Pukul tujuh malam, kereta api membawaku pada perjalanan yang temaram. Perjalanan mencari rindu meski juga sudah meninggalkan rindu. Beberapa waktu yang sudah berlalu.
Kereta melaju. Udara dingin menyapu jendela kereta. Meninggalkan berkas embun yang semakin menebal. Dan menutupi pandangan.Â
Ku seka dengan telapak tangan. Wajah kota di luar jendela terlihat dingin. Sedingin malam dan wajah orang-orang di dalam kereta.Â
Sekumpulan orang dalam gerbong yang sama, namun tanpa percakapan. Bagiku itu sangat mengherankan. Mereka sepertinya asyik dengan pikiran dan lamunannya sendiri-sendiri.Â
Wajah-wajah terasing di dunianya sendiri. Begitu juga aku, sendiri dan asyik dalam lamunan malam. Temaram dan terus melaju ke masa lalu.Â
Ingin rasanya menyapa meski seorang saja. Namun kuurungkan niat itu. Jam segini mereka tampak sudah mulai terlelap.Â
Entah tidur atau hanya memejamkan mata, melepas penat keseharian yang suntuk. Wajah-wajah lelah dengan harapan yang sepertinya masih jauh dari kenyataan.Â
Hanya seorang wanita di kursi seberang, yang tampaknya masih terjaga. Ia seperti terbawa dalam lamunan. Meski sesekali matanya membaca halaman demi halaman buku di tangannya. Wajahnya juga dingin.Â
Membuatku terasa berhadapan dengan sesosok es batu, berukuran sebesar manusia. Membuat badanku terasa menggigil ditambah hawa dingin AC kereta gerbong eksekutif yang memang menusuk tulang.Â
Ingin rasanya aku membuat perapian, walaupun tak mungkin, karena tak masuk akal. Dingin. Ya sangat dingin. Ingin rasanya membuat suasana hangat dengan percakapan.Â