Ride dan Get Free yang kemudian disusul oleh FTW, maka terbukalah gerbang itu!
Seperti orang gila, Nicholls menghantamkan gitarnya ke lantai panggung! Tak puas dengan hasilnya, dia menghantamkannya lagi ke drum set! Berkali-kali! Berulang-ulang! Sampai semuanya berantakan. Sampai jeritan audiens dan tepuk tangan mereka mereda karena lelah...
Akhir dari sesi pembuka bernuansa grunge sore menjelang malam itu, lagi-lagi, kick ass!
Sementara panggung Langit Musik masih bercahaya dan The Vines sedang memberi salam perpisahan, serombongan gadis belia menyerbu ke tempat saya dan Dani berdiri. Tentu saja bukan menyerbu kami, melainkan berebutan posisi di bibir panggung utama, dimana Wolfmother sebentar lagi akan melolong.
Dibelakang mereka ikut bergegas bocah-bocah lelaki yang seumuran. Saya terkekeh karena menduga mereka adalah pacar sehari para gadis belia itu. Bocah-bocah ingusan yang dijadikan layanan antar-jemput, merangkap pengawal bagi mereka di JRL ini. Atau, lebih sadis lagi, sekalian yang membelikan tiket juga. Hahahaha, life is a bitch!
Musik Wolfmother, yang terdengar sangat Led Zeppelin itu, apakah tidak terlalu tua bagi ratusan, bahkan mungkin ribuan, ABG wangi ini? Jika kita memasukkan film berjudul 500 Days of Summer, sentimen sangat positif pada segala yang berbau Aussie, dan beberapa game PC serta online kedalam pemahaman itu, maka jawabannya adalah: tentu tidak!
Lampu di panggung utama dimatikan. Teknisi yang semula sibuk mendadak hilang. Hening. Semua menahan nafas.
Dalam sebuah konser musik, detik-detik penantian seperti itu terasa sangat mendebarkan, sekaligus menyenangkan. Dalam hati kita memang tahu bahwa sebentar lagi musisi yang kita cintai akan muncul. Tapi kapan pastinya? Seperti apa wujudnya kali ini? Lagu apa yang akan dijadikan pembuka? Dan seribu pertanyaan konyol lainnya, seperti yang menggayut di hati remaja yang kali pertama berkencan.
Dalam detik-detik penantian itu, umur, besarnya otot, sangarnya wajah, dan banyaknya uang di bank, sama sekali tidak relevan.
Maka tidak perlu heran ketika kemudian belasan ribu audiens, termasuk saya yang baru dua kali menginjak masa remaja, menjerit gembira ketika tirai di belakang drum set menyala dengan tulisan besar berbunyi WOLFMOTHER!
Jeritan dan tepuk tangan semakin menggila ketika gerombolan serigala dari Australia itu akhirnya benar-benar muncul. Andrew Stockdale, dengan kaki kecilnya yang lincah dan rambut kribonya yang besar, menyapa kami semua sambil tertawa. Nyengir serigala, tepatnya.