Hanya proses perjalanan sejarahnya yang membedakan sehingga Kebun Raya Bogor menjadi sekarang ini. Â Dikelola dengan sangat profesional, menjadi laboratorium ilmu pengetahuan dan juga obyek wisata yang ikonik dan di kenal oleh seluruh penjuru dunia.Â
Sejarah Kebun Raya Bogor dikaitkan dengan adanya Prasasti Batu Tulis. Konon, kalimat dalam pahatan Prasasti Batutulis dibuat oleh Prabu Surawisesa, putra dari Sri Baduga Maharaja pada era 1533, tepat 12 tahun setelah sang ayahanda berpulang.
Hingga saat ini, belum banyak yang menelusuri dan mencari tahu secara detail, apakah Samida yang dimaksud pada baris ketujuh prasasti tersebut adalah nama pohon, atau nama hutan, atau justru nama sebuah hutan larangan (Pikiran Rakyat, 2022).
Bagi saya menyangkut Kebun Raya Bogor, bukan hanya soal angka tahun atau kronologi yang penting. Namun jauh dari itu adalah soal makna peristiwa penting yang terjadi, sehingga hutan itu demikian disakralkan? Â
Prasasti Batutulis, menuliskan tentang nama Samida yang diartikan sebagai hutan larangan atau saat ini bisa diartikan sebagai hutan konservasi.Â
Penting ditelisik lagi tentang peristiwa apa yang terjadi atau mengapa kawasan hutan itu menjadi lokus hutan larangan? Peristiwa apa yang terjadi gerangan yang melatarinya sebagai hutan larangan.
Peneliti tumbuhan senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Usep Soetisna menuturkan, Samida adalah kata sansekerta yang berarti suguhan dalam ritual api, sebuah pemujaan Dewa Agni (dewa api).Â
Dahulu, kayu Samida digunakan oleh penganut Hindu sebagai bagian dari ritual pembakaran mayat. Sementara jika dikaitkan dengan literature ilmiah, Â Samida memiliki nama lain Ploso dengan nama latin Butea Monosperma.Â
Tumbuhan ini  banyak digunakan oleh pemeluk agama Hindu untuk upacara kegamaan. Di Indonesia, secara umum disebut Palasa, sedangkan di Jawa dan Sunda kerap disebut Ploso atau Plasa. (Pikiran Rakyat, 2022).
Berdasarkan narasi di atas, Kebun Raya Bogor yang pada masa lampau diidentikkan sebagai Samida atau Hutan Larangan, perlu lebih dijelaskan apakah di dalam hutan itu tumbuh tanaman sakral yang disebut Samida, atau ada peristiwa yang melatarbelakanginya seperti yang disebutkan adanya ritual api, sebuah pemujaan dewa Agni ( Dewa Api) atau keduanya menjadi entitas yang berbeda yang saling melengkapi sakralitas hutan itu?Â