukan bullying secara verbal.
Jenis perilaku ini bisa dikategorikan sebagai gangguan kesehatan mental. Bukan cuma bikin minder, korban body shaming umumnya akan menarik diri dari keramaian untuk menenangkan diri.
Menurut studi yang dimuat dalam Journal of Behavioral Medicine tahun 2015, ada banyak perubahan sikap yang akan terjadi. Efeknya bisa sering terlihat sedih, mudah tersinggung, pendiam, malas makan, menarik diri dari lingkungan keluarga dan pertemanan, mengalami ketakutan tanpa alasan, terlibat dalam perkelahian atau suka menyakiti orang lain dan menurunnya prestasi akademik hingga depresi.
Apa bedanya dengan bully?. Perbedaan keduanya adalah jika body shaming hanya spesifik ditujukan pada bentuk dan ukuran tubuh, sedangkan bullying mencakup hal yang lebih besar dan didefinisikan sebagai bentuk agresi kepada orang lain baik secara fisik maupun verbal.
Pahami dan Tahan Diri
Agar tidak mengulang kesalahan yang sama, baik sebagai pribadi, apalagi sebagai bagian dari keluarga, pahami  ciri-ciri kalau kita ternyata sudah melakukan body shaming kepada orang lain.
Pertama; Menganggap tubuh kita paling gemuk, padahal kenyataannya tubuh terbilang ideal. Persisnya agar orang mengatakan kita sebenarnya tidak gemuk, dibandingkan dengan teman lainnya. Apalagi kalau ada teman kita yang gemuk betulan. Karena sekurus apapun- apalagi wanita selalu merasa gemuk diantara teman-temannya.
Kedua; Mengomentari tubuh orang lain dengan halus, misalnya; ketika memakai baju kekecilan, kemudian kita bilang yang salah bukan bajunya, tapi badannya yang sedikit kebesaran. Bahkan saran, mengurangi makan bisa jadi saran yang berbau body shaming.
Ketiga; Menyuruh orang lain berolah raga; pernah cobain olahraga aerobik belum?, cobain deh, pasti bisa bikin kurus. Bisa jadi maksud kita sebenarnya positif, dan kita mengira teman akan menerimanya sebagai saran baik, tapi bisa jadi justru membuatnya diam-diam stres dan tertekan, karena ternyata ada yang menyadari kondisinya.
Keempat; Senang membandingkan tubuh orang lain, misalnya tahu kenapa saya sekarang sixpack?, karena rajin olahraga. Saya lihat kamu juga ada perubahan, sekarang terlihat sedikit kurusan, onepack-lah kelihatannya. maksud?.
Kelima; Mengomentari makanan orang lain, makan tuh yang sehat. Empat sehat lima sempurna, jangan  cuma junk food, bisa bikin badan kita melar. Apalagi kalau kita sampai menyuruhnya diet, hati-hati kita baru saja melakukan body shaming terhadap teman kita sendiri. Teman kok makan teman!.
Ternyata cibiran bisa berbahaya, karena justru kemarahan, memancing stres yang memicu mood  makan banyak. Hal ini dibuktkan oleh sebuah penelitian dari University College London (UCL) yang menyelidiki hampir 3.000 pria dan wanita, berusia 50 dan lebih.Â
Setiap subyek ditimbang dalam empat tahun terpisah. Mereka juga ditanyai tentang cibiran dan komentar "positif" yang mereka mungkin terima karena berat badan mereka.
Selama penelitian, orang-orang yang mengalami komentar gendut dan kritikan tajam mengalami kenaikan berat badan hingga lima belas kilogram dan enam kali lebih mungkin menjadi obesitas daripada mereka yang tidak menerima komentar miring dalam bentuk apapun.Â
Mereka yang tidak menerima kritikan tentang tubuhnya berhasil menurunkan berat badan rata-rata hanya sekitar 5 kilogram. Pria dan wanita melaporkan tingkat diskriminasi berat badan yang sama.
Menurut sebuah studi dari Rudd Center for Food Policy and Obesity di Yale University, dikutip dari NCBI. Kebencian terhadap diri sendiri, bisa menjadi fitur yang menonjol dari obesitas.
Oleh karena itu, masalah kesehatan mental menjadi lebih umum ditemukan pada mereka yang telah mengalami diskriminasi berat badan parah; risiko menjadi depresi hampir tiga kali lipat lebih tinggi.
Jadi sebelum membuat teman kita depresi, apalagi sampai stres gara-gara lelucon, pelajari dengan seksama dan kontrol humor kita agar lebih bijaksana.Â
Meskipun teman kita bisa menerima kita, namun siapa yang tahu dibelakang kita justru ia stres dan jadi makan lebih banyak gara-gara candaan body shaming kita. Bukankah sering kita dengar dari teman, yang bilang, "kalau orang stres pada puasa makan, saya kalau stres bawaannya makan mulu, kagak mau berhenti."
Teman model begini bisa jadi sasaran empuk  body shaming kita, maka sayangi diri sendiri, sayangi teman, karena mulutmu bisa jadi harimaumu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI