Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ada Koruptor Di Balik Pilkada

21 Desember 2020   01:05 Diperbarui: 27 Januari 2021   19:49 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://aclc.kpk.go.id/materi/semangat-melawan-korupsi/buku/museum-koruptor

Pilkada membuka peluang masuknya para petualang politik, koruptor, untuk bermain peran lebih besar, karena berada dalam lingkar kekuasaan utama, di pemerintahan dan parlemen. Lemahnya tindak penanganan hukum membuat para koruptor tidak pernah jera, bahkan barisan hakim juga masuk dalam daftar panjang para pesakitan kasus koruptor.

Perilaku permisif dan apatis masyarakat karena faktor kekecewaan yang akut terhadap para pelaku tindak koruptor (termasuk yang mencalonkan diri sebagai incumbent) meski dengan berbagai daftar catatan hukum, membuat mereka semakin "bermuka badak".

Catatan Data KPK antara 2004-2019, setidaknya terdapat 359 kasus korupsi di pemerintahan pusat. Di dalamnya termasuk Anggota legislatif (DPRD dan DPR): 257 orang, Eselon I, II, III, dan IV: 225 orang, Wali Kota/Bupati dan wakil: 119 orang, Kepala Lembaga/Kementerian: 28 orang, Hakim: 22 orang dan Gubernur: 21 orang.

Meskipun didukung legalitas, lolosnya para koruptor ke gedung legislatif adalah sebuah preseden buruk bagi perpolitikan dan pembelajaran demokrasi kita. Jika kondisi ini menjadi keuntungan bagi lawan politik tentulah ini buntut dari konsekuensi yang mesti ditanggung oleh pelaku korupsi. Karena tindak korupsi adalah wujud dari kejahatan kelas atas, kelompok cerdas yang sering dijuluki penjahat kerah putih atau White collar crime. Pelakunya adalah mereka yang cerdas mengakali setiap sudut peluang undang-undang, kebijakan.

Meskipun Nurchalis Madjid pernah berargumentasi, " jangan percayakan nasib bangsa pada niat baik satu-dua orang pemimpin. Percayakan nasib bangsa pada sistem yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan, namun realitas masuknya 2.300 terpidana korupsi kedalam DCT di tahun 2019 adalah sebuah pukulan telak bagi pemerintahan bersih kita.

Komitmen partai pengusung wacana anti korupsi, pakta integritas ditantang dan digoda oleh rayuan politik mahar, koalisi politik, politik dagang sapi yang membagi kuasa pada kekuasaan dan uang. Ini bukan rahasia umum karena bagian dari skenario politik kelas tinggi.

Kita belajar dari banyak kekecewaan, ketika militansi kita memilih tokoh populis alternatif tanpa melihat latar belakang afiliasi politik akibat kebuntuan personifikasi tokoh sebagai solusi, ternyata ekspektasi itu dengan mudah dimentahkan oleh kasus korupsi.

Berpijak dari realitas terebut, kita memimpikan sosok yang bisa dipercaya, meskipun menemukannya seperti mencari jarum dalam jerami. Ketika personifiksinya telah ditemukanpun kita masih merasa membeli kucing dalam karung.

Namun ikhtiar adalah sebuah keharusan. Lantas bagaimana sebagai rakyat konstituen, koalisi harus bersikap ketika partai besutan ternyata melangkahi komitmen, anti rasuah?.

Tanpa keberpihakan dan partisipasi aktifpun, politik tidak akan memberi jalan keluar yang baik. Jika tidak disisi orang baik, maka orang jahat petualang politik penganut Machiavelian akan mengisi ruang kosong tersebut. Maka dalam ketiadaan pilihan, ikhtiar menjadikan Negara menjadi lebih baik akan pupus. Ibarat makan buah simalakama, dimakan mati ibu tak dimakan mati bapak. Maka memilih adalah sebuah pilihan politik.

Bahkan golputpun sebenarnya juga sebuah pilihan politik dalam sikon politik, terlepas dari apapun alasannya, ketika kita mengarusutamakan pada buah simalakama. Kita tak memiliki argumentasi ketika kondisi Negara memburuk karena kesalahan memilih , namun tidak bijaksana juga lepas tangan karena kita warga sebuah negara.

Mengawal Demokrasi

Bagi konstituen dibutuhkan kecerdasan berpolitik, tidak hanya cerdas menerima isi dompet dan membuang amplopnya. Berpikir moderat tidak pragmatis karena mendasarkan pilihan pada pola nepotisme, koalisi apalagi praktek politik amplop.

Negara kita bahkan mendapat julukan 'negeri amplop' karena sebagian warganya tak bisa berpikir realistis dan salah kaprah.

Tantangan bagi parpol, kontestasi, koalisi politik, parpol pendukung adalah visi misi dan kampanye pragmatik yang realistis. Tidak memaksakan janji politik untuk sekedar rayuan. Habis manis sepah dibuang. Tentulah parpol akan berpikir pragmatis, siapa mendukung akan diprioritaskan. Namun inilah wujud pembelajaran demokrasi politik salah yang harus dipraktekkan.

Lahirnya keputusan Bawaslu yang meloloskan para koruptor, tidak serta merta melunturkan peluang para koruptor untuk terus maju. Sikap permisif dan koruptif yang telah menjangkiti dan menjadi budaya terselubung adalah penyakit yang endemik di semua strata, bahkan dalam urusan mengurus KTP sekalipun berbayar. Maka uang rokok adalah kamuflase wujud tindak koruptif.

Tidak terdeteksi dan para koruptor dalam daftar calon tetap yang dipilih adalah sebuah 'keberuntungan' bagi para mantan koruptor untuk berpeluang melenggang ke gedung legislatif plus budaya permisif membuat partai pendukung dan calon lebih percaya diri. Kadangkala justru naik elektabilitasnya meningkat seiring publisitas yang makin meluas.

Sikap apatisme atau sosialiasi yang kurang tentang kehadiran tokoh-tokoh mantan koruptor dapat menjadi bumerang bagi masa depan demokrasi kita, ketika kita tak pernah mau belajar dari kesalahan akibat dari salah kaprah dalam memainkan peran kita berpolitik praktis. Pilihan kebijakan kita meloloskan para koruptor dapat menjadi preseden buruk yang mungkin butuh waktu untuk mengembalikannya menjadi normal. Padahal semestinya kesempatan memainkan legislasi untuk demokrasi yang bersih harus dimulai dari sekarang sebelum terlambat sama sekali.

Apakah pilkada serentak kemarin akan menambah barisan daftar koruptor di negeri kita?. Mungkin waktu dan KPK yang akan membuktikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun