Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politisi "Kutu Loncat"

11 September 2018   13:02 Diperbarui: 5 Februari 2021   02:25 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://mulya.gurusiana.id/

Fokus utama partisipasi politik adalah usaha memengaruhi alokasi otoritatif nilai-nilai bagi suatu masyarakat. (Samuel P. Hutington dan Joan M. Nelson)

KUTU loncat bukan sekadar istilah tanpa tendensi, bahkan bermakna politis ketika dikaitkan dengan dinamika perpolitikan. Diksi ini mungkin dipilih karena menjelaskan secara tepat dan mudah padanan kata "berpindah tempat". Fenomena ini tidak hanya terjadi di Aceh, tapi juga di kancah perpolitikan Nasional. Crish John, misalnya, seorang petinju muda Indonesia yang masuk dunia politik pascarehat dari tinju profesional, pindah dari Partai Demokrat ke Partai Nasdem.

Pola dinamika politik itu dianggap lumrah, ketika secara visi politik dianggap tak sejalan atau kebijakan partai tak lagi sehaluan, sehingga memuluskan jalan meloncat menuju "rumah" baru. 

Sepanjang substansi pentingnya meneguhkan identitas sosialnya sebagai wakil rakyat sejati, bukan sekadar prestise legislatif belaka, karena partisipasi politik bukan pekerjaan cilet-cilet seperti ujaran Hutington dan Nelson dalam bukunya, No Easy Choice; Political Participation in Developing Countries yang kita kutip di atas.

Dalam kondisi politik yang kekuatannya terfragmentasi, tidak mudah mengonsolidasikan demokrasi menjadi mesin ideal. Banyak acuan menjadi dasar pertimbangan politisnya. Banyak hal harus diperbaiki agar demokrasi tidak berhenti pada demokrasi prosedural, melainkan naik kelas ke demokrasi substansial. Bisa jadi pola demokrasi prosedural ini yang menjadi salah satu alasan mengapa orang berbondong-bondong masuk partai dan 'kutu loncat' menetapkan pikiran untuk berpindah.

Fenomena "kutu loncat" menimbulkan praduga, bahkan polarisasi dalam masyarakat, apalagi ketika muncul bergelombang sebagai gejala politik tak biasa. Sebagian awam menanggapi secara skeptis sebagai kewajaran ketika seseorang memilih pindah rumah yang dianggapnya tidak lagi nyaman. 

Sementara yang lain menilainya secara kritis sebagai tindakan politis, bentuk perlawanan-penggembosan dukungan, kritik internal atau bahkan upaya politis mencari "perahu pelampung" agar aman dalam lima tahun periode berikutnya. Analisis ini secara halus menyebut kaitan dengan upaya "meneguhkan identitas sosialnya".

Konsolidasi demokrasi

Apalagi Aceh adalah sebuah daerah yang sedang menata dan mengonsolidasikan demokrasinya. Karena format demokrasi Aceh hingga hari ini belum menemukan bentuk yang utuh dan tepat. 

Proses demokrasi berdinamika seiring jalan dengan polarisasi yang muncul di tataran elite maupun di kalangan masyarakat biasa, yang melihat sepak terjang para politisi dari jauh di luar gedung perlemen. Keterbukaan politik saat ini, makin membebaskan orang secara proaktif mengkritisi proses demokrasinya sendiri.

Satu persoalan inti dan fundamental dalam mengelola kehidupan politik adalah persoalan komunikasi politik. Belajar dari pengalaman sebelumnya bagaimana buntunya komunikasi politik era Gubernur Zaini dan Mualem. Padahal mereka tandem dalan satu tim dan berasal dari partai yang sama. Ragam fungsi seperti agregasi politik, artikulasi politik, sosialisasi, rekrutmen, pembuatan aturan, pelaksanaan aturan, tidak dapat terlepas dari peran dan fungsi komunikasi politik setiap kali timbul blunder politik.

Disharmonisasi antara eksekutif, legislatif bahkan dalam kasus APBA kita, kedua kubu bersilang pendapat dalam banyak hal, termasuk ketika merapatkan barisan mengesahkan APBA setiap tahunnya.

Para elite kita belum bisa atau belum mau belajar dari pengalaman masa lalu, terlena perebutan "tampuk" dan "tumpok" (ashoe idang-ashoe dalung) setiap tahun anggaran. Tidak kurang dari tataran konotasi itu karena sudah menjadi rahasia publik, lantaran konfrontasi dan polemik antar elite dibentuk dan disuguhkan tanpa sungkan dan malu melalui jalur media menjadi konsumsi publik.

Padahal komunikasi politik para elite tidak hanya bekerja pada ruang hampa. Suprastruktur politik seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif, dituntut melakukan kerja kelembagaan secara optimal. Dituntut piawai berkomunikasi di ruang publik, internal maupun eksternal. Termasuk dengan infrastruktur politik, seperti partai politik, media masa, kelompok elite, kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure group) untuk mengelola sumber daya politik berkesinambungan secara baik.

Problematika politik bisa jadi menjadi satu alasan bagi "kutu loncat". Selain persoalan komunikasi politik, konflik internal partai, dan rendahnya kepercayaan publik karena dinamika relasi kuasa dengan kekuatan lain, serta dinamika pelembagaan politik seperti kaderisasi yang lemah. Berbagai kompleksitas ini makin melengkapi berbagai pilihan alasan untuk menjadi "kutu loncat" yang fenomenal sekarang ini.

Partai yang ditinggalkan tentu harus mengevaluasi diri. Fenomena Partai Aceh (PA) yang menjadi partai dominan selama beberapa periode kontestasi, pada akhirnya harus mulai memikirkan kekuatan lain selain hanya memainkan kekuatan nayoritas, namun menafikan kualitas. Tuntutan kualitas pada babak berikutnya menjadi satu alasan orang untuk bertahan menjadi politisi dan bertahan menjadi konstituen sejati.

Ketika hal itu dibiarkan dan dipenuhi kader militan namun tanpa dukungan kualitas, akan menjadi blunder politik. Bukan sesuatu yang mustahil dalam demokrasi yang terus berubah, partai akan ditinggalkan secara perlahan. Di sini dibutuhkan pemimpin yang komit mereformasi internal partai. Menginternalisasikan nilai kepartaian menjadi kekuatan politik utama untuk menjaring kekuatan massa dan akses "jalan tol-bebas hambatan" menyejahterakan Aceh.

PA, sebagai sebuah partai lokal terbesar harus meninjau kembali pola distribusi dan alokasi orang untuk menjadi caleg andalannya. Pendekatan rekruitmen berbasis struktur sosial tradisional yang masih dominan saat ini, harus mulai ditinggalkan dan berganti menjadi mekanisme keorganisasian modern. Pola ini menafikan jalur kekerabatan, politik patron-client (senior-junior; sponsor dan yang disponsori) dan modus transaksional.

Tanpa unsur itu, bukan tak mungkin partai ini hanya akan menjadi ruang masuk bagi "politisi petualang" dan menjadi ruang "kutu loncat" juga. Pada akhirnya patron-client dianggap dapat merusak kaderisasi, karena pertimbangan pencalegan bukan didasarkan pada pertimbangan performa ritual, organisasional, politis, enkulturisasi dan koherensi karakterologis, melainkan karena suka dan tidak suka dengan patronnya.

Problematika politik

Berbagai tekanan akan datang, sehingga problematika politik memerlukan penanganan yang tidak lagi sporadis, melainkan lebih bersifat sistematis dan berkelanjutan. Salah satunya adalah sirkulasi elite dalam kekuasaan, koaliasi dan tantangan mewujudkan program dalam satu periode kekuasaan. Tanpa kekuatan ini, rakyat yang makin cerdas politik akan melihat apakah pemimpin dan partai besutannya sudah manjalankan amanah dan menyejahterakan, atau justru menyejahterakan personal partai masing-masing.

Persoalan makin kompleks, selain polarisasi di sosial media yang dapat memicu conflict of interest, warga internet (netizen) kerapkali menunjukkan wajah positifnya, menjadikan internet sebagai ruang publik (public sphere). Namun, sebaliknya juga tak jarang menampilkan wajah buruk sebagai ruang penyebaran hoax dan ujaran kebencian (hate speech). Realitas tersebut adalah tantangan tambahan bagi pelaksana tugas negara untuk mengevaluasi kemampuan berkomunikasi politiknya agar tidak menjadi komunikasi ala "debat warung kopi", sehingga urusan pribadi kemudian masuk dalam agenda diskusi legislatif.

Lembaga legislatif yang menjadi ruang bagi "politisi kutu loncat" ini adalah sebuah lembaga yang sangat penting dan menentukan bagi keberlanjutan Aceh ke depan.

Terlepas dari motif kepindahan tersebut, kerja-kerja dan fungsi legislasi, fungsi kontrol dan fungsi budgeting yang menjadi fungsi utama harus dioptimalisasikan seiring kepindahan para jawara politik atau tokoh elite di partai barunya. Tanpa optimalisasi fungsi, kepindahan hanya menjadi fenomena politis basi tanpa dampak signifikan bagi kesejahteraan Aceh kita.

Maka persoalan pencalegan di awal harus diakomodir dengan lebih bijaksana, sebagaimana diwacanakan Dr Gun Gun Heryanto, Dosen UIN Jakarta; Penjenjangan dalam sistem kaderisasi, dengan pola rekruitmen yang memertimbangkan keterwakilan kaum muda, perempuan dan kelompok penting masyarakat dalam proses yang panjang, tidak instan. Melembagakan pendekatan Triple-C (Community relation-hubungan komunitas; Community empowerment-pemberdayaan komunitas; dan Community service-pelayanan komunitas) untuk mendapatkan figur yang tepat dan memiliki akar kuat di basis pemilih.

Berikutnya, kemampuan reflektivitas dalam tahapan pencalegan. Tidak hanya mampu menyusun, tapi juga melihat dinamika dan orientasi idealis dan strategis partai ke depan. Agar kader partai tidak bermain-main dengan aturan dan konsensus dan lebih bijak ketika memutuskan untuk menjadi "kutu loncat", bukan karena "godaan duniawi" semata. Selamat berjuang untuk rakyat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun