Baca Juga : Megalitikum di Minahasa Selatan, dari Olah Pangan..
Periode berikut, dimana budaya perundagian melanjutkan tradisi neolitik ditandai dengan hadirnya peralatan yang terbuat dari logam (terutama besi dan perunggu). Massifnya produksi berbahan logam ini menandai perkembangan teknologi peralatan sehari-hari manusia termasuk pertanian, dan membuka jalan bagi kebangkitan pertanian.Â
Teknologi peralatan pertanian ini memudahkan manusia untuk membuka lahan-lahan pertanian baru, meski belum dapat dipastikan, apakah bentuk ekstensifikasi pertanian ini merupakan jenis pertanian padi kering (ladang) atau padi basah (sawah). Periode ini dapat dikatakan sebagai awal bagi revolusi pertanian dimana produksi pangan dapat ditingkatkan secara signifikan dibandingkan era sebelumnya.Â
Sistem pertanian padi basah semakin tampak jelas sekitar abad ke 9–10, sebagaimana dapat kita saksikan pada relief-relief di Candi Borobudur yang menggambarkan tradisi pertanian masyarakat Jawa kuno.Â
Pandangan lain menyebut bahwa periode awal perkembangan pertanian di Indonesia mulai dapat diamati sejak abad ke-8 dan semakin berkembang pada abad ke-10. Meski secara kronologi, periode ini dapat saja berbeda dengan wilayah yang lain, namun hal ini telah menandai babak baru kemajuan pertanian di Indonesia.Â
Baca Juga : Manusia Oluhuta, Petani Pertama di Daratan Gorontalo?
Selanjutnya, kemampuan manusia mengatur sistem irigasi (yang dapat memastikan kebutuhan air bagi pertanian padi basah), semakin memperjelas periode revolusi pertanian. Hal ini, sebagaimana dapat kita lihat pada fitur-fitur arkeologi di Trowulan, serta sistem pengelolaan irigasi pertanian pada masa Sultan Ageng Tirtayasa di Kesultanan Banten.Â
Demikian juga sistem irigasi sederhana di daerah-daerah yang dekat dengan sumber air, seperti sungai dan danau. Sistem irigasi yang diduga merupakan pengetahuan irigasi kuno memanfaatkan sumber air dari sungai adalah anjir, handil dan saka, khususnya untuk sistem pertanian lahan pasang surut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.Â
Situs pemukiman kuno di wilayah Kalimantan Selatan, misalnya Situs Pati Muhur menunjukkan hasil pertanggalan setidaknya dari abad ke 13-14. Sementara itu, sistem irigasi sederhana yang bersumber dari danau, seperti tampak di dataran rendah Sulawesi Selatan dekat Danau Tempe dan Danau Sidenreng yang merupakan lembah subur Walennae. Salah satu situs di daerah ini, yaitu situs Allangkanange - Wajo, Sulawesi Selatan memiliki temuan phytolith sekam padi yang berasosiasi dengan tinggalan arkeologi dengan hasil pertanggalan sekitar abad ke-13.Â
Jejak arkeologis lain yang menunjukkan kontinuitas budaya bercocok tanam adalah tinggalan arkeologi yang diidentifikasi sebagai temuan-temuan megalitik, seperti; lumpang batu, batu berlubang (dakon), dan struktur batu lainnya. Temuan-temuan arkeologi megalitik ini, ditemui di daerah-daerah pertanian subur, di Sulawesi Selatan, yaitu Kajang di Bulukumba, Soppeng, Wajo, dan Toraja.Â
Selain itu, persebaran budaya megalitik yang disebut memiliki korelasi dengan budaya bercocok tanam ini dapat ditemui di hampir seluruh wilayah Nusantara, diantaranya; Way Sekampung, Lampung, Bondowoso, Jawa Timur, Minahasa Selatan, Lembah Besoa, Sulawesi Tengah, dan Gunung Srobu di Jayapura.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!