Etihad Stadium di Melbourne, Australia, yang sanggup menampung 56 ribu orang, gegap gempita oleh Gonna See My Friend ketika sehelai kaos oblong hitam meluncur deras dari barisan penonton paling depan. Kaos itu akhirnya jatuh di bibir panggung, tepat diantara kaki dua orang paling diburu di Indonesia saat ini, Eddie Vedder dan Stone Gossard. Di kaos itu tertera sebaris do’a yang sudah belasan tahun lamanya dipanjatkan: “Bring Pearl Jam to Indonesia!”
Setelah menempuh jarak sejauh 5200 Km dari Jakarta, akhirnya si kaos oblong hitam sampai di penghujung jalan, memenuhi takdirnya.
Demikian penuh liku jalan yang telah ditempuhnya. Dimulai dalam wujud sebuah gagasan di PJId, kaos oblong itu menjelma melalui Ega, setelah sebelumnya mengkristal dalam goresan tangan Irul. Ia kemudian diterbangkan ke Melbourne menumpang ekspedisi bantuan Nito, hinggap ke tangan Pheps yang saat itu sedang menantikan saat bersejarah dalam hidupnya, dan berakhir di lemparan seorang bule berbadan besar yang sama sekali tidak kita kenal.
Biarlah nanti waktu yang menuliskan, akankah kaos oblong hitam itu menjadi titik manis dalam sejarah, atau tercampak sebagai sebuah upaya sia-sia belaka...
Konser berdurasi 3 jam itu dibuka dengan Eldery Woman. Sungguh sebuah sapaan manis, mengingat sudah 3 tahun lamanya Pearl Jam tidak mampir ke Melbourne.
Itulah Eddie. Legenda hidup rock yang sangat memahami emosi audiensnya. Sosok yang demikian ikonik, namun terasa sangat dekat di hati, karena seolah selalu bisa membaca apa yang sedang kita rasakan.
Ah, kapan ya, saya bisa meneriakkan pesan yang sama pada mereka. I just want to scream, HELLLOOO!!!
Saya yakin malam itu Pheps terbang dalam kebahagiaan ketika Given to Fly membahana, sebagaimana juga mimpi kita yang terbang ribuan kilometer jauhnya ke Etihad Stadium, dalam wujud sehelai kaos oblong hitam.
Pasti dia juga merasa demikian hidup, ketika bersama puluhan ribu jamily lainnya meneriakkan Alive di depan Pearl Jam yang sesungguhnya!
Namun sedikit, terselip dalam hatinya, mungkin kesedihan menyelinap saat perihnya Black mengingatkan dia, bahwa hingga hari ini, nyaris dua puluh tahun setelah Pearl Jam meledak dan menjadi fenomena dunia, Indonesia belum juga dikunjungi.
Profesor Yohanes Surya Ph.d, yang saat ini terkenal sebagai bapak moyangnya fisika Indonesia, menjelaskan konsep “mestakung” dalam sebuah bukunya: “Ketika kita memiliki keinginan yang demikian besar, berupaya sebisanya untuk mencapai keinginan itu, dan selalu memupuknya dengan membicarakan keinginan itu pada banyak pihak, maka semesta akan mewujudkannya untuk kita. Semesta mendukung. Mestakung.”