Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Hujan dan Penyesalan

14 Januari 2022   21:00 Diperbarui: 14 Januari 2022   21:07 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen: Hujan dan Penyesalan. Sumber: Line Today

Mendung menutupi sore yang dingin. Hari baru saja hujan. Rintiknya belum hilang, dan membekas di jalanan aspal juga rerumputan. Baru saja hujan besar menyapu jalanan rupanya. 

Kupacu kuda besi menyisir jalanan yang tergenang. Oleh jejak hujan dan kenangan. Dalam ingatan hari-hari yang penuh rindu, cinta namun sekaligus juga penyesalan sepasang kekasih yang saling meninggalkan. 

Kenangan dalam jejak kebencian yang melekat dalam temaram malam dan kebisuan. Kebencian yang entah kapan tercipta, sesudah cinta tak berbatas tiba-tiba menghilang atau bahkan hancur berantakan. Ah, tak pernah membayangkan sebelumnya. Tak pernah terkira dan terpikirkan, dua sejoli itu saling meninggalkan jejak bisu. 

Semu dan juga jemu dalam iringan awan kelabu yang menyisir perjalanan yang tak tentu arah. Kegalauan, keresahan, kegelisahan, kecemasan dan serba ketidakjelasan. Aku termangu mendengar kisah dua orang itu. Sepasang kekasih yang ku pertemukan di bawah rindang pohon, ketika hujan sore datang. 

Di halaman rumah yang kosong, kala kami bertiga berteduh setelah dihantam badai di tengah perjalanan. Lima tahun lalu. Aku tak ingin menceritakan keduanya, sebenarnya. 

Tapi kisah tragis mereka, membuatku menuliskan catatan, kalimat demi kalimat di buku diary ku sendiri. Buku diary yang berdebu dibiarkan saja oleh waktu. Di dalam pengap dan gelapnya lemari kayu yang sudah berumur sewindu. 

Dua sepasang kekasih, dua sejoli yang juga dua sahabat sepermainan dalam perjalanan yang tak pernah kami kira akan berliku. Semua awalnya biasa-biasa saja. 

Aku mempertemukan mereka di bawah hujan sore. Dalam iringan gerimis dan gemericik hujan. Keduanya saling jatuh cinta kala itu. Lalu membiarkan aku sendiri dalam derai tawa riang mereka bermandi hujan. Aku sendiri melihat mereka, dengan termangu.

"Berbahagialah kalian sahabatku, kalian sepertinya berjodoh, meski sempat terjeda waktu yang tak memungkinkan untuk kalian saling mengenal" kataku sore itu kepada dua kekasih yang sahabatku itu. 

"Terima kasih ya bro" jawab sahabatku singkat. Lelaki yang kukenal sebagai sahabatku sejak kecil itu.  

"Makasih ya mas, doakan kami berjodoh hingga pelaminan" kata sahabatku, seorang perempuan yang kukenal sejak kami menjadi mahasiswa di kampus yang sama. 

Penyesalan. Ya, hanya penyesalan yang tertinggal. Penyesalan yang tak pernah mampu tergantikan oleh perihal apapun. Entah itu penyesalan mereka berdua. Ataupun penyesalanku sendiri. Penyesalanku karena mempertemukan mereka berdua. 

Badai angin memisahkan mereka diantara deru rindu yang terus memburu. Namun tak pernah sampai. Keduanya hilang digulung debu. Perjumpaan yang sia-sia. Dan kabar angin ternyata benar. Perpisahan adalah jalan terbaik, setelah pertemuan terakhir yang mengenaskan. 

Sisa hujan akhir Desember menjemput hujan awal januari yang bisu. Ketika badai menjadi hujan yang menghias pelangi sesudahnya. 

Sepasang kekasih yang dipertemukan oleh hujan. Namun akhirnya dipisahkan pula oleh hujan.  Dibawah rintik hujan Januari, keduanya saling berjanji dan saling pergi. 

"Aku sudah membangun ruang luka, yang tak pernah terlupa, bro" katanya padaku di suatu sore. Sahabat yang tak pernah mengenal bahasa luka, itu akhirnya untuk pertama kali kudengar mengatakan tentang luka. 

"Luka siapa? Lukamu atau luka dia" tanyaku penuh selidik. 

"Luka kami bro" jawabnya singkat. 

Aku tak meneruskan percakapan. Aku cukup tahu, bahasa dia tentang luka mereka adalah pasti adanya. Dia tak pernah berbohong. Tepatnya dia tak bisa berbohong. 

"Kenapa luka?" Akhirnya akupun tetap bertanya. Pertanyaan yang sebenarnya tak ingin kusampaikam ditengah luka yang mendera mereka. 

Sahabatku, lelaki yang kukenal sejak kanak-kanak itu hanya melihatku termangu. Tak ingin menjawab dan tak ingin berkata-kata. 

Dia hanya menunjukkan buku kecil. Sebuah diary dari wanita yang telah menemaninya selama hampir lima tahun itu. Seorang wanita yang aku kenal baik selama kuliah dulu. Wanita yang kuperkenalkan dan akhirnya mereka saling jatuh cinta. Kupikir. Ya, kupikir.

Aku membacanya. Dan seperti tak percaya. Aku seperti tak percaya bahwa wanita sahabatku masa kuliah itu menuliskan namaku dalam diarinya. Semua tentang aku. 

Aku membaca halaman demi halaman buku diari itu. Dan aku hanya mampu terdiam. Berdiri mematung dengan tatapan yang kosong ke sudut ruang yang kosong pula. 

" Dia sangat mencintaimu bro, sejak awal perkenalan di bangku kuliah dulu, dan hingga detik ini" kata sahabatku itu dengan suara yang bergetar. 

Aku tercekat. 

****

Salam hangat 

Mas Han. Manado, 14 Januari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun