Konflik Wadas yang viral belakangan ini, seperti menghadap dua pihak yang bersebarangan. Pemerintah dan pengembang di satu sisi dan masyarakat pemilik lahan di sisi yang lain.Â
Problem yang terjadi, karena barangkali perencanaan pembangunan waduk wadas dan pengambilan bahan baku batuan andesit, seperti dengan pendekatan top down.Â
Semua inisiatif dan perencanaan dilakukan sepihak oleh pemerintah dan pengembang, tanpa didahului konsultasi publik atau dialog dengan masyarakat.Â
Akhirnya masyarakat memposisikan diri sebagai korban. Maka, timbullah perlawanan atas nama perjuangan terhadap kedaulatan lahan milik mereka.Â
Dalam posisi ini, semestinya pemerintah dan masyarakat berdiri pada posisi yang sama. Masyarakat bukan menjadi subordinat atau obyek pembangunanisme. Argumen pembangunan strategis nasional, tanpa memosisikan rakyat sebagai subyek pembangunan yang berdiri pada level yang sama, bagi masyarakat dianggap melukai hak kedaulatan rakyat atas tanah ulayatnya.Â
Sebagai orang yang dilahirkan oleh rahim Purworejo. Ibu dan ayah saya asli Purworejo, saya memahami bahwa pada dasarnya masyarakat pedesaan di Purworejo yang lugu dan patuh, menurut kacamata saya, adalah masyarakat yang nrimo dan bersahaja. Namun jika berhadapan soal hak kedaulatan, saya pikir setiap orang akan memperjuangkan hak kedaulatannya.Â
Ganjar Pranowo sendiri adalah putra Purworejo, saya kira beliau memahami benar suasana batin orang Purworejo. Meski saya tidak dibesarkan di Purworejo, namun sepanjang sepengetahuan saya, orang Purworejo sangat taat dan patuh terhadap filosofi mengabdi pada bangsa dam negara.Â
Relasi antara kawulo alit dan pemerintah (priyayi, elit) selalu terjaga dalam harmoni sesuai proporsi dan fungsi yang saling mengisi. Relasi antara alit dan elit, sesungguhnya bukanlah dikotomi, namun dipahami benar sebagai relasi antara abdi dan pemerintah, dalam relasi sosial budaya.Â
Masyarakat hanya ingin diajak berdialog, didengarkan suaranya, ada empati untuk terlibat dalam pembangunan, apalagi pembangunan di wilayah tanah kelahirannya.Â
Dalam hal ini, pemerintah semestinya lebih bijak dan berempati soal perencanaan pembangunan yang bersifat bottom up. Tidak selalu dengan pendekatan top down, yang sebenarnya sudah usang dan tak relevan di perkembangan zaman seperti sekarang ini.Â
Relasi antara rakyat dan pemerintah yang lebih demokratis adalah bagian dari perjalanan kebangsaan Indonesia dewasa ini.Â
Salah satu metode perencanaan pembangunan yang sudah lama diterapkan di negara-negara demokrasi adalah Participatory Rural Appraisal (PRA), merupakan perencanaan partisipatif berbasis kerakyatan atau komunitas (Chamber, 1996).Â
Melalui pendekatan ini, masyarakat dilibatkan secara aktif dalam perencanaan pembangunan. Diajak berdiskusi dan berdialog merencanakan masa depannya. Hal ini karena masyarakatlah pemilik kehidupan masa depannya itu sendiri. Masyarakat lebih memahami persoalannya sehingga masyarakat pula yang lebih memahami jalan keluarnya.Â
Dalam menyikapi konflik wadas, kita harus kembali melihat ke belakang, bagaimana perencanaan pembangunan waduk itu. Apakah sudah membuka ruang dialog dengan masyarakat yang akan terdampak?Â
Dalam proses yang dialogis di awal perencanaan pembangunan waduk Wadas itu, pasti sudah terekam dan terinventarisir kemungkinan persoalan-persoalan yang akan timbul di kemudian hari. Seperti yang terlihat saat ini, sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media.Â
Namun, jika sejak awal perencanaan pembangun bersifat partisipatif, maka masyarakat lebih merasa diakui keberadaannya.Â
Pengakuan terhadap hak dan keberadaan masyarakat oleh pemerintah, akan menciptakan suasana keakraban dan hubungan yang lebih harmonis.Â
Selain itu, dari masyarakat sendiri juga akan menimbulkan sikap simpati dan empati dan rasa tanggung jawab bersama untuk penyelesaian berbagai persoalan baik lingkungan, sosial, budaya maupun juga ekonomi, yang langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat.Â
Tanpa pelibatan secara aktif dan partisipatif masyarakat, inisiatif pembangunan oleh pemerintah, hanya akan menciptakan sentimen negatif jika dampak pembangunan itu dirasakan langsung oleh masyarakat.Â
Pembangunan hanya akan menjadi semacam pembangunanisme yang dipahami oleh rakyat sebagai kepentingan pembangunan oleh segelintir elit pelaku pembangunan.Â
Bagaimanapun menyangkut isu lingkungan, sumber daya alam dan tanah ulayat adalah isu yang sensitif. Oleh karena itu, siapapun subyek pembangunan yang terlibat di dalamnya, tidak bisa menafikan relasi-relasi antar subyek, apalagi sepihak atau bahkan kontra relasional.Â
Jika kondisi ini dipaksakan, bisa jadi hasilnya justru kontraproduktif, seperti resistensi atau penentangan dari pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang tidak diajak dialog.Â
Kontraproduktif misalnya juga ketidakseimbangan relasi antara subyek pembangunan dan bahkan menyebabkan degradasi lingkungan, tanpa ada pihak yang jelas posisinya untuk bertanggung jawab.Â
Pemerintah perlu memahami masyarakat desa sekaligus dengan sejarah dan lingkungan desa itu sendiri secara partisipatif.Â
Pendekatan PRA, perlu diterapkan untuk memahami desa secara partisipatif. Dengan pendekatan yang bersifat partisipatif melalui metode PRA ini, dapat mewadahi aspirasi dan apresiasi masyarakat terhadap persoalan sumber daya alam dan lingkungan di wilayahnya, serta merumuskan bersama perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam tersebut tersebut.Â
Dengan demikian melalui pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif, paradigma pembangunan yang top down tak berlaku lagi, sebaliknya paradigma baru dimulai, yakni perencanaan (pembangunan) yang bersifat bottom up.
Catatan ini hanya bersifat opini ringan dari saya sebagai seorang yang berasal dari Kabupaten Purworejo, yang bersahaja.Â
Saya tidak memahami secara detil persoalan konflik wadas. Namun, sebagaimana konflik-konflik lingkungan dan sumber daya alam, biasanya disebabkan oleh adanya dampak-dampak pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam untuk dalih pembangunan.Â
Dan pada konflik wadas, kemungkinan ada problem pada soal-soal relasi aktor atau stakeholder yang terlibat di dalamnya. Dalam berbagai pemberitaan, maka konflik sepertinya menghadapkan pihak pemerintah dan pengembang dengan masyarakat Desa Wadas itu sendiri.Â
Problem-problem relasional itu hanya bisa diselesaikan, jika masing-masing subyek atau aktor pembangunan, memposisikan dirinya pada level yang sama.Â
Prinsip egalitarianisme dan relasi yang proporsional dan seimbang, akan memberikan dampak psikologis yang positif utamanya, bagi masyarakat Desa Wadas, yang merasa menjadi korban pembangunan. Masa depan Desa Wadas, ditentukan oleh cara para aktor memperlakukan sesamanya.Â
Semoga, Desa Wadas dan masyarakatnya sejahtera, lingkungannya terjaga, potensi sumberdaya alamnya dapat dinikmati oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Dan kehidupan masyarakat Desa Wadas lebih sejahtera, hari ini hingga generasi-generasi mendatang.
Demikian. Salam hangat
***
Mas Han, 17 Februari 2022
Sekelumit bacaan:  Chambers, Robert 1996 , PRA Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara Partisipasi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H