Pertama kali menyaksikan Lelah dibawakan secara live adalah di panggung mini Hai di bilangan Jalan Panjang. Keras. Grunge total!
Kali ini, mereka membawakan dengan lebih apik. Vokal Che yang mengingatkan saya pada bagian awal Once-nya Pearl Jam seolah berkejaran dengan cabikan gitar Edwin yang menderu. Bising. Namun sekaligus juga merdu. Apalagi bagian refrain yang mengalun panjang. Terkesan pop dan sepertinya enak untuk dinyanyikan bersama. Seandainya saya tahu liriknya!
Penonton lebih banyak diam memperhatikan dan mengambil gambar selama Konspirasi beraksi. Deretan lagu yang belum familiar menjadi alasan utama. Moshing dan koor kecil-kecilan terjadi ketika Them Bones-nya Alice in Chains serta Down-nya Stone Temple Pilots digeber. Namun yang paling menarik adalah edisi akapela dari medley Alive dan Yellow Led Better milik Pearl Jam.
Iseng-iseng Edwin memainkan intro Alive yang langsung disambut oleh semua audiens. Terutama warga milis PJId yang memang sejak sore menantikan lagu-lagu Pearl Jam (yang sialnya memang seperti alergi untuk dibawakan!). Sampai refrain pertama, ketika Che dan audiens sudah menyatu, tiba-tiba petikan berubah menjadi intro Yellow Led Better. Makjang! Dan benar-benar kurang ajar, di bait pertama petikan gitar menghilang! Alhasil audiens berakapela melanjutkan lagu. Barulah pada refrain pertama, yang sekaligus penghujung lagu, Edwin muncul kembali mengiringi. Nice touch!
Semua sudah lelah ketika Zu muncul mengusung Animal. Sesuai dugaan, dan juga ekspektasi, mereka membawakannya dengan interpretasi bebas. Menjadikan Animal terdengar familiar sekaligus berbeda. Ketiga pemuda Bandung ini memang selalu beda. Pagi itu pun, dalam balutan masalah teknis yang datang silih berganti, mereka mampu menyajikan nomor-nomor yang terdengar enak. Sederetan cover version yang terdengar baru. Redefinisi. Itulah Zu.
Seolah menanti datangnya badai, semua penonton cenderung tenang selama Zu berada di panggung. Bahkan ketika Aryo Wahab, Dendi Kunci, dan Ipang BIP maju membawakan Interstate Love Song pun audiens tetap diam. Keheningan yang mengawali sebuah badai sempurna. Badai dahsyat bernama Navicula.
Kalau Anda gemar Led Zeppelin, tentu tahu jurus memanggil arwah milik Jimmy Page yang diperdengarkan di bagian awal Black Dog. Demikianlah yang dilakukan Navicula pagi itu.
Satu nomor instrumen dihembuskan ke udara Prost Beer House yang sudah beku dengan keheningan. Dengan keingintahuan yang demikian dalam tertahan. Kebisuan yang terdengar ramai di kepala. Karena berkecamuk pertanyaan: seperti apa wujud Navicula? Apakah mereka memang pantas digelari The Last Gentlemen of Grunge?
Dan nuansa instrumen yang dimainkan ini seolah membawa kenangan serta kekuatan dari tanah yang jauh. Dari tanah dewata. Tanah yang aneh karena disana berdiam masyarakat pesisir yang membalikkan tubuhnya dari laut dan memilih untuk berserah pada kebesaran gunung.
Bagaikan sebuah pernyataan dalam diam. Kami sudah datang. Dengarkanlah...
Dan benarlah. Audiens mendengar. Menyerap. Merespon. Menggelora. Menggila!