BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Mencoba memutar ingatan pada tahun 2004, dimana pada tahun 2004 rakyat Indonesiamenyambut pesta demokrasi terbesar, transparan (terbuka)dan langsung dalam memilih kepala daerah masing-masing. Sungguh Pemilukada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat. Sebagaimana arti demokrasi bahwa rakyat berkuasa[1], kini terwujud dalam kesempatan rakyat memilih pemimpinnya lewat Pemilukada langsung. Walaupun tak dipungkiri dalam pelaksanaan Pemilukada masih ditemui berbagai macam permasalahan, pastinya kita maklumi bersama karena indonesia baru pada tahap belajar berdemokrasi yang langsung dilaksanakan oleh masyarakat. Usaha ini patut kita dukung sepenuhnya, jangan sampai demokrasi hanya di mulut saja. Paham tentang demokrasi harus ditanamkan sejak dini bukan hanya di kalangan masyarakat saja, tapi juga seluruh elemen pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintahan (Partai Politik, Kepolisian dan kelompok-kelompok LSM.
Coba kita pandang dari perspektif desentralisasi, Pemilukada langsung merupakan perwujudan demokrasi di tingkat lokal seperti yang tercantum pada UUD 1945 pasal 18 ayat (4) : Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah, Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis[2]. Pilkada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi untuk menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal.
Keberadaan pemerintahan daerah (local goverment) sejak diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk membantu meringankan beban pemerintahan nasional dalam melayani kepentingan masyarakat (delivering services). Sejatinya dalam otonomi daerah, fokus utamanya adalah pada efektivitas, efisiensi dan keserasian jalannya pemerintahan yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi, sosial dan budaya daerah masing-masing[3], sehingga tidak bisa terjadi kesamaan penanganan dan pemberlakuan kebijakan di semua daerah. Setiap daerah mempunyai fokus keadaannya masing-masing.
Memang sampai saat ini pelaksanaan Pemilukida masih belum sempurna di sana-sini tapi bijaknya ini harus dijadikan sebagai pembelajaran untuk terus melakukan perbaikan dan penyempurnaan Pemilukada yang sesuai dengan cita-cita demokrasi. Namun tidak melulu kehadiran Pemilukada itu banyak kekurangannya (disinsentif) tapi tidak sedikit pula keuntungan (insentif) yang dibawanya serta. Semua akan dibahas lengkap di bab berikutnya.
Selanjutnya hal yang terpenting dalam pembahasan topik makalah ”Dilema Pemilukada sebagai Instrumen Penguatan Desentralisasi dan Otonomi Daerah”. Dimana kita ketahui bersama bahwa desentralisasi merupakan usaha memudahkan mencapai tujuan pemerintahan. Karena tidak mungkin juga Indonesia yang terdiri dari kepulauan dengan kultur yang berbeda-beda pula ditangani oleh satu kekuasan pusat. Namun dengan desentralisasi dan otonomi daaerah ini diharapkan pemerintah lokal dapat mengurusi masalah-masalah daerahnya sesuai dengan kebijakan yang cocok dengan kultur dan kondisi masing-masing sehingga jikalau masalah lokal dapat terselesaikan maka dapat cita-cita pemerintahan pun dapat tercapai. Dilemma yang dimaksutkan adalah, dilihat dari kinerja pemerintah lokal di Indonesia ini terkadang pemerintah daerah beranggapan kalau sudah otonomi tidak ada lagi pusat, begitupula sebaliknya orang pusat terkadang berpikir kalau sudah desentralisasi, tidak ada lagi tanggungjawab darinya terhadap urusan daerah. Padahal sesungguhnya pemerintahan itu dimulai ditingkat lokal. Kalau dari tingkat lokal saja sudah tidak terkendali dan tidak ada saling bantu-membantu maka keberlangsungan dan cita-cita pemerintahan nasional pun akan bobrok. Demokrasi lokal harus diperbaiki dengan carapenguatan eksekutif lokal yang juga akan dibahas di bab berikutnya.
I.2 Identifikasi Masalah
- Mengeleborasi insentif dan disinsentif dari Pemilukada.
- Memetakan dilema Pemilukada sebagai instrumen penguatan desentralisasi dan otonomi daerah.
- Merumuskan kesimpulan akhir tentangdilema Pemilukada sebagai instrumen penguatan desentralisasi dan otonomi daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
Mengeleborasi Insentif dan Disinsentif dari Pemilukada
Insentif dari Pemilukada
- Merupakan ajang belajar berdemokrasi untuk masyarakat dan elemen pemerintahan dan lembaga (KPU, Parpol, Kepolisian, LSM, NGO).
Demokrasi[4] sendiri adalah situasi dimungkinkannya perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah. Jadi pemilihan kepala daerah inilah ajang dimana semua elemen masyarakat dan lembaga pemerintahan dapat berpartisipasi langsung entah dengan hanya memberikan hak suara ataukah bersaing demi mendapat kekuasaan.
- Terbukanya peluang bagi masyarakat untuk ikut serta melakukan pengawasan dalam pemilukada.
Dalam konteks ini dimana fokus pemilukada adalah Indonesia, Negara yang menganut demokrasi dimana rakyat yang turut menetukan orang-orang yang akan memimpin Negara selama periode kedepan[5], inilah yang mendasari perlunya masyarakat berhak melakukan pengawasan juga dalam pemilukada, untuk memastikan betul akan pilihannya untuk 5 tahun kedepan. Masyarakat yang melakukan pengawasan seperti contohnya, saksi-saksi pemilukada, penjaga TPS, dan lainnya. Diluar tempat berlangsungnya pemilukada, masyarakat juga bisa tetap melakukan pengawasan seperti memperhatikan dan mempelajari karakter dan kegiatan yang dilaksanakan calon kepala daerah mereka, semisal dalam perjalanan kampanyenya menyimpang dari jalur yang ditentukan maka warga berhak melaporkannya pada KPU atau tidak memilihnya di pemilukada nantinya.
- Masyarakat dapat turut berpartisipasi langsung dalam memilih pemimpin di daerahnya yang akan menyuarakan aspirasi rakyatnya danmembawa nasib pemerintahan daerahnya selama 5 tahun kedepan/ Adanya kebebasan memilih bagi masyarakat.
Seperti dalam perwujudan konstitusi dan UUD 1945 pasal 18 ayat (4) : Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah, Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis[6].Kebebasan rakyat untuk memberikan hak pilihnya merupakan salah satu pokok dari demokrasi. Pemilukada 2004 merupakan kali pertamanya rakyat Indonesiamenyambut pesta demokrasi terbesar, transparan (terbuka)dan langsung. Pada tahun 2004 bangsa Indonesia akan melakukan pemilihan umum dengan sistem proporsional terbuka untuk memilih pada anggota DPR/DPRD dan sistem distrik untuk memilih anggota DPD, serta pemilihan secara langsung oleh rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
- Terbukanya peluang yang sama diantara partai partai politik peserta pemilukada.
Dengan adanya Pemilukada secara langsung ini sekaligus memberi peluang kepada partai-partai politik untuk bersaing, karena menang kalahnya mereka berada di tangan rakyat. Peluang kalah dan menang sama-sama dimiliki oleh setiap calon dari partai politik karena penunjukan kepala bukan dilakukan olehpemerintah pusat.
Disinsentif dari Pemilukada
·Pemborosan APBN dan APBD
Secara rasional dengan diadakannya pemilihan kepala daerah langsung oleh masyarakat Indonesia maka menyebabkan pembengkakan pada anggaran APBN dan APBD pada tahun pelaksanaan Pemilukada, dana tersebut tidak lain adalah untuk membiayai logistic Pemilukada, pendata DPT, dan lain sebagainya. Walaupun tidak ada publikasi secara resmi berapa biaya pelaksanaan Pemilukada, dengan perhitungan sederhana tentunya mencapai triliunan rupiah, jumlah ini akan terus bertambah pada saat 180 daerah akan melaksanakan Pemilukada secara serentak pada tahun 2008 lalu. jumlah yang besar tentunya ditengah minimnya anggaran pendidikan, kesehatan serta bantuan sosial[7].
·Memicu konflik horizontal.
Ini pengalaman politik di Indonesia, bila ada calon yang kalah, ada saja pendukung atau massanya yang tidak dapat menerimanya dengan fair. Apalagi dalam pemilukada sempat terjadi konflik horizontal, konflik antar sesama daerah yang mengusung calon berbeda.
·Belum dapat mengedepankan kualitas dibandingkan uang mengusung dan mendukung calon tertentu/ Mahalnya ongkos untuk maju pemilukada..
Tidak mengherankan lagi begitu prestige-nya menjabat sebagai pejabat pemerintah. Berapapun bagi orang yang berlimpah harta akan rela menghamburkan uangnya demi meraih jabatan itu. Herannya demam menjadi pejabat pemerintah itu bukan hanya merebak di kalangan pengusaha tapi juga di kalangan selebriti. Banyak dari pengusaha dan selebritis tersebut yang tidak punya latar belakang ilmu politik ataupun pemerintah, sehingga dapat diprediksi bahwa kualitas mereka kelak bila duduk di kursi pemerintahan. Semua ini bermula dari tidak bonafied-nya calon kepala daerah yang diusung.
·Pemenang pemilukada sulit ditebak
Hal ini berbeda dengan sewaktu belum diadakan pemilihan Pemilukada secara langsung oleh rakyat. Peluang kalah dan menang sama-sama dimiliki oleh setiap calon dari partai politik karena penunjukan kepala bukan dilakukan olehpemerintah pusat.
·Politik Kartel.
Kartel dalam kamus ekonomi berarti koordinasi untuk meminimalkan persaingan, mengontrol harga, dan memaksimalkan keuntungan di antara anggota. Dalam beberapa hal, politik kartel bekerja di arena pilkada. Proses pencalonan kepala daerah kerap diwarnai praktik persekongkolan antara parpol dan kalangan bisnis lokal. Para pengusaha yang saling berhadapan dapat mengamankan bisnis lewat politik dengan menjadikan parpol sebagai perahu dan alat untuk maju dalam Pilkada. Sementara parpol memasang tarif untuk berfungsi sebagai perahu[8].
Memetakan Dilema Pemilukada Sebagai Instrumen Penguatan Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Fenomena Pemilukada diam-diam merupakan instrumen penguatan desentralisasi dan otonomi daerah. Pemilukada, sebagai instrumen penguatan demokrasi lokal akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pencapaian keseimbangan tata pemerintahan di tingkat lokal, yang pada gilirannya berimplikasi terhadap peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan.Namun tidak melepas kemungkinan melahirkan dilematis, kini saya mencoba memetakan dilema pemilukada sebagai instrumen penguatan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu:
·Dilema dilaksanakannya Pemilukada secara langsung merupakan tindakan realisasi demokratisasi dan merupakan langkah perbaikan kualitas kepemimpinan, namun disaat Pemilukada dalam perjalanannya memunculkan banyak kekurangan, banyak yang menyuarakan penolakan anti Pemilukada secara langsung dan mengusulkan penunjukan Kepala Daerah langsung oleh Pemerintah Pusat. Realita ini merupakan dilematis dimana penunjukan Kepala Daerah langsung oleh Pemerintah Pusat merupakan kembalinya otoriterisme dan justrun melemahkan otonomi daerah. Namun, penghentian Pemilukada secara langsung merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokratisasi dan langkah perbaikan kualitas kepemimpinan tingkat lokal.
Penyelenggaraan Pemilukada langsung dalam konteks ini dimana fokus pemilukada adalah Indonesia, Negara yang menganut demokrasi dimana rakyat yang turut menetukan orang-orang yang akan memimpin Negara selama periode kedepan
·Pemilukada sebagai alat legitimasi yang nyata dari daerah untuk merealisasikan kesejahteraan lokal.
Dengan asumsi bahwa dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat yang berdomisili di daerah yang bersangkutan, diharapkan akan menghasilkan calon pemimpin yang mengerti betul keadaan dan kebutuhan daerahnya. Terlebih lagi bila calon pemimpin tersebut berasal dari daerah setempat, dia akan sangat mudah mengambil hati dan meyakinkan masyarakat untuk memilihnya karena diharapkan dia mampu menerima dan menyalurkan aspirasi rakyat kepada pemrintah pusat. Perlu diketahuai bahwa penentuan pemimpin lokal itu dapat menghasilkan keberhasilan otonomi daerah. Yaitu bila calon pemimpin berasal dari daerah lokal yang bersangkutan, pastinya beliau akan sangat mengerti akan bagaimana kondisi ekonomi, sosial, dan kultur dari masyarakat tersebut, dengan begitu nantinya dalam penyelesaian masalah dan pembuatan kebijakan pun akan mencapai puncak kesejahteraan lokal. Dilemanya adalah, disaat banyaknya muncul wakil dari daerah lokal yang bersangkutan tapi kenyataanya, beliau tidak bisa mewakili dan menyuarakan aspirasi rakyat lokal setempat ke pusat. Hal ini disebabkan karena terjunnya mereka ke dunia politik dan pemerintahan tidak didasarkan pada basic intelektual dan keinginan untuk mengabdi, selama ini banyak calon pemimpin lokal yang muncul dengan kualitas yang tidak bonafide dan mungkin saja sarat dengan permainan politik, dikarenakan keikutsertaan mereka dalam pencalonan Pemilukada adalah sebagai ajang eksis dan prestige semata.
·Pemilihan kepala daerah yang diharapkan dapat melaksanakan dengan benar esensi dari desentralisasi dan otonomi daerah, lama-kelamaan justru melahirkan dilematis yaitu memunculkan keambali feodalisme dan lahirnya penguasa lokal baru.
Tidak munafik bahwa kebanyakan orang yang sudah duduk dan memegang tampuk kekuasaan pasti akan berusaha terus dan terus untuk mempertahankan dan melebarkan sayap kekuasaanya. Sangat kompleks karena pemilihan kepala daerah yang diharapkan membawa kesejahteraan masyarakat lokal justru menyalahgunakannya. Disini saya katakana bahwa penguasa lokal dan desentralisasi itu saling berkait, dimana desentralisasi bisa menguatkan praktek orang kuat lokal karena menurut saya desentralisasi pasti bisa memakmurkan orang kuat lokal karena dengan desentralisasi para elite lokal tersebut dengan mudah menguasai sumber daya sosial dan ekonomi kemudian digunakan untuk kepentingannya, namun jarang sekali praktek desentralisasi terbukti mensejahterakan rakyatnya.
·Sejalan dengan eksistensi penguasa lokal yang memanfaatkan kekuatan otonomi daerah dan desentralisasi akan melahirkan permasalahan yang lain seperti terungkapnya perbuatan kriminal seperti korupsi atau penggelapan dana proyek pembangunan daerah yang dialokasikan untuk biaya politiknya dan masuk ke kantong untuk kepentingannya sendiri.
Mengutip dari pernyataan Joel Migdal bahwa orang kuat lokal adalah individu yang berhasil menempatkan diri mereka, rekan, dan keluarganya dalam posisi strategis untuk memastikan bahwa alokasi sumber daya sosial dan kepentingan ekonomi dan kontrol sosial[9]. Dengan kehebatan yang dimilikinya sebagai orang kuat lokal, pemerintah lokal pasti lam kelamaan akan merasakan dilemma yang nantinya justru menyeretnya ke jurang korupsi dan kriminal lainnya yang tentunya melenceng jauh dari prinsp utama desentralisasi dan otonomi daerah yang harusnya dia perjuangkan. mengutip Barbara Geddes (1993:132), yang menggunakan kerangka rational theory, ketika seorang terpilih di puncak kekuasaan eksekutif, ada tiga hal yang akan ia lakukan, pertama, memastikan bahwa ia akan bertahan setidaknya dalam periode kepemimpinannya, kedua, menciptakan mesin politik yang loyal yang akan mendukungnya, ketiga, menciptakan pemerintah yang efektif[10]. Itulah mengapa pada dasarnya praktek desentralisasi menumbuhkan dilematis pada politisinya.
Kembali ke topik awal tentang dilema pemilukada sebagai instrumen penguatan desentralisasi dan otonomi daerah. Semua berawal daridilaksanakannya desentralisasi yang merupakan usaha untuk memudahkan mencapai tujuan pemerintahan. Karena tidak mungkin juga Indonesia yang terdiri dari kepulauan dengan kultur yang berbeda-beda pula ditangani oleh satu kekuasan pusat. Namun dengan desentralisasi dan otonomi daaerah ini diharapkan pemerintah lokal dapat mengurusi masalah-masalah daerahnya sesuai dengan kebijakan yang cocok dengan kultur dan kondisi masing-masing sehingga jikalau masalah lokal dapat terselesaikan maka dapat cita-cita pemerintahan pun dapat tercapai. Keberadaan pemerintahan daerah (local goverment) sejak diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk membantu meringankan beban pemerintahan nasional dalam melayani kepentingan masyarakat (delivering services). Sejatinya dalam otonomi daerah, fokus utamanya adalah pada efektivitas, efisiensi dan keserasian jalannya pemerintahan yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi, sosial dan budaya daerah masing-masing[11], maka dari itu diharapkannya pemerintah lokal yang baik lahir dari proses Pemilukada yang nantinya akan memperkuat praktek desentralisasi Indonesia.
Selanjutnya untuk memperkuat praktek desentralisasi dan otonomi daerah, perlu dibenahi dulu esensi demokrasinya. Demokrasi juga perlu dikuatkan, dalam hal ini adalah demokrasi lokal yang terlihat dalam praktek Pemilukada secara langsung. Penguatan demokrasi lokal itu antara lain adalah penguatan eksekutif lokal. Dalam hubungan itu, untuk menuntaskan reformasi politik lokal di Indonesia,dalam artikel Djohermansyah Djohan, beliau adalah Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), dan saat ini menjabat sebagai Deputi Politik Sekretaris Wakil Presiden RI mengusulkan perlu diprioritaskan 3 (tiga) hal sebagai berikut[12]:
1.Mempertahankan Pemilukada secara langsung, karena hal tersebut merupakan hal paling tepat merealisasikan demokrasi lokal.yaitu suara rakyat yang akan menentukan kesejahteraan daerahnya.
- Menghapuskan peraturan bahwa calon Kepala daerah berasal dari satu tim (sepasang) karena hal ini sangat tidak memberi kesempatan untuk saling berkompetisi dan berpeluang antar calon pemimpin. Parahnya hal ini bisa memicu konflik horizontal, Ini pengalaman politik di Indonesia, bila ada calon yang kalah, ada saja pendukung atau massanya yang tidak dapat menerimanya dengan fair. Apalagi dalam pemilukada sempat terjadi konflik horizontal, konflik antar sesama daerah yang mengusung calon berbeda.
3.memperkuat posisi gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah melalui pemberian perangkat dan penambahan tugas pemerintahan umum untuk menjamin pelaksanaan peraturan perundangan, termasuk kepatuhan kabupaten/kota sebagai pemerintah bawahan terhadap kebijakan pemerintah pusat; mengkoordinasikan perencanaan dan alokasi pembiayaan (DAK dan dana dekonsentrasi) untuk kegiatan pemerintah pusat di daerah; dan pembinaan dan pengawasan umum terhadap perda, kelembagaan dan kepegawaian.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Budiardjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia.
Lay, Cornelis dkk. 1997. Kapita Selekta Masalah-Masalah Pemerintahan. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Dalam Negeri.
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
Sesi ke-9: Dinamika Politik Lokal (4):Dari Orang Kuat, klan, hingga Oligarkhi: Politicising Democracy: Local Politics and Democratisation in Developing, Chapter 3: Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand, and Indonesia: Towards an Alternative Framework for the Study of ‘Local Strongmen’oleh T. Sidel.
Geddes, B. (1993), Politicians Dilemma: Building State Capacity in Latin America, University of California Press, London, England dalam artikel Amalinda.Savirani, Dilema Para Politisi di Tingkat Lokal: Antara Mimpi Inovasi & Demokrasi. Jurnal JSP 2009.
Internet:
Analisa munculnya masalah Pilkada http://siti.staff.ugm.ac.id/wp/2010/07/06/analisa-munculnya-masalah-pilkada/ Pada Jumat 26 November 2010 Pukul 14.30 WIB.
Politik Kartel dan Politik Bossism dalam Pilkada, dengan alamat http://scriptintermedia.com/view.php?id=4845 pada hari Selasa 23 November 2010 pukul 11:18 WIB.
Penguatan Demokrasi Lokal http://icnie.org/2009/10/penguatan-demokrasi-lokal/ pada Jumat 26 November 2010 Pukul 19.35
[1] Miriam Budiardjo. 1982. Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia.hal. 105.
[2] Diunduh dari Analisa munculnya masalah Pilkada http://siti.staff.ugm.ac.id/wp/2010/07/06/analisa-munculnya-masalah-pilkada/ Pada Jumat 26 November 2010 Pukul 14.30 WIB.
[3] Cornelis Lay, dkk. 1997. Kapita Selekta Masalah-Masalah Pemerintahan. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Dalam Negeri. hal. 38.
[4] Ramlan Surbakti. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. hal. 290.
[5] Miriam Budiardjo. 1982. Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia.hal. 2.
[6] Diunduh dari Analisa munculnya masalah Pilkada http://www.lsi.co.id/artikel.php?id=268 pada Pada Jumat 26 November 2010 Pukul 16.30 WIB
[7] Diunduh dari Analisa munculnya masalah Pilkada http://www.lsi.co.id/artikel.php?id=268 pada Pada Jumat 26 November 2010 Pukul 16.30 WIB.
[8] Diunduh dari artikel berjudul: Politik Kartel dan Politik Bossism dalam Pilkada, dengan alamat http://scriptintermedia.com/view.php?id=4845 pada hari Selasa 23 November 2010 pukul 11:18 WIB.
[9] Sesi ke-9: Dinamika Politik Lokal (4):Dari Orang Kuat, klan, hingga Oligarkhi: Politicising Democracy: Local Politics and Democratisation in Developing, Chapter 3: Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand, and Indonesia: Towards an Alternative Framework for the Study of ‘Local Strongmen’oleh T. Sidel.
[10] Geddes, B. (1993), Politicians Dilemma: Building State Capacity in Latin America, University of California Press, London, England dalam artikel Amalinda.Savirani, Dilema Para Politisi di Tingkat Lokal: Antara Mimpi Inovasi & Demokrasi. Jurnal JSP 2009.
[11] Cornelis Lay,. 1997. Kapita Selekta Masalah-Masalah Pemerintahan. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Dalam Negeri. hal. 38.
[12] Diunduh dari Penguatan Demokrasi Lokal http://icnie.org/2009/10/penguatan-demokrasi-lokal/ pada Jumat 26 November 2010 Pukul 19.35
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H