Mohon tunggu...
Wuri Prima Kusumastuti
Wuri Prima Kusumastuti Mohon Tunggu... Guru Bahasa indonesia -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Filosofi Ndableg

4 Januari 2016   01:52 Diperbarui: 4 Januari 2016   01:52 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ndableg itu panggilan jiwa gan.

Bukan paksaan dari keadaan atau karena tak ada pilihan.

 

Itu adalah moto hidup yang tidak sengaja saya tuliskan saat saya berWhatsApp ria dengan sahabat lama saya. Dia yang senang mengajar bilang kalau: mengajar itu panggilan jiwa. Dan saya yang suka ndablegpun menjawab bahwa ndbleg itu juga panggilan jiwa. Sungguh lucu, orang yang dulu tak sedekat benalu dan pohon jambu bisa menjadi teman ngobrol yang asyik di tanah rantau. Maklum, selama kos-kosan saya jaraknya ribuan kilo dari kampung halaman saya, saya sering merasa kesepian di malam hari. Selain karena saya masih jomblo dan teman sekosan saya udah pada tidur, saya juga ndag punya temen pengangguran yang bisa saya ajak chatting tengah malam waktu saya. Soalnya biasanya mereka sedang kerja, sekolah atau melakukan aktivitas bisnis mereka di daerah mereka masing-masing, maklumlah para eksekutif muda nusantara yang sedang produktif-produktifnya.

Balik lagi ke topik tentang kendablegan. Bagi para saudara pembaca non Jawa yang kurang paham dengan arti Ndableg itu sendiri mungkin Anda semua lebih familiar dengan kata keras kepala atau mungkin bebal, yah kayaknya kurang lebih artinya semacam itulah. Saya kurang bisa mengekspresikan secara linguis karena dulu saya belajar Bahasa Jawa secara otodidak aja, tiba-tiba bisa aja. Yah mungkin karena bapak,ibu, sodara, tetangga dan teman sepermainan juga pake Bahasa itu, jadi saya nggak perlu njlimet-njlimet belajar grammar apalagi vocabularinya udah bisa ngoceh lancar dengan Bahasa Jawa.

Lanjut lagi ke topik ndableg. Selama hidup saya, saya paling mangkel kalo dibilang ndableg gegara ndag mau melaksanakan wejangan dari orang tua, bulek-paklek, pakdhe-budhe, dan simbah-simbah. Menurut saya wejangan itu hanya untuk didengarkan saja supaya para pewejang bahagia dan sejahtera karena merasa sudah berkontribusi pada hidup anak muda yang mereka cintai. Selain itu? Yah masalah mau dilaksanakan apa tidak ya suka-suka saya to. Wong hidup saya yang jalani bukan beliau-beliau itu. Yah mungkin saja beliau-beliau merasa lebih berpengalaman karena sudah lebih banyak makan nasi lauk tempe dibandingkan saya yang masih bau Baliratihpalingmurah (olshop saya yang sekarang sudah lumutan tak terurus) ini , tapi tetep saja, resiko dari setiap keputusan yang saya ambil dalam hidup saya kan tetep saya yang nanggung.

Contoh sederhana ya, saking lamanya menjomblo dan belum ada tanda-tanda minta diijabin sama bapak saya, beberapa orang menyuruh saya untuk mendaftar di perjodohan komunitas mereka. Katanya, yah siapa tahu ada laki-laki baik yang bersedia menikahi saya. Walaupun sedikit tersungging karena saya merasa tidak dianggap sebagai perempuan baik (padahal aslinya juga belum teruji kebaikannya hehehe), saya cuma senyam-senyum aja. Nolak? Jelas ndag mungkin, mau diceramahi dari subuh sampai subuh lagi po? Nerima? Ndag jugalah! Enak aja! Emangnya milih calon suami sama kayak milih kaos kaki yang kalau ndag pas dilungsurin aja sama temen sekosan? Saya tau kalau jodoh akan datang pada waktunya, kalau sekarang belom datang? Yah mungkin dia sedang nyasar di jalan, atau memang alarmnya belum bunyi hahaha.

Karenanya saya sering dikatain sama saudara-saudara saya: inggih-inggih ora kepanggih alias iya-iya tapi ndak dilakuin. Padahal faktanya adalah saya tidak mengiyakan dan tidak menidakkan. Saya hanya pringas-pringis tanpa jawaban sebagai bentuk sopan santun daripada jawab malah panjang perkara. Beda to?

Namun dibeberapa hal saya merasa kendablegan saya ini cukup memberi dampak positif pada saya (sepertinya). Misalnya, saat ada teman sedang heboh-hebohnya ngomongin tetangga mereka atau nggosipin teman mereka, saya yang secara alamiah sepertinya terlahir sebagai wanita yang tertarik dengan dunia pergosiban bisa berguna sebagai pendengar saja sekalian pringas-pringis takut nanggepin (soalnya males keseret kasus pergosiban yang nggak jelas macam artis dan anggota DPR hahaha). Setelah mereka lelah bergosib, biasanya informasi yang saya dengar pun menguap seketika karena pada dasarnya ya mereka ndak begitu saya denger kan sama kayak wejangan, gosib itu hanya untuk didengarkan hahaha. Tapi efeknya, mereka merasa saya bisa menjadi pendengar setia sehingga mereka sehingga tali silaturahimpun bisa disambung dengan apik (yeeyyy prok prok prok).

Dalam beberapa kasus kendablegan saya ini membuat orang-orang disekitar saya mangkel (khususon bapak dan kakak perempuan saya). Bayangken, kalau saya pulang kampung, selain saya suka nglayap dan pulang maghrib (ini maghrib lo ya bukan tengah malam), saya biasanya suka ndekem di kamar. Ndekem di kamar diem sambil baca atau nulis atau nonton drama korea dan pura-pura molor kalau pintu diketok-keto. Males keluar sih.

Bukannya saya tidak ingin bersraung ria dengan ponakan-ponakan nan lucu atau tetangga-tentangga yang kadang kelewat ramahnya, tapi ya itu ndableg, maunya bersraung dengan diri sendiri biar ndag ada yang menghakimi. Maklum masih muda, bujangan, jomblo pula! Selalu merasa benar adanya. Jadi biasanya kurang berkenan juga kalau sraung isinya cuma ditanya: Pacarnya orang mana? Kapan nikahnya? Kalau ngaku ndag punya dibilang bohong kalau ngaku punya selain tambah ribet juga membohongi diri sendiri. Lak yo malah suloyo. Makanya kadang-kadang bersraung dengan diri sendiri tanpa bingung mencari jawaban netral buat para basa-basier yang basi itu adalah surga duniawi saya waktu di rumah.

Tapi sebenernya kendablegan saya yang ini ndag selalu terjadi kok. Soalnya kalau saya udah bosen biasanya juga keluar kandang, trus nyapu kebun atau halaman atau masak. Walaupun itu jarang terjadi dan selalu disuudzoni dikira ada maunya. Tapi sebenernya itu adalah realisasi dari kebosanan saya atas penyendirian sementara nan merana dan banyak nangisnya (karena nonton drama korea bukan yang lain ya hehehe). Namun kalau disuruh nyanding belum tau sama siapa dan belum berani juga karena masih banyak galaunya daripada gaulnya.

Kembali ke filosofi ndableg saya. Walaupun selama ini saya terbiasa hidup apatis dan lebih suka hal-hal yang garing (ini Bahasa Indonesianya cheese kan ya?), sekali-sekali saya juga suka berfilosofi kok. Walau filosofi saya tidak sedalam filosofinya Mbak Dee Lestari apalagi Mbah Plato, Mbah Aristoteles sampe Mbah Chomsky, tapi kalau dipikir-pikir ada benernya juga lo (dipikiran saya maksudnya). Filosofi saya terhadap kata ‘ndableg’ itu sendiri membawa saya kepada sebuah kesimpulan bahwa orang ndableg itu kalau dilihat dari segi positif memiliki semangat juang tinggi lo.

Memang kebanyakan dari mereka keras kepala (entah divocalkan seperti saya atau dipendam sendiri seperti Kang Mas saya yang no.2), tapi bisa dilihat juga bahwa kebanyakan dari mereka berkemauan keras. Walaupun seringnya, berkemauan kerasnya tidak untuk meraih apa yang digambarkan sebagai kesuksesan pada umumnya, tetapi lebih kepada mengejar kepuasan batin atau bahkan mencari tahu makna dari angan-angan mereka. Walaupun kadang-kadang bagi khalayak umum tindakan mereka membuang-buang waktu dan tidak produktif (apalagi kalau ternyata angan mereka tak seindah realita, atau saat mereka gagal semua usaha seakan sia-sia), namun perlu diakui bahwa ketenangan jiwa para ndablekers memang tidak ada duanya.

Bayangkan, mana ada orang yang bilang sarjana ini sukses kalau sudah lebih dari tujuh tahun kerjanya cuma jadi penjaga warnet? Terlebih dia ngotot tinggal di Ibu Kota yang kejamnya melebihi Ibu Tiri katanya. Namun di balik ketidak suksesannya di mata orang-orang, dia tetap berjuang untuk mencari makna kehidupannya seperti kerja suka rela di parpol tertentu, bantu-bantu cari dana buat anak yatim (walau kata orang-orang yang duitnya banyak dia nggak perlu nglakuin itu kalau dia berduit banyak juga. Cukup gesek kartu debit, udah bisa nyumbang banyak dibandingkan yang koar-koar di jalan. Walaupun belum tentu kalau duitnya banyak mau nyumbang banyak juga huahaha), dan yang terpenting adalah dia bahagia dan merasa dirinya teraktualisasi.

Saya ndag bilang loh ya kalau contoh di atas itu paling ideal dan bagus dibandingkan orang berkantong tebal dengan hasil kerja keras mereka. Saya Cuma bilang, kalau orang macam di atas itu juga bukan sampah masyarakat yang harus selalu dipojokkan, dibanding-bandingkan, dan dikata-katai sebagai produk gagal selama hari raya (maksudnya kalau hari raya kan kumpul keluarga gitu lo). Jangan buat mereka meresa tersisih dan tidak diharapkan, apalagi oleh keluarga sendiri. Ingat, walau ndableg, mereka manusia lo, bukan batu yang bisa melahirkan si Kera Sakti dari gua suiliyan macam Sun Go Kong. Intinya adalah mending diem aja kalau nggak bisa menghargai. Itu lebih aman dari pada sok peduli padahal nggak bisa ngajeni.

Namun ada kalanya, para ndablekers juga memenuhi kriteria kesuksesan secara mainstream lo. Terutama mereka yang nggak mau berhenti berjuang sebelum sampai titik darah penghabisan. Seperti sebut saja namanya si Cempluk. Cempluk itu ndablegnya nggak ketulungan. Kalau pengen sesuatu, ndag pernah ada kata menyerah sebelum dia mendapatkan pangerapannya itu. Walaupun seringnya pangerapannya sedikit diluar nalar kalau dilihat dari kapasitasnya saat dia pengin sesuatu. Tapi, ngoyonya dalam berikhtiar itu lo, dan rasa anti malunya dalam mencoba patut dijadikan bahan obrolan di sini.

Cempluk bukan tipe ndableker yang diam-diam menghanyutkan. Dia lebih condong ke blak-blakan dan suka koar-koar tentang segala hal yang iya pikirkan dan inginkan. Sejak SD dulu dia pengen banget sekolah setinggi-tingginya biar bisa nyaingin tubuhnya yang kuntet. Saking ngebetnya, sejak dia punya penghasilan sendiri uangnya selalu dia habiskan buat beli buku (yang katanya buat investasi padahal isinya novel-novel galaunya Abang Tere Liye, jiiahhh??) dan juga buat daftar test TOEFL atau IELTS. Bapaknya yang ahli menabung sejak jomblo sampai pensiunan ndag pernah berhenti ngasih wejangan dia buat berhemat dan menabung (yah berhematnya sih diikuti menabungnya kagag ehehe) biar nanti saat udah matang (what? Emange mendoan goreng?) punya modal buat membangun perusahaan yang judulnya rumah tangga. Well, si Cempluk sih juga mikirin masalah itu, tapi menurut dia itu bukan hal urgent. Itu masih bisalah ditunda, yang urgent itu ya test TOEFL kalau nggak IELTS, soalnya kalau mau daftar S2 ya tes-tes itulah yang biasanya menjadi syarat wajibnya.

Berhubung Cempluk bukan dari keluarga yang gemebyar nan hel menohel yang secara finansial turah temurah, akhirnya salah satu cara untuk bisa mewujudkan cita-citanya buat sekolah nyaingin tinggi badan ya cuman satu: DAFTAR BEASISWA. Tapi, ndilalah yang namanya beasiswa itu kok ya nyarinya orang-orang pinter nan kritis ya, dan si Cempluk bukanlah salah satu diantaranya. Selain otaknya yang pas-pasan, si Cempluk ini juga mahasiswa super apatis yang tidak idealis dan cenderung suka berita gosipis dibandingkan politis. Di saat rekan-rekannya suka nonton tayangan macem Opera, Kick Andi, Ted Talk (kalau ini Cempluk lumayan suka sih hahaha), dan berita-berita di CNN, BBC dan TIME, si Cempluk ini malah masih suka tayangan SILET, Cek and recheck, serta berita-berita gossip on line para selebritis lokal sampai internasional. Saat temen-temen pintarnya pada bicarain sitcom-sitcom berbahasa Inggris yang dia saja nggak pernah denger kalau di belahan bumi lain ada juga bentuk lain semacam sinetron, dia malah asik mantengin Tukang Bubur Naik Haji, Ganteng-ganteng Srigala, dan beberapa drama korea. Saat temen-temennya apal lagu-lagu pakai Bahasa asing, si Cempluk malah asyik dangdutan ria pake Masalalunya Mbak Inul dan Jambunya Mas-mas Mata Band. Hadewwhh, pokoknya nggak kuku banget.

Karena kendablegannya pengen kuliah tinggi, akhirnya diapun ngotot melakukan berbagai cara (yang tentunya halalan toyiban) untuk bisa sekolah. Hampir semua beasiswa pasca sarjana baik luar maupun dalam negeri sudah dia daftarin. Berbagai Standardized Test Bahasa Inggris pun sudah menguras habis pengahasilannya sebagai guru freelancer dan pengusaha ecek-ecek kelas kampus, walaupun hasilnya yah yang penting masuk passing grade lah. Tapi kok ya Gusti Allah tetep nggak ngasih juga ya keajaiban buat si Cempluk. Eh ndilalahe kok ya ra nono sing ketompo beasiswane.

Tapi ya itu, lagi-lagi si Cempluk itu orange ndablege ndag ketulungan. Walaupun sudah banyak komentar miring dari senior-seniornya yang udah sukses bahkan saudara-saudaranya tentang ikhtiarnya selama ini, si Cempluk cuek-cuek aja tuh, masih ndableg, ra urus omongan uwong lah, ra marai murus iki.

Eh lakok ya setelah puluhan lamaran ditolak dan puluhan juta duit melayang tanpa jejak, akhirnya kok ya ada juga ya sponsor yang khilaf tertarik sama riwayatnya si Cempluk. Jadi deh dia sekarang kuliah S2 di negerinya Paklik Sam dengan jurusan Kurikum Pendidikan sambil ngajar tentara-tentara kece lewat media canggih namanya VTC, yang dalam khayalan terliarnya pun si Cempluk belum pernah bayangin.

Akhirnya, kendablegan yang selama ini selalu dipandang sebelah mata bisa nganterin si Cempluk buat ngangsu kawruh di tingkat Master. Yah moga-moga aja si Cempluk bisa lanjutin sekolahnya di tingkat PhD. Ndag cuma bisanya ngiler didepan tokonya Pizza hut Delivery yang harganya nggak nyampek di kantongnya.

See? Ndableg nggak selamanya negative dan anti mainstream saudara-saudara. Kadang, kendablegan hidup memang diperlukan diera serba-serbu serbet teknologi macam sekarang.

Lalu para pembacapun bertanya: trus intine filosofi ndableg ki opo Mbak Wur?

Ya mbuh! Aku dewe ya ra reti je, dipikir dewe ta, kan kalian-kalianlah netizen kritis dan pandai mengambil nilai-nilai dari media. Saya mah woles-woles aja sambil lari-lari kaya anak SD di tumpukan salju-salju bukit di Desa tempat kos-kosan saya yang namanya Missoula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun