Seperti biasa, pagi ini saya baca koran. Dari aktivitasnya saja bisa langsung ketahuan, masuk ke dalam geerasi manakah saya. Ya, saya adalah Generasi X, yang lahir pada rentang tahun 1965-1981. Berdasarkan klasifikasi era musik (kalau memang klasifikasi seperti itu dianggap valid), saya sangat beruntung, karena saya adalah generasi yang menginjak usia remaja pada era ‘90s, ketika musik rock berada di puncak kreativitas dan eksplorasinya. Kamilah yang disebut anak ’90-an.
Siapa pun yang merupakan anak ‘90-an pasti mengamini pernyataan saya barusan dan dalam hatinya mendadak tumbuh kerinduan yang dalam akan musik-musik luar biasa memesona yang pernah mengisi masa remaja mereka. Saya sendiri, hingga hari ini, masih tetap mendengarkan musik masa remaja saya semacam Nirvana, Pearl Jam, Alice in Chains, dan lain sebagainya.
Kembali ke aktivitas baca koran. Pagi ini, koran yang biasa saya baca menyuguhkan sesuatu yang membuat kaget, sekaligus gembira. Suguhan itu bukan berita, melainkan sebuah iklan berukuran satu halaman penuh.
Iklan itu menjual model terbaru sebuah brand mobil. Bukan mobilnya yang menarik bagi saya, melainkan ilustrasi pelengkap dan tagline yang disampaikan dalam iklan itu. Di sana terpampang foto konser rock, musisi memegang gitar sambil melompat, dan lelaki gondrong berjaket jins dengan gitar listrik asyik mengibaskan rambut sembari memainkan gitarnya. Omaigot, itu anak ’90-an banget! Ditambah tagline yang mengandung kata “rock”, lengkaplah iklan itu membuat saya terkaget-kaget.
Kita semua sudah tahu, belakangan ini Indonesia tidak berpihak pada musik rock. Java Rockingland, satu-satunya festival rock berskala internasional di negeri ini, sudah lama gulung tikar. Yang tersisa, kalau boleh disebut demikian, hanyalah event musik dari genre yang ‘menjual’ semacam jazz (meskipun dapat dipastikan bukan merupakan jazz sungguhan) dan Electronic Dance Music (EDM). Suka atau tidak, begitulah kenyataannya. Musik rock di negeri ini seperti dikebiri. Sepi.
Dalam hati saya, jelas, terbit pertanyaan: ada angin apa sehingga sebuah brand mobil mentereng dan brand alat musik legendaris menyatukan kekuatan membidik pasar Indonesia?
Industrialis, baik di bidang otomotif maupun musik, tentu bukan orang bodoh. Terlebih, mereka selalu bicara soal keuntungan. Soal uang. Mereka semua pandai berhitung. Kalau mereka hadir dengan kampanye jualan yang melekatkan diri dengan citra rock, pastilah ada alasannya. Saya berani bertaruh, alasannya adalah uang.
Siapa yang langsung terpincut dengan iklan itu? Jelas, orang-orang dari anak ’90-an seperti saya. Pasti!
Pertanyaannya, anak ’90-an seperti saya saat ini rata-rata pegang uang berapa? Nah, ini yang menarik. Sangat menarik.
Siaran pers yang dikeluarkan Karir.com pada 16 Desember 2015 menyebutkan bahwa di Indonesia (dari survey online mereka), anak ‘90-an yang saat ini berkarir di dunia kerja 64% menyandang gelar S1 atau lebih tinggi. Mereka terdistribusi di jabatan kerja setingkat manajer (23%), senior staff (18%), dan supervisor (17%). Dengan kata lain, anak ’90-an tidak jelek-jelek amat kondisi ekonominya. Mereka punya daya beli lumayan tinggi. Saya duga, itulah yang sepenuhnya disadari oleh inisiator iklan yang sedang kita bicarakan ini. Not bad.
Kebetulan beberapa bulan lalu saya menerbitkan buku ketiga berjudul “Rock Memberontak”. Buku tersebut membahas proses kreasi Che Cupumanik dan Robi Navicula, dua sosok yang sangat mewakili anak ‘90-an, dalam menulis lagu. Sederhananya, buku tersebut adalah pernyataan pribadi saya yang diamini oleh Che dan Robi, terkait musik rock. Bahwa bagi kami, musik rock adalah hal yang sangat serius, bahkan nyaris sakral. Barangkali pemahaman seperti itulah yang membedakan kami dengan generasi sebelum dan sesudah kami.
Menyusul penerbitan buku itu, mulai Sabtu, 23 Januari 2016 nanti, saya menggelar pameran musik bertajuk “Rock Memberontak: Melawan Pemangkasan Kenikmatan” di Studio Sang Akar, Tebet. Selama 14 hari, foto konser rock lokal, poster konser, dan ilustrasi terkait buku “Rock Memberontak” akan dipamerkan. Sebagai pembuka, akan ada sesi bedah buku. Untuk penutupnya, akan digelar sesi bedah lagu “Jiwa Yang Berani”, yang ditulis khusus oleh Che dan Robi untuk buku tersebut. Intinya, pameran itu, lagi-lagi, adalah pernyataan pribadi kami bahwa musik sangatlah penting, sehingga kita harus mulai mengenali dan belajar menikmati beragam dimensinya yang non-bunyi.
Sebenarnya, kalau saja musik rock di negeri ini statusnya adalah anak emas seperti jazz atau EDM, saya rasanya tidak perlu repot-repot begitu. Saya tidak perlu menerbitkan buku dan membuat pameran musik rock sendiri. Sayang, kondisinya memang memaksa saya melakukan itu semua.
Namun, melihat perkembangan ‘mendadak’ yang tersirat dari hadirnya iklan tersebut, barangkali masa depan musik rock di negeri ini akan berangsur cerah. Sejujurnya, saya memang berharap seperti itu. Kalau sudah demikian, baik juga kalau saya mengubah judul kampanye/gerakan ini menjadi “Rock Memberontak, Rock (kembali) Menjual”, hahaha!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H