Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menyambut 205 Tahun Kebun Raya Bogor: dari Ritual Purba Hutan Larangan hingga Regulasi Hutan Konservasi di Zaman Digital

22 Mei 2022   10:01 Diperbarui: 23 Mei 2022   09:45 1931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kebun Raya Bogor. Sumber : Kompas

Salah satu ikon Indonesia yang telah dikenal ratusan tahun lamanya adalah Kebun Raya Bogor. Ia mewakili wajah lingkungan hutan hujan tropis di Indonesia. 

Di kebun raya Bogor ini konon tersimpan, ribuan spesies tanaman endemik Indonesia. Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), LT. Handoko mengatakan baru-baru ini, Kebun Raya Bogor telah menjadi pusat rujukan, menjadi cerminan bagi kebun raya lainnya di Indonesia (Media Indonesia, 2022). 

Sebagai ikon Indonesia, Kebun Raya Bogor sudah mengalami sejarah panjang sejak berdirinya hingga saat ini, di usianya yang telah masuk 205 tahun. 

Dalam usianya yang cukup tua itu, tentu saja Kebun Raya Bogor tidak saja menjadi laboratorium ilmu pengetahuan tentang botani, biologi dan berbagai pengetahuan tentang habitat tumbuhan, ekosistem dan lingkungan. Lebih luas dari soal itu juga pengetahuan penting tentang sejarah dan perkembangan sosial budaya yang melingkupinya. 

Tentu saja Kebun Raya Bogor tidak berdiri sendiri sebagai satu entitas tentang ekosistem dan lingkungan hidup, tetapi juga ruh peradaban dan sosial budaya yang melingkupinya sejak mulai berdirinya hingga saat ini di usianya yang ke 205 tahun. 

Bagi sebuah peradaban, usia 205 tahun bukanlah usia yang teramat lampau, atau bisa dibilang masih cukup muda. Namun pandangan kita bisa diarahkan pada masa yang jauh ke belakang. Hal ini karena secara fisik, keberadaan Kebun Raya Bogor, sebelum ditetapkan sebagai Kebun Raya, tentu sudah ada. 

Sakralitas Hutan Larangan dan Kearifan Lokal Konservasi Lingkungan

Justru sejarah itulah yang bercerita, mengapa Kebun Raya Bogor itu ditetapkan sebagai Kebun Raya. Di berbagai pelosok penjuru nusantara, sejarah mengungkapkan (walaupun seringkali tidak tertulis) banyak hutan-hutan menjadi simbol sakral sebuah tempat yang tak boleh dimasuki orang, atau digunakan sebagai aktivitas manusia. 

Simbol sakral yang menunjukkan hubungan yang tetap hidup antara dunia manusia dengan dunia non manusia (dunia gaib, dunia arwah) sebagai kekuatan gaib yang melindungi manusia dan bumi. 

Oleh karenanya, hingga kini masih banyak ritual-ritual yang dilakukan masyarakat untk menjaga hubungan antara dirinya dengan dunia arwah yang seringkali dihubungkan sebagai dunia roh nenek moyangnya. 

Oleh karena sakralitas itu, maka di berbagai daerah di Indonesia, mash banyak mengenal lokasi- lokasi hutan yang dianggap keramat yang biasa disebut Hutan Larangan. Hutan larangan itu tidak hanya dikenal pada masa lampau, tetapi bahkan hingga saat ini masih dipertahankan. 

Satu pengalaman kecil saya di Maluku, di bagian barat Pulau Seram, masyarakat mengenal lokasi hutan di Desa Lumoli, sebagai hutan larangan. Tidak sembarang orang bisa memasuki wilayah hutan itu. 

Konon di dalam hutan yang disakralkan itu, pada masa lampau, nenek moyang Suku Alune dan Wemale di Pulau Seram, biasa melakukan ritual Kakehang. Ritual Kakehang di Maluku adalah sebuah ritual bagi kaum laki-laki untuk pendewasaan diri. Salah satu prosesi ritual adalah dengan persembahan mengayau (potong kepala). 

Oleh karena sakralitasnya itu, hutan yang digunakan untuk ritual kakehang tidak boleh dimasuki orang. Barang siapa yang memaksa memasuki hutan itu, apalagi melakukan aktivitas duniawi (menebang pohon, bermukim dan sebagainya) maka celakalah orang itu. 

Demikian pula, di sebuah kawasan Hutan di Morowali, ada kawasan hutan yang disebut Hutan Matandau, juga disebut hutan larangan, tak seorangpun boleh menebang pohon disitu, barang sebatangpun. Jika ada manusia berani menebang pohon, maka malapetaka akan menimpang kampung atau negeri. 

Gambaran sakralitas hutan larangan itu, bagi saya adalah sebuah makna tentang kearifan lokal masyarakat pada masa lampau dalam menjaga hutan dan lingkungannya. Jadi, ada internalisasi dalam kehidupan masyarakat masa lampau untuk melindungi hutan dan melestarikannya. 

Oleh karena itu, jauh sebelum lahirnya regulasi tentang hutan konservasi baik itu Kebun Raya, Cagar Alam ataupun Taman Nasional, masyarakat nusantara pada masa lampau sudah memiliki atorang (aturan) sendiri yang lahir dari kearifan lokalnya dalam menjaga hutan dan lingkungannya. 

Kearifan lokal pelestarian lingkungan ini adalah ruh peradaban, bagian sejarah penting yang memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia kekinian, tentang kekayaan alam yang terus terjaga menjadi ikon yang hidup dan menghidupkan. Proses perjalanan peradaban itulah yang kemudian melahirkan konsep regulasi lahirnya Kebun Raya, Cagar Alam, Taman Nasional dan sebagainya. 

Kebun Raya Bogor : Dari Hutan Larangan ke Hutan Konservasi

Baik, kita kembali ke Kebun Raya Bogor. Dalam narasi demikian, maka Kebun Raya Bogor itu juga bagian dari proses panjang peradaban, tidak hanya 205 tahun yang lalu, namun jauh ke masa lampau, sebelum Kebun Raya Bogor ditetapkan sebagai Kebun Raya dalam regulasi yang ditetapkan kemudian hari. 

Jika menilik proses perjalanannya, maka keberadaan kebun raya Bogor, sama halnya pula contoh hutan larangan sebagaimana contoh kecil yang penulis sebutkan tentang Hutan Larangan di Pulau Seram, Maluku. 

Hanya proses perjalanan sejarahnya yang membedakan sehingga Kebun Raya Bogor menjadi sekarang ini.  Dikelola dengan sangat profesional, menjadi laboratorium ilmu pengetahuan dan juga obyek wisata yang ikonik dan di kenal oleh seluruh penjuru dunia. 

Sejarah Kebun Raya Bogor dikaitkan dengan adanya Prasasti Batu Tulis. Konon, kalimat dalam pahatan Prasasti Batutulis dibuat oleh Prabu Surawisesa, putra dari Sri Baduga Maharaja pada era 1533, tepat 12 tahun setelah sang ayahanda berpulang.

Kebun Raya Bogor. Sumber : BRIN
Kebun Raya Bogor. Sumber : BRIN

Hingga saat ini, belum banyak yang menelusuri dan mencari tahu secara detail, apakah Samida yang dimaksud pada baris ketujuh prasasti tersebut adalah nama pohon, atau nama hutan, atau justru nama sebuah hutan larangan (Pikiran Rakyat, 2022).

Bagi saya menyangkut Kebun Raya Bogor, bukan hanya soal angka tahun atau kronologi yang penting. Namun jauh dari itu adalah soal makna peristiwa penting yang terjadi, sehingga hutan itu demikian disakralkan?  

Prasasti Batutulis, menuliskan tentang nama Samida yang diartikan sebagai hutan larangan atau saat ini bisa diartikan sebagai hutan konservasi. 

Penting ditelisik lagi tentang peristiwa apa yang terjadi atau mengapa kawasan hutan itu menjadi lokus hutan larangan? Peristiwa apa yang terjadi gerangan yang melatarinya sebagai hutan larangan.

Peneliti tumbuhan senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Usep Soetisna menuturkan, Samida adalah kata sansekerta yang berarti suguhan dalam ritual api, sebuah pemujaan Dewa Agni (dewa api). 

Dahulu, kayu Samida digunakan oleh penganut Hindu sebagai bagian dari ritual pembakaran mayat. Sementara jika dikaitkan dengan literature ilmiah,  Samida memiliki nama lain Ploso dengan nama latin Butea Monosperma. 

Tumbuhan ini  banyak digunakan oleh pemeluk agama Hindu untuk upacara kegamaan. Di Indonesia, secara umum disebut Palasa, sedangkan di Jawa dan Sunda kerap disebut Ploso atau Plasa. (Pikiran Rakyat, 2022).

Berdasarkan narasi di atas, Kebun Raya Bogor yang pada masa lampau diidentikkan sebagai Samida atau Hutan Larangan, perlu lebih dijelaskan apakah di dalam hutan itu tumbuh tanaman sakral yang disebut Samida, atau ada peristiwa yang melatarbelakanginya seperti yang disebutkan adanya ritual api, sebuah pemujaan dewa Agni ( Dewa Api) atau keduanya menjadi entitas yang berbeda yang saling melengkapi sakralitas hutan itu? 

Jika ada peristiwa yang melatarbelakanginya, dalam konteks Peradaban, penting ditelusuri lagi bukti-bukti material sebuah peristiwa pernah terjadi. Mengapa tumbuhan sakral itu tumbuh disitu, apakah tanaman endemik yang sudah ada di situ semula jadi? Apakah karena suatu peristiwa terjadi sehingga melatarbelakangi penanaman pohon sakral itu? 

Konservasi Hutan dan Harmoni Manusia dengan Lingkungan : Dari Ritual dan Kearifan Lokal Hingga Lahirnya Regulasi

Diantara banyak pertanyaan yang saling terkait satu sama lain, narasi yang penting dalam soal ritual sakral hutan larangan adalah bahwa Kebun Raya Bogor, sejatinya lahir dari sebuah konsep kearifan lokal masyarakat pada masa lampau. Selain juga, peristiwa masa lampau yang penting terus digali bukti-bukti material dan maknanya untuk memproduksi pengetahuan bagi masa kini. 

Ritual Hutan Larangan baik itu dilatarbelakangi adanya pohon sakral atau adanya peristiwa sakral di lokasi itu, pada prinsipnya adalah pelajaran tentang masa lalu, bagaimana cara masyarakat menempatkan dirinya sebagai sebuah entitas yang hidup bersama dengan lingkungannya. Konsep kearifan lokal tentang manusia sebagai bagian dari ekosistem lingkungannya. 

Ritual tentang sakralitas sebuah ruang adalah entitas peradaban tentang kepercayaan terhadap kekuatan transedental baik jauh sebelum lahirnya agama, hingga bahkan setelah adanya agama samawi. 

Justru dalam khazanah agama dan peradaban, relasi ini menciptakan harmoni. Keseimbangan manusia dan lingkungannya. Sebuah konsep kosmologi tentang relasi manusia dan alam yang saling menghidupkan. 

Sebagai sebuah kearifan lokal, ritual tentang sakralitas alam dan ruang adalah proses yang terus hidup dan menghidupi zaman. Menjadi pelajaran penting dan berharga bahwa sebuah peristiwa memiliki makna yang melahirkan atau memproduksi pengetahuan untuk masa depan. 

Lahirnya regulasi tentang konservasi sumberdaya alam dan lingkungan dengan wujud berbagai instrumen pelestarian seperti Kebun Raya, Cagar Alam, Taman Nasional dan sebagainya adalah proses dari memaknai peristiwa dan laku zaman, peradaban dari masa lampau tentang ritual dan kearifan lokal hingga regulasi di zaman digital. Semua ini adalah kekayaan peradaban anak manusia sepanjang zaman. 

Demikian. Salam Budaya..Salam Lingkungan...Salam Lestari 

***

Salam Hormat. 

Mas Han. Gatot Subroto,Jakarta 22 April 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun