Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dunia Nirkorupsi, Apa Bisa?

18 Desember 2020   09:37 Diperbarui: 10 Desember 2021   11:21 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika semua orang menjuluki dirinya sang diktator, memadamkan hati nuraninya dan dalam kegelapan yang fana membunuhi siapa saja yang merintangi jalan. 

Termasuk rakyat yang rela memasang badan untuk memberi setiap jengkal jalan agar sang wakil pilihannya itu bisa melenggang sebagai senator, pimpinan dan bahkan presiden. Yang diamanahi tanggungjawab menyuarakan suara hatinya. Maka zaman kegelapan itu adalah hari ini, yang dalam bayangan Weismen adalah dunia dan lingkungan yang rusak porak poranda karena kegigihan manusia sebagai khalifah penguasa, menguasai udara setinggi-tingginya, menguasai laut sedalam-dalamnya dan menguasa darat seluas-luasnya.

Rakyat berada di persimpangan jalan kebenaran dan kejahatan, meminjam istilah Georges Bataille manusia berada di simpang hypermoralitas, ketika kebenaran terlalu benar dan kejahatan terlalu jahat, maka sulit menemukan kebenaran hakiki diantaranya. Lalu seperti kata Karl Gunnar Myrdal, rakyat hidup dalam "negara lembek"(soft state). Negara yang warga dan pemerintahannya tidak memiliki ketegaran sosial politik yang jelas (leniency), easy going, berpondasi rapuh dan tidak peka menghadapi masalah besar, wabah korupsi. Dan reformasipun tak berdaya menjaga wibawa negara sampai hari ini.

Dan lebih ajaib, karena gambaran absurd itu adalah gambaran untuk Indonesia. Bahkan dalam cara yang lebih menohok, Ramalan Louis Kraar pada tahun 1998, menyebut Indonesia akan menjadi backyard alias halaman belakang wilayah Asia Timur, sebagai hal yang tidak mustahil. Artinya, ada penyakit endemik kronik yang dibiarkan. Karena hal itu terbukti benar!, namun kita tak bisa bersorak gembira karenanya. Kita sungguh sedang dikhianati dan ditipu mentah-mentah para "wakil Machiavelli" di parlemen dan pemerintahan negeri kita sendiri.

Realitas politik tidak memberi kita pilihan yang baik. Dipilih atau tidak, kita tetap mati, berpolitik atau tidak, sama dengan berpolitik. Maka kita terjerembab di tanah tumpah darah sendiri namun tak bisa merasakan pijakannya, seperti mengawang, melambung tapi bukan gembira, perut melilit, hutang menjerat, paceklik meremas nasib dan ekonomi galau, gundah gulana. 

Untuk turun dari awang-awang, kita takut karena tak bisa memijak dan melambungpun tak bisa memberi kegembiraan, kita gundah dan bingung apakah sungguh sungguh kita sedang bernegara?, dan sudah merdeka?. 

Punya tanah air, punya pemerintah yang bersedia memberi kita pijakan tanah yang dijanjikan, agar kita merasa sungguh hidup di tanah air sendiri, tumpah darah sendiri, di sebuah tempat yang disebut-sebut oleh banyak orang sebagai "negara gemah ripah loh jinawi"?.Karena pijakan, telah dirampas oleh para wakil kita di parlemen menara gading, duit jatah rakyat telah dirampok, dicurangi. Dan Kita mendapat julukan baru 'negara amplop' (the envelope country), karena ukuran kesenangan, kesejahteraan diukur dari besar dan berat amplop yang bisa ditawarkan.

Kita meniru kekikiran tetangga Nasreddin Hoja, khadim sultan Harun Al Rasyid. Suatu ketika, sang tetangga terjebak dalam lumpur hisap, setiap orang yang menolongnya berkata, "berikan tanganmu, aku akan menolongmu!". Meskipun akan tenggelam si kikir bersikukuh mengurungkan tangannya untuk ditolong. Tetapi ketika Hoja, berteriak "ambil tanganku!", dengan serta merta direngkuhnya tangan Hoja. Karena si kikir berpikir tak mau rugi hanya karena perbedaan kata "berikan" dan "ambillah".

Hari ini, pemimpin kita mengenakan cermin dan topeng yang sama. Mereka menjadi kikir karena korupsi memakan hati dan jiwanya, mematikan nurani, menutup mata dari tangis anak yatim, orang miskin, rakyat jelata yang tertindas dan para ibu yang nasib janinnya harus mati sia sia menjadi martir karena harus melahirkan "manusia baru" untuk menambah banyak rakyat, namun tidak dibekali fasilitas layak untuk hidup. Kecuali hanya menjadi mesin suara dengan imbalan "mie instant" dan "uang malpraktik korupsi" menjelang pagi buta hari H pemunggutan suara.

Korupsi merasuk masuk kedalam labirin otak para pembesar negara menjejali pikiran dengan ber-milyar-milyar uang recehan rakyat. Mengantar dan menjejalkan tersangka koruptor dengan kemungkinan terpenjara hanya sepersekian waktu dan sepersekian rupiah dari keuntungan haram yang didapat dengan instan. Para pencoleng dan petualang politik membeli semua kebutuhan untuk duduk diperlemen menara gading dengan membayar penguasa, pengacara, hakim, jaksa, polisi editor pers dan rakyat tentunya. Bui dapat dibeli tergantung pilihan dan segmentasi, kelas melati atau kelas presidential suit.

Dunia Ala Weisman
Dunia tanpa korupsi, adalah dunia absurd, dunia yang hanya mungkin lahir dalam dunia non fiksi Alan Weisman. Karena ketika "mesin-mesin negara", telah menyatukan visi korupsi berjamaah. Maka seluruh lini dan nadi menjadi 'pelaksana harian' korupsi, mengaliri jantung, menyumbat hati dan membutakan seluruh indera penglihat, pendengar dan perasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun