Pencetus Wahaby adalah Muhammad bin Abdul Wahhab, dan bukanlah Ibnu Taimiyyah. Perbedaan Kurun antara keduanya sangatlah jauh.
Ibnu Taimiyyah dilahirkan pada tahun 661 H. sedangkan Muhammad bin Abdul Wahhab pada tahun 1115 H.
Jadi kurunnya sangatlah jauh.
Saya termasuk orang yang menentang keras jika ada mereka yang mengait-ngaitkan ibnu taimiyyah dengan wahaby.
Wahaby hanyalah mengkambing hitamkan dan mengklaim salah satu faham ibnu taimiyyah terkait dengan "tajsim" menjisimkan Alloh -jalla jalaaluh-.
Sosok ibnu taimiyyah tidak seburuk apa yang terlintas dalam benak kalian. Beliau adalah salah satu mufakkir islam yang keilmuannya telah mendapatkan banjir pujian dari para pembesar madzhab, terutama madzhab syafi'i, beliau mufakkir yang melahirkan banyak karangan, diantaranya seperti Fatawa Ibnu Taimiyyah.
Andaikan ada sikap dan perkataan, juga pandangan ibnu taimiyyah yang kontroversial, bahkan mendapat kecaman keras dari para pejuang madzhab, bukan berarti dengan seenaknya lantas kita menghina dan menutup mata akan karya-karya dan jasa beliau untuk agama ini, apa lagi sampai mengaitkan beliau dengan wahaby.
Karena sejatinya, pengalaman spiritual seseorang, dan perilaku nyeleneh yang muncul dari perjalanan spiritual seseorang itu tidak bisa dijadikan tendensi dan referensi.
Bahkan dalam disiplin ilmu tashowwuf, kita akrab dengan istilah majdzub/jaddzab (ket: kondisi alam bawah sadar seseorang yang tidak stabil karena tertarik arus perjalanan spiritual). Kondisi semacam ini juga yang telah membuat para pakar fiqih berada pada dua ujung perbedaan:
1- orang yang majdzub itu ghoiru mukallaf.
2- orang yang majdzub itu mukallaf.
Pertanyaannya adalah:
Apakah lantas kita masih mau menyalahkan seseorang yang hanya dijadikan kambing hitam oleh wahaby??!
Apakah lantas pendapat, sikap dan perkataan dari seorang yang dalam kondisi majdzub, yang belakangan diklaim oleh wahaby, juga patut kita persalahkan??! Padahal kita tau bahwa apa yang menjadi pengalaman spiritual seseorang, dan tidak dapat dimengerti oleh kebanyakan orang itu tidak bisa dijadikan referensi dan rujukan hukum.
Karena pengalaman spiritual itu berbeda antara setiap pelaku dan personalnya.
Bagaimana mungkin situasi dan reaksi itu dapat dijadikan rujukan lalu dipersalahkan jika seorang nabi dan rosul sekelas Nabi Musa, yang mendapat gelar kaliimulloh -'alaihissalam- saja tidak dapat mengerti akan perilaku yang dilakukan oleh Nabi Khidlir???
Beliau merusak kapal, membunuh anak kecil yang tak berdosa, dan merenovasi tembok rumah yang hampir runtuh tanpa memungut bayaran sepeserpun.
Apakah semua itu dapat dijadikan referensi dan rujukan hukum???
Apakah lantas Nabi Khidlir dapat dipersalahkan, hanya karena keterbatasan pemahaman dan indera kita??? Wallohu A'lam bisshowaab,,,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H