Hal ini setidaknya bisa selaras dengan kemungkinan Aceh juga memiliki MoW yang terpendam. Dalam kasus tsunami raya yang melanda Aceh pada medio 2004 silam, Simeulue sebagai pusat magnitude gempa, ternyata tidak hanya menyisakan cara penyelamatan bencana, namun juga memiliki kearifan lokal dalam bentuknya yang sudah mentradisi, sehingga tsunami tidak lagi asing dalam budaya mereka yang dikenal sebagai 'smong', berbagai peninggalan naskah atau lisan atau bukan tidak mungkin tuturan arif ini berasal dari kelompok penutur lokal yang mungkin sebagian penutur bahasanya sudah berkurang atau bahkan punah.
Hal inilah yang dapat muncul menjadi medium pembelajaran bagi seluruh masyarakat didunia tidak hanya di Indonesia untuk bisa bertahan dan berkawan dengan bencana, melalui medium kearifan lokal melalui perantaraan naskah-naskah dari bahasa lokal yang mungkin telah hilang .
Maka Kongres Peradaban Aceh yang mengusung tema penting 'penyelamatan bahasa-bahasa lokal', harus menjadi pengingat dan perhatian serta kepedulian kita semua. Sebuah momentum kebangkitan bahasa-bahasa lokal yang terpinggirkan dan punah untuk hidup kembali dan memberikan kisah kesejarahan bagi kita. Menguatkan akar kebudayaan kita yang kuat tidak saja dengan keragaman tuturan, aksara, namun juga dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam muatannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H