Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cara Aceh Menangkal Niat Jahat Koruptor

6 Desember 2021   12:05 Diperbarui: 21 Desember 2021   12:26 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

wakalahmu

graph-book-kan-fixed-a-little-bit-61af22d575ead65b6844aea3.png
graph-book-kan-fixed-a-little-bit-61af22d575ead65b6844aea3.png
HR note indonesia

Wacana melahirkan grand design panduan pelaksanaan syariat Islam sejak 2015, yang didorong Dinas Syariat Islam menarik dicermati. Apalagi frame yang didorong adalah perubahan sistem, perilaku, pola pikir serta nilai-nilai masyarakat yang selama ini terkesan dalam kondisi trial and error. Wacana ini bukan sekedar euforia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana, tapi susah mencari jawabnya, seperti, mengapa Pejabat suka bertindak koruptif dan sewenang-wenang dengan kekuasaan?. Apakah aturan-aturan yang rigid diperlukan untuk menghambatnya?. Bagaimana dampak grand desain untuk tujuan-tujuan itu?.

Padahal sejarah kita dalam memulai bersyariat cukup panjang. Babaknya menguat ketika lahirnya UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, mengatur syariat Islam sebagai satu muatan dari tiga pilar keistimewaan yang eksklusif. Beda dengan UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang hanya mencantumkan sebutan Daerah Istimewa Aceh hanya dalam penjelasan.

Tetapi, apakah itu artinya grand design panduan kita saat ini terlambat kemunculannya atau sekadar 'penyesuaian' terhadap berbagai perubahan terkini? Apakah akar persoalan sesungguhnya adalah kesyariatan kita yang tidak jelas bentuknya? Implementasi hukum syariat yang tebang pilih atau 'ketidaksiapan' kita dalam bersyariat kecuali karena persoalan 'gengsi' akar kesejarahan kita yang penuh marwah? Atau, lebih ekstrem lagi, sebenarnya kita 'takut' pada aturan syariat Islam yang memegang teguh amar makruf nahi munkar?

Jika kita tak pernah mendudukkan persoalan tersebut secara benar, maka persoalan ini menjadi 'benalu' yang menggerogoti eksistensi pemerintahan siapa pun yang berkuasa tidak hanya pemerintahan Zikir. Persoalan ini krusial untuk menemukan titik temu jawabannya. Karena seperti dalam banyak pengalaman, 'menu' syariat pun, diperlakukan sama euforia-nya dengan pesoalan kita yang lain. Panas, lalu dingin dengan sendirinya.

Kita terjebak pada simbolisasi, pengerahan 'pasukan' penjaga syariat, namun di pusat komandonya terlibat dalam 'penyimpangan' syariat itu sendiri. Lalu blundernya bergulir meluas tidak saja pada bentukan pola pikir yang salah kaprah dalam memahami syariat, bahkan menumbuhkan antipati dan perlawanan. Apalagi ketika dampak salah mindset berefek domino secara negatif dalam pola kita menjalankan sistem pemerintahan, perpolitikan, bahkan implementasi orientasi pembangunan yang dipaksa maksimal pada hasil, namun tidak optimal dalam pemerataan.

Akar Persoalan
Kita disibukkan dengan pesoalan rasuah (korupsi), nepotisme, kolusi dan beragam ketimpangan yang tidak pernah dimasukkan ke dalam bingkai kacamata kita bersyariat. Seolah persoalan syariat, melulu adalah persoalan ibadah dan muamalah, tidak dalam ranah kerja-kerja umara (pemerintah). Ini merupakan akar persoalan kita. Semut di seberang laut tampak, sementara gajah di pelupuk buram. Realitas ini menjadi otokritik atas upaya kita memimpikan syariah kaffah, dan di sebaliknya kita menjadi pelanggar utama kesyariatan kita sendiri.

Maka yang harus berada di garda depan implementasi adalah para pelaksana kebijakan. Internalisasi nilai menjadi keniscayaan yang tidak dapat diabaikan. Jika tidak, maka persoalan menjadi mata rantai yang tidak memiliki ujung pangkal yang jelas. Siapa yang mesti diteladani dalam pilihan kita bersyariat saat ini. Eksekutifkah?, legislatifkah atau yudikatif di garda pengawasnya? Atau sebaliknya para pimpinan belajar dari rakyat?. Hukum saja mengenal lex specialis lex generalis, di mana kekhususan menundukkan yang umum atau lebih tinggi muatan materi hukumnya. Itu artinya umara mestilah menjadi panutan rakyatnya.

Persoalan paling mendasar dalam kerangka pelaksanaan syariat, kita mendorong terlalu 'keras' bahkan cenderung terjebak dalam wujud simbolisasi. Dalam banyak realitas, syariat didorong pada aturan menutup aurat, hukum jinayat dalam konteks yang sederhana, khamar, judi, khalwat. Meskipun ini bagian dari proses tahapan implementasi secara lebih luas. Namun justru dalam pelaksanaan penegakan hukum, kita masih mendua, tumpul ke atas, tajam ke bawah.

Dalam beberapa kasus yang terus bermunculan, para 'tersangka' adalah para pelaku kelas 'teri', yang dapat diintimidasi dan diperlakukan sesuai dengan hukum syariat yang ada. Sementara bagi kalangan kelas 'kakap' pelanggar syariat, ada 'pengecualian' dalam pelaksanaan hukuman. Tentu kita tetap berasumsi positif, disandarkan pada azas praduga tak bersalah, tidak semena-mena dan gelap mata dalam penanganan kasus per kasus.

Akibat ini bertendensi pada munculnya ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik pada pemerintah, utamanya Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar'iyah, Wilayatul Hisbah (WH), Satpol-PP dan seluruh komponen pelaksana pemerintahan yang memiliki wewenang di ranah tersebut. Persoalan konflik horizontal yang bermuculan secara sporadis di banyak wilayah, baik personal maupun kelembagaan, pemicunya adalah inkonsistensi termasuk dalam soal hukuman (punishment). Ini argumen yang bisa dibuktikan dan bukan rahasia umum, dan ini menjadi basis argumentasi satu muatan grand design yang dapat menjembatani dan meminimalisir gap antara pemerintah dan rakyat dalam konteks tadi.

Sederhananya, persoalan paling mendasar adalah para umara semestinya menjadi suri tauladan, diperlakukan sama di hadapan hukum dalam konteks positif-negatif bersyariah tanpa pandang bulu. Sebagai basis amatan pelanggaran terhadap Qanun No.14/2003 tentang Khalwat, tercatat pada 2013 pelanggaran mencapai 221 kasus. Pelanggaran Qanun No.11/2003 tentang Akidah dan Ibadah, 153 kasus dan pelanggaran Qanun No.12/2003 tentang Khamar 26 kasus. Dan terhitung sejak Januari-November 2013, sudah 392 kasus yang ditangani Satpol PP dan WH Kota Banda Aceh (Merdeka.com, 29/11/2013).

Persoalan Paradigma
Dinas Syariat Islam Aceh saat ini tengah menggodok  grand design panduan syariat Islam. Sejauh ini persoalan yang dikritisi secara mendalam adalah persoalan paradigma. Karena ini menjadi inti persoalan agar acuannya sesuai prinsip spiritual Alquran, sunnah dan teologis, namun juga tetap mengacu pada sisi sosial kehidupan masyarakat. Ini untuk mengerucutkan implementasi agar efektif dan tepat sasaran. Mengapa inti persoalannya paradigma?

Paradigma adalah kerangka berpikir yang bisa dijadikan landasan, kacamata atau lensa untuk membaca suatu kondisi dan persoalan secara lebih tajam, dengan pendekatan atau cara tertentu dan sekaligus pemecahan masalah. Dengan demikian paradigma itu-sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Kuhn, lahir melalui revolusi ilmu pengetahuan atau filsafat. Lalu berproses secara ilmiah melalui tiga tahapan, ontologi tentang ketiadaan, epistemologi, tentang cara memahami keadaan atau metodologi, dan aksiologi, tentang hasil, tujuan atau nilai guna (M. Dawam Rahardjo, 2010).

Bahkan dalam kerangka pembahasan yang sedang didesain saat ini, draft grand design panduan syariat Islam memiliki dua komponen utama yang menjadi pilarnya, yaitu: Pertama, berkenan dengan landasan pengetahuan dalam paradigma, dan; Kedua, partikel yang menjadi referensi pemerintah kabupaten/kota, dan provinsi melalui SKPA dalam menyusun program pembangunan berbasis syariat. Ini memungkinkan pelaksanan syariat Islam tidak secara parsial hanya melingkup pesoalan ranah hukum, namun juga memasuki ranah yang lebih kaffah, menyeluruh. Mengatur tatanan keluarga, ekonomi, pendidikan, lingkungan, budaya, bahkan hingga persoalan 'kehutanan' sekalipun bisa menjadi materi bagi penguatan dengan basis syariah.

Ini tentu akan menjadi grand design yang sangat ditunggu-tunggu, mengingat begitu kompleksnya persoalan saat ini yang berkelindan dan bertolak belakang dengan pilihan kita bersyariat. Tentu tak terbayangkan jika polemik yang bermunculan berhadap-hadapan antara publik dengan pelaksana syariat Islam yang ditandai dengan bermunculannya konflik, baik organisasi maupun personal karena implementasi syariat Islam dilapangan yang tidak sesuai ekspektasi. Kerangka pemikiran yang terus dibangun adalah mengkritisi grand design yang akan didorong untuk menguatkan pelaksaan syariat Islam di semua lini pembangunan. Terutama para implementor kebijakan yang akan banyak bersentuhan dengan tata aturan perundangan dalam melaksanakan amanah pembangunan.

Jika kita mencoba menyederhanakan persoalan, grand design yang didorong salah satunya untuk mengubah mindset. Menjadikan pemerintah sebagai lembaga dengan kekuatan internalisasi nilai-nilai berbasis syariat, jujur, displin, akuntabel, transparan. Atau, apakah kita semestinya harus sampai pada pemikiran paling jauh mendorong khilafah sebagai pilihan yang tidak bisa ditawar? Atau kita hanya berkomitmen menjalankan syariat berdasarkan grand design secara kaffah? Pilihan-pilihan ini menjadi sangat tidak sederhana karena berbaur dengan persoalan politis. Namun jika kita berniat baik mendorongnya menjadi lex specialis kita berikutnya, maka tak ada aral dan halangan, syariat akan berjalan dalam koridor yang diyakini semua orang sebagai syariat yang kaffah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun