Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Politik

Koruptor, Pileg dan Pilpres 2019

24 September 2018   09:55 Diperbarui: 29 Januari 2021   22:41 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

https://geotimes.co.id/opini/demokrasi-dan-geliat-korupsi/

Ada dua persoalan mutakhir yang mengemuka dan menarik untuk menjadi kajian kita. Pertama dalam kaitan mengawal proses tahapan pileg dan pilpres 2019, sekaligus bersisian dengan komitmen dan kerja besar kita memberantas korupsi yang nyaris tanpa henti.

Disharmoni antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kelihatannya akan menambah daftar koruptor yang akan masuk ke parlemen di Indonesia. 

Daftar ini akan melengkapi temuan data koruptor, setelah dirilis daftar 2.357 koruptor yang berstatus PNS oleh Badan Kepegawaian Negara (BPN). Data ini cukup mencengangkan dalam kaitan kerja kita memberantas rasuah di Indonesia yang dimotori oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Aceh menempati urutan ke 7 dari 34 provinsi dengan 89 orang koruptor (provinsi 19 orang, kabupaten maupun kota 76 orang). Data tersebut dirilis BPN berdasarkan penelusuran data rekapitulasi di Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham. 

Data ini terhitung sejak program Pendaftaran Ulang PNS (PUPPNS) pada akhir 2015. Saat ini baru 317 koruptor dari total keseluruhan kasus secara nasional yang telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai PNS. Pemecatan dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) masing-masing wilayah (Serambi, 14/9/2018).

Toleransi diberikan oleh pemerintah kepada PNS dan ASN yang terbukti korupsi dan keputusan pengadilannya telah inkrah (berkekuatan hukum tetap), hingga akhir 2018 ini. Legalitasnya tertuang dalam Surat Keputusan Bersama antara Mendagri Tjahyo Kumolo, Menpan-RB Syafruddin dan Kepala BKN Bima Harta Wibisana. SKB ini merupakan wujud komitmen tiga institusi dengan KPK dalam kerangka kerja besar memberantas korupsi.

Polemik tanpa solusi

Di saat rilis panjangnya daftar koruptor PNS yang telah masuk dalam hirarki pemerintahan kita, justru pada saat yang sama, barisan baru para koruptor sedang menunggu antrean untuk menjadi "penumpang" baru di gedung dewan. Bisa jadi daftar koruptor atau calon koruptor itu akan menjadi pengisi kotak Pandora baru, dan ketika dibuka kelak maka kita akan dibebani dengan kerja-kerja memberantas korupsi yang lebih massif lagi. Barangkali analogi yang tepat untuk realitas ini adalah, seperti 'menyimpan' duri dalam daging.

Hingga saat ini disharmoni dan sinergi kerja antara KPU dan Bawaslu belum menunjukkan sinkronisasi, bahkan belum terlihat adanya itikad baik dari kedua belah pihak untuk meluruskan persoalan terkait larangan mantan napi koruptor maju sebagai bakal calon legislatif yang belum terakomodir secara jelas jalan keluarnya.

Silang pendapat ini dilatarbelakangi perbedaan dua legalitas yang menjadi acuan hukumnya. Diketahui KPU menyatakan mantan napi korupsi tidak memenuhi syarat (TMS) sebagai bacaleg dengan berpedoman pada Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 tahun 2018 yang melarang mantan napi korupsi maju sebagai calon wakil rakyat. Sementara Bawaslu justu meloloskannya melalui sidang sengketa dengan berpedoman pada Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 yang tidak memuat larangan mantan korupsi untuk menjadi anggota legislatif.

Akibatnya muncul polemik yang tak berkesudahan yang sangat mengganggu kerja-kerja tehnis penyelenggaraan tahapan pileg dan pilpres tahun 2019 mendatang. Padahal kedua lembaga tersebut berada dalam satu institusi penyelenggara pemilu, namun bertentangan pendapat, dan saling menegasikan dalam menjalankan kewenangan dan tugas kelembagaannya.

KPU bertanggung jawab atas seluruh pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2019, sedangkan Bawaslu mengawasi jalannya pelaksanaan tahapan pemilu, pelanggaraan pemilu, serta penyelesaian sengketa pemilu. Sementara sengketa internal antara mereka justru tak kunjung menemukan solusinya.

Tentu saja kebuntuan komunikasi akibat cara pandang yang berbeda akan berbuntut pada tahapan pelaksanaan pemilu yang justru menjadi tidak sederhana karena dibebani persoalan sengketa, yang akan terus menuai gugatan. Terutama dalam kaitan dengan daftar calon legislatif yang terindikasi positif sebagai koruptor, namun tetap melenggang ke gedung dewan perwakilan rakyat. Indikasi beratnya persoalan terkait Pileg juga diutarakan oleh Kapolri, Jendral Tito Karnavian, bahwa ancaman keamanan pada pelaksanaan pileg lebih rawan dari pada pilpres (Serambi, 14/9/2018).

Jika jalan buntu ini tak menemukan solusi konkret, kemudian mekanismenya dibiarkan ditentukan "pasar", meminjam istilah ekonomi, artinya rakyat sendiri yang akan memutuskan pilihannya, berdasarkan latar belakang (track record) para bacaleg, tentu menjadi bias.

Setidaknya terdapat tiga persoalan yang terimbas dengan kasus tersebut, yaitu: Pertama, tidak seluruh informasi terkait latar belakang calon yang terindikasi korupsi diketahui oleh masyarakat secara luas, kecuali jika dalam Daftar Calon Tetap (DCT) dan saat pemilihan, diterakan bahwa yang bersangkutan adalah koruptor, sesuatu yang mustahil tentunya.

Kedua, menjadi pembelajaran buruk bagi demokrasi kita, karena ketika cap koruptor ditandai sebagai musuh yang harus dibasmi, namun sosok koruptornya justru didorong menjadi salah satu calon pemimpin dan dijagokan sebagai representasi atau perwakilan aspirasi rakyat di gedung dewan yang terhormat yang dikuatkan dengan legitimasi Undang-Undang.

Dan, ketiga, inisiatif dan kerja keras pemerintah mendorong pemberantasan korupsi yang dikomandani KPK menjadi sebuah aksi semu alias sekedar kamuflase belaka. Tahapan seleksi pileg dengan para koruptor di dalamnya, hanya akan menjadi atraksi demokrasi dan pemberantasan korupsi semu. 

Seolah pemerintah abai dan bersikap apatis atas realitas yang sebenarnya dapat ditangani sejak awal sebagai tindak preventif, dari pada membuang energi percuma untuk mengurusi persoalan sengkarut hukum yang kelak bisa saja muncul ketika putusan pengadilan berlaku inkrah (tetap).

Membangun kesepahaman

Dibutuhkan kesepahaman dan itikad baik dari kedua belah pihak untuk penyelesaian sengketa internal tersebut. Membangun diskusi dan komunikasi dua arah yang intensif antara KPU dan Bawaslu untuk menghindari benturan penafsiran atau perbedaan pandangan yang dibangun dalam sebuah code of conduct atau wujud komunikasi yang disepakati diantara KPU, Bawaslu dan DKPP. Sebagaimana diwacanakan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.

Persoalan ini akan terus menjadi blunder tak berkesudahan, jika ketidaksepahaman tidak diimplementasikan sejalan dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga. 

Menghormati secara proporsional peraturan yang dibuat KPU, begitupun Bawaslu terhadap peraturan KPU dan juga peraturan DKPP. Tanpa kesepahaman, maka disharmoni akan terus berlanjut dalam babak-babak tahapan pemilu yang sesungguhnya membutuhkan kerja-kerja harmoni sebagai rangkaian pesta besar untuk rakyat, oleh rakyat yang mesti disukseskan.[hans-acehdigest-2018].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun