Sinyalemen polemik ketidakharmonisan legislatif dan eksekutif dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2016 telah masuk ruang publik. Publik berhak tahu; apa dan bagaimana persoalan yang tengah membelit RAPBA 2016 kita. Soal ini berkorelasi dengan pengesahan RAPBA oleh Kemendagri agar tepat waktu, tidak terlambat dan mengganggu keseluruhan proses pembangunan di nanggroe kita, seperti lazimnya yang sudah terjadi.
Sayangnya diskursus RAPBA terjadi di masa injury time. sekalipun nantinya akan ada jalan keluar, tetap saja kita akan terlambat. Kita jatuh di lubang yang sama untuk kesepuluh kalinya, ini “musibah” sekaligus tantangan luar biasa.
Diskursus bermula dipicu persoalan selisih paham dan buntunya komunikasi dalam proses kelanjutan pengesahan RAPBA 2016. Musababnya karena dugaan beda pendapat antara legislatif dan eksekutif. Satu pihak mengaitkan keterlambatan RAPBA berkaitan dengan soal usulan aspirasi dewan (legislatif) yang dikenal luas dengan dana aspirasi alias asoe idang-nya RAPBA.
Pihak lain menilai sikap egoisme pihak eksekutif terhadap tugas pengawasan dan fungsi anggaran (budgeting) anggota dewan dalam pembahasan usulan pihak eksekutif yang terdapat dalam dokumen KUA dan PPAS RAPBA 2016. Pihak eksekutif “takut” jika usulan program dan anggaran diotak-atik anggota dewan dalam pembahasan di tingkat komisi, sehingga asoe dalong-nya terpangkas.
Persoalan ini penting diketahui agar semua pihak dapat memiliki kesepahaman dan “menajamkan sensitivitas”, tidak dalam kerangka untuk memojokkan kedua pihak. Jalan keluar lebih diupayakan untuk mendapatkan input positif untuk perbaikan kinerja pemerintahan dan anggota dewan kita. Hal ini berkaitan dengan persoalan krusial, keterlambatan APBA 2016 nantinya, jika tidak diproses dan disahkan dalam waktu cepat dan tetap dalam pertimbangan budgeting yang logis dan realistis.
Menurut amanat Undang-undang, Pasal 312 ayat (2) UU Pemda disebutkan, DPRD dan Kepala Daerah yang tidak menyetujui Ranperda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun, alias molor anggaran, dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya selama 6 (enam) bulan. Jika sanksi administrasi yang terjadi, konsekuensinya pemerintahan akan stagnan dan pembangunan akan terhambat. Ini akan berdampak buruk terhadap 5 juta jiwa rakyat Aceh nantinya.
Skenario RAPBA
Pasca pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) 2016 dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) Dewan telah menetapkan tujuh skenario. Pertama, pihak legislatif, DPRA telah membahas bersama KUA dan PPAS RAPBA 2016 senilai Rp 11,5 triliun yang merupakan cikal bakal RAPBA 2016 dengan pihak eksekutif sejak 16 November 2015 dan telah ditandatangani Ketua DPRA bersama Gubernur Aceh; Kedua, Banggar telah membahas KUA dan PPAS RAPBA yang didelegasikan melalui Komisi-komisi DPRA bersama SKPA; Ketiga, penyampaian laporan pembahahasan KUA dan PPAS RAPBA 2016 di tingkat komisi dan mitra kerjanya telah diserahkan pada 1 Desember 2015.
Keempat, Tim perumus Banggar DPRA telah meng-input seluruh hasil pembahasan komisi dengan mitra kerja, namun datanya belum disampaikan kepada Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) karena TAPA belum dapat menerima hasil pembahasan dari komisi-komisi; Kelima, pemerintah Aceh melalui TAPA berpendirian pembahasan KUA KPPAS RAPBA 2016 oleh komisi tidak boleh diubah, ditambah dan dirasionalkan. Point ini menimbulkan persepsi diabaikannya fungsi budgetting-pengganggaran DPRA.
Keenam, pemerintah Aceh melalui TAPA mengisyaratkan pembahasan RAPBA 2016 tidak boleh melampui 21 Desember 2015, batas akhir yang diberikan Kemendagri kepada pemerintah Aceh dan DPRA untuk menyerahkan RAPBA 2016 yang telah disetujui fraksi-fraksi DPRA kepada Mendagri. Namun mengingat pembahasan KUA dan PPAS RAPBA 2016 belum disepakati maka Banggar menilai waktu pembahasan RAPBA masih dapat dilampui. Dan, ketujuh, berdasarkan seluruh proses tersebut, apabila pemerintah Aceh tidak dapat menerima dan mengakui hasil pembahasan KUA dan PPAS RAPBA 2016 oleh DPRA, maka kebijakan selanjutnya adalah menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Aceh (Serambi, 23/12/2015).
Dalam kenyataannya hingga melewati tanggal tersebut belum ada kabar kesepakatan penandatangan dokumen KUA dan PPAS 2016 dari pihak TAPA agar dapat dilanjutkan ke tahap pengesahan pada Sidang Paripurna RAPBA 2016 yang telah dijadwalkan Badan Musyawarah (Bamus) Dewan, 21-23 Desember 2015 yang sudah terlampui waktunya. Blunder persoalannya adalah ketiadaan titik temu antara pihak eksekutif dan legislatif soal muatan KUA PPAS RAPBA 2016. Jika tidak ada kompromi, maka kemungkinan untuk melangkah pada tahapan pengesahan menjadi buntu. Padahal kemungkinan Kemendagri memberi tambahan tenggat waktu pelaksanaan paripurna KUA dan PPAS RAPBA 2016 makin kecil.
Polemik kasus serupa juga pernah terjadi pada penyusunan RAPBA 2015, ketika terjadi perubahan pagu APBA yang sudah disepakati sebesar Rp 11,6 triliun, bertambah menjadi Rp 12,7 triliun serta adanya penolakan legislatif dalam soal penyertaan modal PT Investa dan PDPA. Hanya saja karena adanya kompromi dan konsolidasi antara pihak legislatif dan eksekutif prosesnya kemudian tetap dapat berjalan meski berkonsekuensi pada keterlambatan realisasi anggaran (Serambi, 20/1/2015).
Dua kemungkinan terbesarnya munculnya polemik ini sebagaimana dikemukakan Wakil Ketua III DPRA, Dalimi adalah adanya persoalan kebijakan pengganggaran (budgeting) dan pengawasan anggaran oleh DPRA yang tidak sejalan dengan dengan kemauan eksekutif. Kemungkinan lain adalah tidak adanya tindak lanjut komunikasi terkait pagu belanja pembangunan 2016, dan adanya usulan tambahan anggaran setelah pembahasan yang dinilai TAPA dan Gubernur tidak lagi dapat dipenuhi, sehingga situasi menjadi mengambang. Dan jalan keluar dari kebuntuan itu adalah mempergubkan RAPBA 2016.
Proses tahapan pemberlakuan Pergub RAPBA 2016 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 juga cukup panjang, dan baru dapat diberlakukan dalam kondisi darurat dan mendesak. Jika keputusan akhirnya kemudian adalah mem-Pergub-kan RAPBA 2016, maka pihak anggota dewan tinggal melaksanakan fungsi pengawasannya secara optimal.
Solusi terbaik
Persoalan ini tidak boleh deadlock, karena mempertahankan egoisme parapihak yang tidak saling mengalah. Jika pertimbangan kebijakan anggaran telah dianggap logis dan realistis dengan kebutuhan pembangunan, semestinya harus ada keputusan tegas. Akan dibawa kemana RAPBA 2016 yang kini telah berada di masa kritis tenggat waktu menjelang pergantian tahun. Pihak eksekutif melalui TAPA juga harus memberikan klarifikasi dan penjelasan yang kongkrit duduk persoalan yang sebenarnya.
Dibutuhkan koordinasi lebih intensif atau bahkan konsolidasi parapihak untuk menemukan jalan keluar terbaik. Pertimbangan paling krusial sebagai dampak dari keterlambatan realisasi RAPBA 2016 adalah persoalan pembangunan Aceh secara menyeluruh. Terutama karena hingga saat ini pusat dari pergerakan pembangunan nanggroe kita adalah pada realisasi anggaran pembangunan dan belanja pemerintahan yang bersumber dari APBA.
Sumber pendanaan dari investasi dan sumber lainnya masih minim dan belum berbuat banyak berkontribusi bagi pembangunan. Sumber andalan pemasukan negara hanya berdasarkan dari pendapatan pajak, selebihnya masih jauh dari harapan. Ini realitas yang tidak bisa dibantah dan selalu menjadi diskursus dan sumber masalah.
Dengan kondisi demikian, persoalan keterlambatan RAPBA 2016 saat ini menjadi sangat vital, bahkan genting. Pertimbangan lain yang juga tidak kalah penting adalah masuknya pasar bebas ASEAN yang mau tidak mau, konsekuensinya akan berpengaruh kepada kita semua. Maka seperti dugaan dan kekhawatiran banyak pihak bahwa kita hanya akan menjadi “makanan empuk” pasar besar komunitas ASEAN akan makin terbukti, terutama ketika di dalam internal kita saja masih berselemak dengan silang pendapat.
Konon lagi ketika harus berhadapan dengan banyak realitas baru di 2016, gonjang ganjing turun naik migas, iklim investasi yang masih kedodoran dengan persoalan kesiapan infrastruktur, sistem manajerial pengaturan ekspor-impor yang tidak kunjung jelas dan kesiap-siagaan komoditas andalan kita untuk mengisi ruang ekspor-impor.
Belum lagi soal kesiapan sumber daya manusia (SDM), terutama sertifikasi tenaga skill agar bisa bersaing dan masuk di pasar ASEAN, serta beragam persoalan teknis lainnya. Oleh karena itu, baik eksekutif dan legislatif harus bersikap realistis, tidak hanya mempersoalkan asoe idang dan asoe dalong jika tidak mau terpuruk ke dalam lubang yang sama berkepanjangan untuk kesekian kalinya.
Hanif Sofyan, Mahasiswa Program Magister Ekonomi Islam, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: acehdigest@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H