Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Arkeologi Lingkungan, Maritim dan Budaya Berkelanjutan: Mewarisi Tradisi, Merawat Bumi

3 April 2022   10:14 Diperbarui: 3 April 2022   12:53 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Mengenal Filosofi dan Nilai Budaya Subak, Bali: Sumber: Kompas

Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim dab Budaya Berkelanjutan (PR ALMBB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengumpulkan perisetnya yang tersebar di berbagai daerah yang sebelumnya bernaung di Balai Arkeologi (Balar) Se Indonesia. Sejak bergabung ke BRIN, maka para periset arkeologi, sejarah, antropologi, bahasa dan sastra terintegrasi ke Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra (OR Arbastra). Salah satunya adalah PR ALMBB. 

Plt. Kepala Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim dan Budaya Berkelanjutan, Marlon NR Ririmasse, baru-baru ini mengumpulkan para peneliti yang bekerja di PR ALMBB, untuk lebih memahami ruang lingkup bidang tugasnya. Dr. I Made Geria, M.Si, mantan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang sekarang sebagai peneliti Ahli Utama BRIN, didaulat menjadi mentor untuk lebih memperkenalkan khususnya menyangkut budaya berkelanjutan melalui pendekatan etnosains. 

Memahami bagaimana hubungan lingkungan masa lampau dan budaya berkelanjutan , tidak hanya mendeskripsikan saja, atau tidak sekedar membuat catatan etnografis, namun periset juga mampu menggunakan tools atau instrumen untuk mengukur tingkat keberlanjutan dari budaya itu sendiri. 

Kearifan Lingkungan dan Budaya Berkelanjutan  dalam Pendekatan Etnosains Riset Arkeologi

I Made Geria, periset ahli utama BRIN, seorang arkeolog senior memperkenalkan pendekatan etnosains dalam penelitian arkeologi, khususnya untuk mendalami tentang budaya berkelanjutan. Menurutnya, memahami budaya berkelanjutan selama ini masih sebatas melakukan deskripsi atau membuat catatan etnografi tentang budaya-budaya yang berlanjut dalam kehidupan masyrakat tradisional. 

Menurut Geria, Etnosains dapat kita definisikan sebagai perangkat pengetahuan yang dimiliki oleh suatu sukubangsa yang diperoleh dengan menggunakan metode serta mengikuti prosedur tertentu yang merupakan bagian dari ‘tradisi‘ mereka, dan ‘kebenarannya‘ dapat diuji secara empiris.

Dijelaskan Geria, etnosains, sebuah langkah menuju integrasi bentuk-bentuk pengetahuan ilmiah dan asli dalam pengelolaan sumber daya alam untuk masa depan. Integrasi kearifan lokal dan pendekatan etnosains ke dalam kerangka kontemporer untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Akan menjadi semakin penting dalam kebijakan di tingkat internasional dan nasional, baik di negara-negara industri maupun negara-negara berkembang

Melalui pendekatan etnosains, katanya kita akan melihat bagaimana teknologi yang sudah dimiliki harus  atau sebaiknya dilakukan dalam konteks suatu kebudayaan tertentu. 

Misalnya saja, cara membuat rumah yang baik menurut pandangan orang Asmat di Papua; cara bersawah yang baik dalam pandangan orang Jawa, cara membangun sebuah kampung yang tepat menurut pandangan orang Batak, cara membuat bendungan yang baik menurut pandangan orang Bali, cara membuat perahu yang benar menurut orang Bugis dan sebagainya.

Ilustrasi : Kampung Adat Sumba, Sumber: Travel Kompas
Ilustrasi : Kampung Adat Sumba, Sumber: Travel Kompas

Menurutnya, melalui etnosains sebuah langkah menuju integrasi bentuk-bentuk pengetahuan ilmiah dan asli dalam pengelolaan sumber daya alam untuk masa depan. Integrasi kearifan lokal dan pendekatan etnosains ke dalam kerangka kontemporer untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. 

Akan menjadi semakin penting dalam kebijakan di tingkat internasional dan nasional, baik di negara-negara industri maupun negara-negara berkembang. Made Geria juga mengatakan, Etnosains  tidak hanya memahami sistem pengetahuan tradisional,tetapi juga untuk mengartikulasikannya dengan  sains modern untuk lebih nyata ketermanfaatannya. 

Konsep ini, sepertinya akan menjadi ancangan isu besar bagi riset-riset berkualitas BRIN dalam lingkungan rumah program yang akan dikembangkan oleh OR Arbastra melalui Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim dan Budaya Berkelanjutan (PR ALMBB).

Isu Kedaulatan Pangan dalam Riset Arkeologi

Salah satu isu besar, penting dan aktual adalah soal sumberdaya lingkungan. Arkeologi akan bermain pada tataran isu lingkungan masa lampau dalam melihat fenomena lingkungan masa kini, termasuk degradasi lingkungan, perubahan iklim global, kebencanaan dan juga pemberdayaan lingkungan untuk kehidupan kekinian. 

Salah satu isu penting lainnya adalah soal kearifan lingkungan, pertanian berkelanjutan dan kedaulatan pangan masa lampau, yang memiliki nilai dan kebermanfatannya dalam pembangunan berkelanjutan. 

Sulit dimengerti sebenarnya, jika isu kedaulatan pangan ini sepertinya baru-baru saja menjadi trend penelitian arkeologi. Padahal seabreg data riset arkeologi semestinya menjangkau isu ini untuk menjawab kebutuhan hajat hidup masyarakat dan bangsa. Apalagi isu ini sangat aktual dalam berbagai perbincangan publik. 

Baca juga : Pengetahuan Arkeologi: Pelajaran dari Masa Lalu, Sulawesi Utara Surplus Pangan

Meskipun para arkeolog sesungguhnya sudah sangat akrab dengan konsep atau teori arkeologi yang berhubungan dengan aktivitas pertanian atau bercocok tanam masyarakat masa lampau, namun hingga saat ini tidak familiar kita pahami tentang arkeologi pertanian, sebaliknya arkeologi maritim sudah sangat familiar dan sangat berkembang riset-riset tentang ini. Hal-hal yang berhubungan dengan pertanian dan pangan, tidak secara eksplisit kita pahami dari penelitian arkeologi. 

Isu kedaulatan pangan dalam arkeologi, sepertinya memang baru saja menjadi isu yang menarik diangkat. Meskipun beberapa riset arkeologi sebenarnya berhubungan dengan soal itu. Misalnya riset tentang sistem hidrologi di Banten Lama, ataupun riset tentang sistem Subak Bali. Nah soal ini, menarik pula apa yang disampaikan oleh I Made Geria, soal pengelolaan air masa kuno. 

Soal ini selain berhubungan dengan kearifan lingkungan, juga berhubungan dengan sektor pertanian dan ketahanan pangan. Hanya saja, isu kedaulatan pangan sepertinya belum terangkat secara eksplisit. Setidaknya jika melihat jurnal-jurnal ilmiah arkeologi, minim atau belum ada pembahasan secara eksplisit terkait arkeologi dan kedaulatan pangan. 

Ilustrasi: Menjaga Subak, Memuliakan Peradaban. Sumber: Kompas
Ilustrasi: Menjaga Subak, Memuliakan Peradaban. Sumber: Kompas

Menarik dikembangkan adalah misalnya riset Syahruddin Mansyur, arkeolog dari Kantor Arkeologi Sulawesi Selatan, yakni “Irigasi Ajatappareng : Menelusuri Jejak Sejarah Pertanian di Sulawesi Selatan". Penelitian arkeologi di wilayah Ajatappareng adalah penelitian arkeologi yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang sejarah pertanian di wilayah Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Sidrap.

Berangkat dari identifikasi toponimi-toponimi tua, penelitian ini kemudian menelusuri indikasi jejak-jejak aktifitas pertanian, seperti mengamati lahan-lahan persawahan lama, observasi terhadap fitur-fitur yang berkaitan dengan kondisi lingkungan sekitar lahan-lahan persawahan lama, termasuk kanal-kanal yang difungsikan sebagai sistem irigasi baik dugaan irigasi kuno maupun irigasi modern. 

Demikian, isu arkeologi berkaitan dengan sistem pengelolaan air, irigasi, sistem pertanian dan kedaulatan pangan sepertinya menjadi isu-isu aktual yang penting dikembangkan di masa mendatang, dimulai sejak hari ini. 

Pada Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim dan Budaya berkelanjutan sepertinya semua isu terkait kedaulatan pangan menemukan wadahnya. Hal ini tentu saja kekuatan kolaborasi sangat menentukan, sebagaimana disampaikan oleh Plt Kepala Pusat Riset ALMBB, bahwa kolaborasi riset sangat penting dan menentukan target hasil atau capaian kualitas riset. 

Mewarisi Tradisi, Merawat Bumi

Yang pasti di dalam Pusat Riset Arkeologi Lingkungan Maritim dan Budaya Berkelanjutan (ALMBB), terbuka peluang kolaborasi riset yang mengangkat 3 (tiga) kategori besar topik riset arkeologi yakni Lingkungan, Maritim dan Budaya Berkelanjutan. 

Dalam hal ini, isu arkeologi lingkungan diantaranya meliputi perubahan lingkungan, Iklim dan mitigasi kebencanaan. Kearifan lingkungan dan kedaulatan pangan. Lingkungan, pemukiman dan tata kota. Relasi manusia dan lingkungan (Antoposentrisme, ecopopulisme, wisdom ecologi, gender) dan sebagainya. 

Ilustrasi, Merawat Bumi: Sumber : Kompas
Ilustrasi, Merawat Bumi: Sumber : Kompas

Sementara itu, isu terkait arkeologi maritim diantaranya interaksi, peradaban maritim dan pusaka bawah air. Jejak kejayaan jalur rempah. Penguatan geokultur dan geopolitik berbasis budaya berkelanjutan. Pulau terdepan dan terluar dan penguatan basis Keindonesiaan. Posisi geografis maritim Indonesia dalam relasi budaya dan kontak niaga, juga penguatan posisi maritim Indonesia sebagai poros Maritim dunia. 

Dan terakhir, pada lingkup arkeologi budaya berkelanjutan, diantaranya meliputi dinamika Austronesia dan harmoni lintas agama dan budaya. Kontribusi peradaban Nusantara di kancah global. Keberlanjutan dalam budaya Nusantara. Identitas keindonesiaan masa lampau. Tradisi pangan Nusantara dan sebagainya. 

Hal yang tak kalah penting dipayungi Pusat Riset ALMBB adalah juga tentang Manajemen Arkeologi/Arkeologi Publik, diantaranya isu transformasi aset budaya material masa lalu dalam dunia digital, Arkeologi publik dan manajemen Konflik. 

Selain itu juga soa isi revitalisasi dan konservasi sumber daya budaya (World Heritage, Defence Heritage, dan sebagainya. Dalam topik ini juga meliputi komodifikasi budaya dalam penguatan ekonomi dan industri (Desa Budaya, dll), juga kemungkinan tentang riset manajemen sumberdaya arkeologi yang berkaitan dengan  Valuasi Ekonomi Cagar Budaya. 

Secara garis besar, isu-isu arkeologi lingkungan, maritim dan budaya berkelanjutan selalu berhubungan dengan soal tradisi dan kearifan lokal masyarakat menjaga lingkungan. Terutama melalui kearifan lingkungan, kearifan lokal dan budaya berkelanjutan, riset arkeologi diarahkan untuk memahami peradaban merawat bumi. 

Demikian kesimpulan yang disampaikan I Made Geria, peneliti Ahli Utama BRIN yang juga mantan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). 

Demikian. Salam Arkeologi...Salam Budaya...Salam Lestari

****

Salam Hormat

Mas Han,  3 April 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun