Buya Syafii, tokoh cendekiawan muslim Indonesia, seorang guru bangsa itu telah pergi. Namun pikiran-pikiran beliau tetaplah hidup dalam setiap jengkal peradaban Keindonesiaan.Â
Buya Syafii dikenal sebagai tokoh muslim moderat yang dimiliki oleh Indonesia. Pikiran-pikiran beliau selalu mewarnai perbincangan tentang identitas Keindonesiaan.
Pikiran-pikiran Buya Syafii selalu relevan bagi perjalanan kebangsaan Indonesia dan banyak menginspirasi pikiran para tokoh lainnya, juga generasi muda Indonesia.Â
Syafii Maarif, atau Buya Syafii, begitu biasa beliau dipanggil adalah tokoh yang mula-mula mengurai banyak persoalan politik identitas sejak tahun 1990an.Â
Melalui pikiran-pikiran beliau, dengan arif meskipun tetap kritis menyoroti soal politik identitas berjubah agama (Islam) yang dilatar belakangi oleh berbagai persoalan cara pandang juga kondisi keterasingan para pemeluknya, di awal abad ke 21.Â
Pemikiran Buya Syafii Tentang Politik Identitas dan Pluralisme
Munculnya politik identitas Islam, dalam pandangan beliau karena dilatarbelakangi oleh berbagai persoalan, di antaranya rasa keterasingan Islam dalam perkembangan dunia barat (Amerika dan Eropa). Selain itu, politik identitas berjubah Islam, juga dilatarbelakangi oleh cara menyikapi soal Palestina.Â
Selama masalah Palestina tak kunjung selesai, maka politik identitas dengan jubah agama bisa saja akan semakin mengeras di kalangan sebagian diaspora muslim di barat yang merasa tetap punya dasar berpijak untuk melakukan  tindakan-tindakan kekerasan secara membabi buta dan biadab, seperti biadabnya perlakuan Israel terhadap rakyat Palestina.Â
Dengan kata lain, yang terjadi adalah benturan keras antara dua kutub politik identitas: Arab-Islam vs Zionisme yang sudah berlangsung sejak 1948 dengan korban nyawa ratusan ribu di samping harta benda  yang tak terhitung, terutama di kalangan rakyat Palestina (Maarif, 2010).Â
Latar belakang pemikiran Islam yang terasing dan juga pandangan sebagian bangsa di dunia barat, yang melihat Islam sebagai agama yang tidak ramah, harus dijawab dengan "Rethinking Islam", sebuah antitesis terhadap pandangan terhadap Islam imperial yang tidak ramah terhadap hak-hak sipil dan keadaban pasca Perang Siffin (657 M).Â
Untuk mencegah politik identitas demikian, maka dalam pandangan Buya Syafii, maka Pancasila adalah konsep yang adekuat.Â
Menurut Buya Syafii, jika Pancasila dipahami dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggung jawab, semua kecenderungan politik identitas negatif destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini pasti dapat dicegah.Â
Pluralisme etnis, bahasa lokal, agama, dan latar belakang sejarah, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, demi terciptanya  sebuah taman sari Indonesia yang memberi keamanan dan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini.Â
Menurut Buya, dalam ranah gerakan sosial keagamaan, ada Muhammadiyah dan NU, dua sayap besar umat Islam, yang telah mengukuhkan dirinya sebagai benteng  demokrasi dan pluralisme di Indonesia.
Pandangan  Buya Syafii, sebagai pikiran cendekiawan muslim, sebagaimana juga pandangan Nurkholis Madjid (Cak Nur) dalam sumbangsihnya memikirkan masa depan pluralisme di Indonesia.Â
Dalam pemikiran Buya Syafii, tantangan lain yang cukup serius terhadap keutuhan bangsa datang dari berbagai gerakan sempalan agama dengan politik identitasnya  masing-masing. Mereka ini semua anti-Pancasila, anti-demokrasi, dan anti-pluralisme.Â
Sejarah dan perjalanan politik identitas di Indonesia lebih bermuatan  etnisitas, agama, dan ideologi politik cukup panjang.Â
RMS (Republik Maluku Selatan), GAM ( Gerakan Aceh Merdeka), dan GPM (Gerakan Papua Merdeka), sebagai misal dalah perwujudan dari kegelisahan etnis-etnis ini terhadap politik sentralistik Jakarta yang dirasa sangat tidak adil, khususnya bagi Aceh dan Papua.
Gerakan DI (Darul Islam) di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan, menggunakan agama sebagai payung ideologi politik identitas mereka. Kecuali GPM yang masih seperti api dalam sekam sampai hari ini, gerakan-gerakan politik identitas lain seperti tersebut di atas, relatif telah dapat diatasi melalui kekerasan senjata atau diplomasi persuasif (Maarif, 2010).
Melihat soalan ini, maka sebagaimana pikiran Buya Syafii ataupun Cak Nur, maka masa depan Keindonesiaan yang multikultur ditentukan oleh kita dalam menerima pluralitas agama dalam masyarakat Indonesia. Lalu untuk meredam pengaruh gerakan radikalisme Islam, umat  Islam perlu memiliki  gerakan  Islam politik  dalam sistem demokrasi. Tugas  selanjutnya  adalah  menerjemahkan nilai-nilai  luhur Pancasila itu ke dalam kenyataan kehidupan yang kongkret.Â
Sebagaimana pikiran Buya Maarif, tentu saja menginspirasi para tokoh cendekia maupun generasi muda bangsa Indonesia. Yang pasti proses perjalanan peradaban Keindonesiaa, sesungguhnya sejak dulu memberi pelajaran berharga untuk bangsa ini tentang pemahaman atas pluralisme, demokrasi dan integritas kebangsaan yang sesungguhnya menjadi identitas nasional bangsa kita.Â
Proses Keindonesiaan, Pluralisme dan Multikultralisme
Fenomena kebudayaan masa lampau yang dapat kita terjemahkan melalui bukti-bukti warisan budaya masa lampau dan bukti tinggalan arkeologi, nilai-nilai filofosis dan budaya sesungguhnya mampu menjadi jembatan reintegrasi sosial sebagai bagian dalam membangun kedaulatan bangsa, di tengah plurarisme masyarakatnya.Â
Dari sumber data warisan budaya dan bukti arkeologi yang terungkap, ternyata menyimpan makna dan nilai-nilai humanisme, pluralisme, demokrasi, yang telah berurat berakar yang bisa menjadi media membangun kemanusiaan yang lebih beradab, perdamaian, toleransi, persaudaraan, yang meskipun sempat tercerabut, tidak sampai merusak akarnya, yang jika ditanam kembali dengan baik, mampu bertumbuh dan berkembang sebagai modal membangun peradaban bangsa yang lebih maju dan bermartabat.
Truman Simanjuntak dalam pidato pengukuhannya sebagai profesor riset arkeologi menegaskan bahwa pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Pluralisme dan multikulturalisme bagi bangsa ini merupakan suatu keniscayaan; sesuatu yang memang harus ada dan tak terbantahkan.Â
Pluralisme dan multikulturalisme yang kita miliki itu, katanya telah menciptakan mozaik yang indah dalam tampilan fisik manusia dan budaya Indonesia di sepanjang perjalanan sejarahnya. Kalau kita sebagai bangsa mau memahami fondasi Keindonesiaan kita, mau belajar pada kearifan-kearifan masa lampau, maka dapat menghindari konflik yang ditimbulkan oleh politik identitas, yang hanya mementingkan golongannya.Â
Pluralisme dan Harmoni Kebangsaan
Pluralisme di Indonesia harus dipandang sebagai kekayaan kultural yang senantiasa dipelihara, dengan sekaligus menjaga perlindungan atas identitas kultural dan membuka ruang yang lebih besar bagi multikulturalisme.Â
Kunci penting dari hubungan horisontal itu adalah, antara lain, penghormatan pada identitas, toleransi pada kelompok lain, dan kehendak untuk mencari kebersamaan, bukan dengan menegaskan berbagai perbedaan, khususnya perbedaan yang bersifat primordial.
Pluralisme dan multikulturalisme memerlukan ruang dinamis dan membuka dialog dengan berbagai kalangan lintas agama, sosial,
ekonomi, politik, budaya, sebagai manifestasi dari filosofi multikulturalisme itu sendiri yang selalu berusaha menjauh dari jebakan penyempitan wawasan paradigmatiknya.Â
Dengan pemahaman ini, menurut penulis pluralisme dan multikulturalisme semestinya diformulasikan sebagai tatanan sosial yang mengakomodasi ruang-ruang keberagaman identitas yang sekaligus memungkinkan bagi terintegrasinya keberagaman itu sendiri.
Dari serangkaian dan berbagai penelitian arkeologi, sesungguhnya memberi kita perenungan bahwa sejak masa prasejarah (masa Plestocen-Holocen), telah ada gejala pluralisme, multikulturalisme ataupun diversitas kultural, ketika kita dihadapkan pada fenomena budaya asli (lokal) kemudian pada masa awal migrasi, mulai bersentuhan dengan budaya Austronesia dan Non Austronesia. Artinya sejak masa itu sesungguhnya tidak ada klaim, bahwa kebudayaan di Indonesia adalah homogen.Â
Demikian juga dalam soal pluralisme agama. Pertemuan banyak agama dalam berbagai ragam alirannya, sudah sejak awal-awal tumbuh kembangnya agama, sudah ada dari percakapan silang budaya, dari berbagai pertemuan banyak suku bangsa dari berbagai wilayah seberang, menjadikan Indonesia yang plural dan majemuk. Proses Keindonesiaan ini harus dipahami sebagai proses melahirkan peradaban Keindonesiaan yang majemuk dan humanis. Â
Dengan demikian pluralisme–multikulturalime di dalamnya juga bersangkut paut dengan masalah integrasi budaya. Di mana budaya yang berbeda-beda dan beragam, bertemu dalam wilayah yang sama, yang telah memiliki kebudayaan asli dan diantara
kebudayaan-kebudayaan itu saling berbaur dan saling mengisi.Â
Penguatan identitas kultural tersebut, akan sangat berarti bagi terbangunnya civil society. Untuk itu, rekayasa sosial pada ranah kebudayaan dengan mentransformasikan identitas-identitas kultural seperti gotong royong (mapalus-minahasa, pela gandong-maluku, dan sebagainya) merupakan suatu keniscayaan bagi masa depan peradaban Keindonesia yang majemuk.
Menyimak hal ini, maka betapa pentingnya kajian-kajian arkeologi, sosial humaniora dan agama, di masa-masa mendatang sebagai sebuah pekerjaan rumah, yang memerlukan keseriusan dan refleksif. Bahwa persoalan pluralisme-multikulturalisme, integrasi kebangsaan dan demokratisasi merupakan wacana mendasar yang penting bagi masa depan Keindonesiaan kita.Â
Kita membutuhkan tools sebagai alat pendekatan untuk menemukan ruh kebudayaan dan nasionalisme dalam kepelbagaian. Tools itu adalah kerangka pendekatan keilmuan (ilmiah). Â
Pekerjaan rumah yang paling penting adalah bagaimana memformulasikan kebermaknaan khazanah keagamaan dan peradaban sebagai bagian proses Keindonesiaan. Selanjutnya juga mampu mentransformasikannya dalam kerangka ilmiah/akademik untuk menjadi solusi membangun harmoni kebangsaan.Â
Oleh karena itu, pikiran-pikiran Syafii Maarif atau Buya Syafii tentang masa depan pluralisme akan senantiasa dihidupkan dan terus hidup oleh ruh toleransi, yang menjadi nyawa kehidupan kebangsaan, Keindonesiaan atau kenusantaraan.Â
Buya Syafii telah pergi, namun toleransi adalah jati diri Keindonesiaan yang akan terus hidup. Â
***
Demikian. Salam Indonesia...Salam Toleransi
Salam hormat.Â
Mas Han, Jakarta, 27 Mei 2022
Sekelumit Bacaan :Â
Maarif, Syafii Ahmad, 2010 Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Pusat Studi Agama dan Demokrasi. Yayasan Wakaf Paramadina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H