Demikian juga dalam soal pluralisme agama. Pertemuan banyak agama dalam berbagai ragam alirannya, sudah sejak awal-awal tumbuh kembangnya agama, sudah ada dari percakapan silang budaya, dari berbagai pertemuan banyak suku bangsa dari berbagai wilayah seberang, menjadikan Indonesia yang plural dan majemuk. Proses Keindonesiaan ini harus dipahami sebagai proses melahirkan peradaban Keindonesiaan yang majemuk dan humanis. Â
Dengan demikian pluralisme–multikulturalime di dalamnya juga bersangkut paut dengan masalah integrasi budaya. Di mana budaya yang berbeda-beda dan beragam, bertemu dalam wilayah yang sama, yang telah memiliki kebudayaan asli dan diantara
kebudayaan-kebudayaan itu saling berbaur dan saling mengisi.Â
Penguatan identitas kultural tersebut, akan sangat berarti bagi terbangunnya civil society. Untuk itu, rekayasa sosial pada ranah kebudayaan dengan mentransformasikan identitas-identitas kultural seperti gotong royong (mapalus-minahasa, pela gandong-maluku, dan sebagainya) merupakan suatu keniscayaan bagi masa depan peradaban Keindonesia yang majemuk.
Menyimak hal ini, maka betapa pentingnya kajian-kajian arkeologi, sosial humaniora dan agama, di masa-masa mendatang sebagai sebuah pekerjaan rumah, yang memerlukan keseriusan dan refleksif. Bahwa persoalan pluralisme-multikulturalisme, integrasi kebangsaan dan demokratisasi merupakan wacana mendasar yang penting bagi masa depan Keindonesiaan kita.Â
Kita membutuhkan tools sebagai alat pendekatan untuk menemukan ruh kebudayaan dan nasionalisme dalam kepelbagaian. Tools itu adalah kerangka pendekatan keilmuan (ilmiah). Â
Pekerjaan rumah yang paling penting adalah bagaimana memformulasikan kebermaknaan khazanah keagamaan dan peradaban sebagai bagian proses Keindonesiaan. Selanjutnya juga mampu mentransformasikannya dalam kerangka ilmiah/akademik untuk menjadi solusi membangun harmoni kebangsaan.Â
Oleh karena itu, pikiran-pikiran Syafii Maarif atau Buya Syafii tentang masa depan pluralisme akan senantiasa dihidupkan dan terus hidup oleh ruh toleransi, yang menjadi nyawa kehidupan kebangsaan, Keindonesiaan atau kenusantaraan.Â
Buya Syafii telah pergi, namun toleransi adalah jati diri Keindonesiaan yang akan terus hidup. Â
***
Demikian. Salam Indonesia...Salam Toleransi
Salam hormat.Â