Relasi antara rakyat dan pemerintah yang lebih demokratis adalah bagian dari perjalanan kebangsaan Indonesia dewasa ini.Â
Salah satu metode perencanaan pembangunan yang sudah lama diterapkan di negara-negara demokrasi adalah Participatory Rural Appraisal (PRA), merupakan perencanaan partisipatif berbasis kerakyatan atau komunitas (Chamber, 1996).Â
Melalui pendekatan ini, masyarakat dilibatkan secara aktif dalam perencanaan pembangunan. Diajak berdiskusi dan berdialog merencanakan masa depannya. Hal ini karena masyarakatlah pemilik kehidupan masa depannya itu sendiri. Masyarakat lebih memahami persoalannya sehingga masyarakat pula yang lebih memahami jalan keluarnya.Â
Dalam menyikapi konflik wadas, kita harus kembali melihat ke belakang, bagaimana perencanaan pembangunan waduk itu. Apakah sudah membuka ruang dialog dengan masyarakat yang akan terdampak?Â
Dalam proses yang dialogis di awal perencanaan pembangunan waduk Wadas itu, pasti sudah terekam dan terinventarisir kemungkinan persoalan-persoalan yang akan timbul di kemudian hari. Seperti yang terlihat saat ini, sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media.Â
Namun, jika sejak awal perencanaan pembangun bersifat partisipatif, maka masyarakat lebih merasa diakui keberadaannya.Â
Pengakuan terhadap hak dan keberadaan masyarakat oleh pemerintah, akan menciptakan suasana keakraban dan hubungan yang lebih harmonis.Â
Selain itu, dari masyarakat sendiri juga akan menimbulkan sikap simpati dan empati dan rasa tanggung jawab bersama untuk penyelesaian berbagai persoalan baik lingkungan, sosial, budaya maupun juga ekonomi, yang langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat.Â
Tanpa pelibatan secara aktif dan partisipatif masyarakat, inisiatif pembangunan oleh pemerintah, hanya akan menciptakan sentimen negatif jika dampak pembangunan itu dirasakan langsung oleh masyarakat.Â
Pembangunan hanya akan menjadi semacam pembangunanisme yang dipahami oleh rakyat sebagai kepentingan pembangunan oleh segelintir elit pelaku pembangunan.Â