Setelah versus, setelah semua keliaran itu, rasanya nyaman sekali bersandar di sudut Score yang gelap, menyesap bir dingin untuk meredakan panas di kepala dan dada, sembari menggumamkan Wasted Reprise yang diganti sedikit liriknya. “I have faced it... A life tasted... I would love to take a bite again...”
Dan tepat seperti itulah yang saya lakukan ketika Junkhead menutup perayaan ini.
Saya duduk manis saja mengamati mereka memainkan Why Go, Evenflow, Alive, Black, dan Jeremy dengan tiga gitar. Menikmati paduan suara dari audiens yang seolah tak pernah kehabisan energi, yang masih memadati bibir panggung sesaat menjelang jam tiga pagi, meluapkan kenangan akan cinta mereka semua pada sebuah karya yang luar biasa bermakna, Ten.
Mengawali malam di bibir panggung, saya berniat mengakhirinya juga disana. Maka Porch dan Release, yang merupakan dua nomor penghabisan dari Junkhead, saya nikmati dari bibir panggung, bersama jamily lainnya yang sudah lelah, mandi keringat, namun luar biasa sumringah.
Ya Tuhan! Sudah nyaris dua ribu kata dan sebentar lagi jam dua. Saatnya saya, dan Anda semua merebahkan diri, mengumpulkan energi untuk esok hari.
Namun sebelum kita semua terlelap, ijinkan saya mengingatkan Anda, bahwa malam itu, apa yang kita alami di resto Tiga Cemara dan Score adalah cinta. Dan percayalah, bukan kebencian, melainkan cinta, yang akan membawa kita kembali pada kejayaan grunge Indonesia, seandainya itu benar-benar penting bagi Anda...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H