Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan, Ibu dan Ibu Pekerja: Warna Peradaban dari Masa ke Masa

23 Desember 2021   10:52 Diperbarui: 24 Desember 2021   05:49 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Perempuan, Ibu dan Ibu Pekerja : Warna Peradaban dari Masa ke Masa. Sumber : kebudayaan.kemdikbid.go.id

Ibu adalah simbol, representasi kaum perempuan yang dimuliakan. Meskipun perempuan sendiri dalam bahasa sansekerta mengandung makna yang mendapat tempat mulia. Namun kedudukan ibu sendiri adalah representasi simbol perempuan yang sangat mulia. 

Seorang perempuan pelindung sekaligus pengayom. Dalam khasanah budaya nusantara, simbolisme Ibu seringkali dihubungkan dengan fenomena ibu sebagai bumi dalam konteks Kosmologi atau alam cita dan pandangan tentang alam. 

Dalam pandangan kosmologi yang berkembang di Nusantara. Perempuan dan Ibu seringkali disematkan sebagai alam pelindung. Ibu seringkali pula sebagai simbol bumi yang harus dilindungi. 

Pendek kata, khasanah budaya Nusantara, menempatkan budaya ibu sebagai jati diri Nusantara yang mengutamakan dan memuliakan ibu, perempuan suci yang menjadi pelindung kehidupan. 

Perempuan dan ibu sejak dulu menjadi subyek peradaban yang sangat penting dan terus memainkan perannya dalam kancah perjalanan budaya, lalu lahirnya peradaban-peradaban yang lebih maju hingga ke zaman modern ini (lihat disini). 

Baca juga :  Laki-laki dan Perempuan, Langit Bumi dan Simbol Jagat Raya dalam Tradisi Budaya Nusantara  

Yang jelas, peradaban Nusantara itu lahir dan selalu diwarnai dengan simbol-simbol budaya dan peradaban ibu. 

Misalnya yang paling mudah diingat misalnya, begitu kita lahir kita sudah memiliki yang kelak disebut bahasa ibu. 

Di beberapa artikel Kompasiana saya sebelumnya, saya sudah beberapa kali mengulas simbol-simbol budaya yang menempatkan ibu sebagai warna kebudayaan yang menjadi ruh peradaban. 

Perempuan dan Ibu menempati posisi yang sangat penting dan menentukan dalam perjalanan peradaban di Nusantara. Simbol perempuan dan ibu hampir selalu melekat dalam corak kebudayaan Nusantara dari masa prasejarah hingga terus berlanjut dan berkembang hingga masa kini. 

Sakralitas Simbol Perempuan dan Ibu dalam Budaya Nusantara

Saya akan kutip beberapa informasi tentang simbol-simbol ibu dalam alam kepercayaan dan budaya di Nusantara.  Termasuk di dalamnya terkait dengan soal pandangan kosmologi sebagai bagian dari warna budaya di Nusantara. 

Di Ternate, Gunung Gamalama, dianggap sebagai representasi ibu pelindung bumi, meskipun bumi itu sendiri sebagai simbol ibu. 

Untuk menghormati simbol ibu itu di Ternate sejak dulu hingga sekarang tetap melangsungkan tradisi ritual Kalalo kie. 

Ritual mengelilingi Gunung Gamalama, sebagai penghormatan dan juga permohonan agar Gunung Gamalama tidak meletus. Ritual juga untuk memohon agar  melindungi masyarakat Kota Ternate dari letusan gunung. 

Baca juga : Kota Ternate dan Gunung Gamalama, Kosmologi Kota Tua Nan Magis

Simbol ibu lain, misalnya fenomena arsitektur satu pintu masjid-masjid kuno di Maluku. Masjid kuno dengan satu pintu merupakan simbol ibu sekaligus simbol bumi. 

Maknanya masjid sebagai bangunan suci sebagaimana rahim suci seorang ibu, dari pintu suci melahirkan jiwa-jiwa yang suci saat keluar dari masjid. Alam kepercayaan terhadap simbol ibu itu, sudah lahir jauh sebelum adanya pengaruh agama. 

Dieter Bartels, seorang antropolog yang sudah meneliti budaya di Maluku sejak tahun 1970an, menyebutnya sebagai ibu simbol bumi  atau Ibu Bumi ( Mother of earth). 

Dalam hal ini simbol ibu menempati sakralitasnya dalam makna kebudayaan yang tersirat maupun tersurat dalam laku kebudayaan Nusantara. 

Menurut catatan penelitian yang dihimpun Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada budaya megalitik, perempuan kerap divisualisasikan sebagai pelindung anak (ibu). 

Arkenas juga mencatat penggambaran tokoh perempuan pada masa Hindu-Buddha sebagai Dewi pelindung anak tampak dari relief Dewi Hariti di Candi Mendut yang dibangun pada masa Mataram Kuno abad ke-9 M. 

Pada masa yang lebih muda, yaitu masa Majapahit yang berlangsung pada abad ke-14-15 M, penggambaran perempuan dalam berbagai tinggalan arkeologi mulai banyak dijumpai (Lihat disini).

Ibu Pekerja, Tradisi Tua yang Bertahan dan Berkembang

Bagaimana dengan tradisi dan budaya Ibu yang bekerja? Sebenarnya ini juga tradisi tua atau tradisi lama yang terus berkembang sampai sekarang. 

Berkali-kali saya sampaikan bahwa kebudayaan itu bersifat prosesual dan berkembang. 

Apa yang terjadi saat ini, tidak bisa dilepaskan dari masa lalunya. Karena bisa jadi apa yang berkembang saat ini, hanya perkembangan dari fenomena masa lalunya. 

Ibu Pekerja bukanlah fenomena kontemporer yang berkembang pada hari hari ini saja. Fenomena Ibu Pekerja itu sudah terjadi, bahkan sejak masa prasejarah. 

Dalam konsep arkeologi gender, sebenarnya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai ruang lingkup kebudayaan dapat diungkapkan. 

Sejak zaman prasejarah pembagian pekerjaan antara kaum laki-laki sebagai pemburu dan kaum wanita sebagai pengolah makanan misalnya, dapat ditelisik berdasarkan asosiasi antar artefak dan analogi dengan data lainnya. 

Memasuki masa yang lebih lanjut, perkembangan fenomena budaya perempuan dan ibu pekerja lebih jelas lagi dapat diamati. 

Sebagai contoh dan ini terus berkembang sampai sekarang. Pembuatan peralatan sehari-hari dari tanah liat. Yakni tradisi pembuatan gerabah. 

Dari proses pengambilan bahan baku, pembakaran hingga selesai, hal itu merupakan pekerjaan perempuan dan ibu. Kenapa? 

Menurut insting arkeolog saya, karena dalam sakralitas pandangan kosmologis, unsur tanah sebagai bahan baku gerabah berkelindan dengan makna sakral perempuan dan ibu sebagai simbol bumi. 

Pada periode sejarah klasik, fenomena perempuan dan ibu pekerja lebih mudah lagi digambarkan. 

Menurut Titi Surti Nastiti, arkeolog senior Puslit Arkenas, pada masa Jawa Kuno, para ibu sudah melakukan pekerjaannya membantu suami dan keluarga. 

Kondisi yang memperlihatkan adanya kesetaraan gender, karena adanya kesamaan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. 

Jabatan-jabatan tersebut, baik yang diperoleh secara genelogis atau karena keturunan maupun prestasi.

Menurut Nastiti, para perempuan dan ibu pekerja sejak masa Jawa kuno sudah melakukan tugasnya, bekerja di sawah, menenun, menganyam dan sebagainya. 

Baca juga : Perempuan dalam Peradaban

Saya kira masih banyak contoh lain di berbagai tempat di Nusantara yang menempatkan ibu sebagai simbol budaya yang suci di ruang privat, maupun simbol ibu yang bersifat profan di ruang publik 

Saya ambilkan satu contoh fenomena budaya kontemporer yang sesungguhnya berasal dari budaya yang sudah sangat tua. Ibu papalele, sebuah profesi bagi kaum ibu, menjajakan dagangannya dengan ciri khas memanggul dagangannya di kepala. 

Seorang ibu papalele, hingga saat ini dengan mudah dapat di jumpai di kota Ambon.  Ibu papalele akan mudah berkeliling menjajakan dagangannya dari pasar ke pasar, pelabuhan ke pelabuhan, di emperan toko bahkan dari kampung ke kampung. 

***

Pendek kata tradisi dan budaya Nusantara sejak masa lampau hingga perkembangan budaya kontemporer saat ini menempatkan simbol ibu sebagai warna dan ruh peradaban. 

Simbol ibu tidak hanya ditempatkan sebagai simbol suci yang sakral di ruang privat sebagai simbol pelindung. Namun juga simbol ibu dalam makna budaya profan di ruang publik sebagai ibu pekerja. 

Justru itu, dengan alasan apapun kita harus menempatkan ibu di tempat yang paling mulia dan terhormat.

Demikian. Selamat Hari Ibu. 

***

Salam budaya, salam lestari 

Salam hormat 

Mas Han. Manado, 22 Desember 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun