Suasana kembali dingin dan semakin beku. Aku pesan dua gelas kopi pada pramugari kereta. Segelas kopi panas untukku dan wanita di kursi seberang itu.
Setelah itu, kali ini suasana benar-benar lebih hangat. Bukan hanya dari dua gelas kopi panas itu. Tapi juga obrolan dengan wanita itu.Â
Dia tak sedingin perkiraanku rupanya. Atau karena sebagai tanda terima kasih, karena kubelikan kopi. Hmmm..kadang kala, rasa terima kasih harus ditunjukkan kepada si pemberi.Â
Dan si pemberi, pasti ada pamrih, sekecil apapun pamrihnya. Seperti pamrihku kepada wanita dingin di kereta malam itu.Â
Pamrihku, berharap dia mau diajak ngobrol. Itu saja. Dan rupanya benar, segelas kopi membuat suasana hangat. Dan percakapan mengalir, sangat.Â
Dari pakaian yang dikenakan wanita itu, kalau bukan pegawai kantoran mungkin karyawan bank. Pakaiannya tampak rapi dan necis. Menyiratkan dia wanita sosialita metropolitan Jakarta. Â
Apalagi dengan kereta eksekutif, pilihan yang sangat wajar untuk dia. Aih, berarti aku juga pria necis seperti wanita itu kalau ukurannya karena naik kereta eksekutif.Â
"Liburan Mbak atau karena dinas luar kota?" Tanyaku kemudian dengan lebih rileks. Dengan segelas kopi panas, sepertinya modal keberanianku untuk lebih leluasa mengajak ngobrol wanita itu.Â
"Liburan? Dinas? Mas ini yang nggak-nggak aja. Pan sudah kubilang pulang kampung" jawab wanita itu ketus.Â
Mendadak cairan es meleleh dari sudut-sudut jendela, kursi, atap kereta dan tentu saja AC di kereta itu. Suasana dingin kembali dan lebih beku. Hampir-hampir aku terasa seperti akan mati kedinginan.Â
" Oh maaf, lupa Mbak, aku gak dengar baik-baik. Maaf ya mbak" jawabku sesegera mungkin, walaupun terbata-bata.Â