Empat belas, lima belas atau enam belas tahun lalu, tepatnya saya lupa. Saya pernah ke hotel ini, Palu Golden Hotel di Kota Palu.
Untuk pertama kalinya, menginjakkan kaki dan merasakan bagaimana rasanya duduk di sofa lobi hotel. Meskipun tidak sempat merasakan empuknya kasur hotel, waktu itu.
***
Hari ini (25/11/2021) untuk kedua kalinya saya menginjakkan kaki di hotel ini. Dan kali ini berkesempatan bermalam di hotel yang sempat membuat mulut ternganga keheranan, bahwa saya tak selalu harus belajar dari hutan, tapi juga gedung berbintang. Waktu itu.
Kala hujan masih remaja, dan yang tak pernah deras, tapi gerimis di siang bolong. Hanya cukup untuk sejenak membasahi kulit yang kering, seperti dompet yang selalu bolong di saku celana...hahahaha
Belasan tahun lalu itu, saya berjumpa dengan banyak sahabat, teman seperjuangan yang diakrabkan oleh teriknya matahari dan debu jalanan, juga sesekali suara menderu di lorong-lorong waktu.
Entah di mana mereka. Semoga selalu sehat-sehat saja. Para sahabat di Kota Palu, yang belasan tahun lalu, menjadi rekan seperjuangan.Â
Merekam jejak dalam ingatan di kepala dan menuliskannya dalam baris-baris kata yang mungkin tak terbaca.Â
Tidak apa-apa. Sebab semua selalu begitu saja, saat waktu belum menuliskan kita ini siapa.
Kota Palu, rindu dalam sepotong kenangan yang telah berdebu dan terlupa itu, kini terurai.Â
Kenangan tak lagi terendap, tapi melesap dalam perjumpaan pada waktu yang tak pernah terkira.
Pernah suatu ketika saya ingin sekali ke kota Palu, namun baru terlaksana tahun 2019, ketika saya sudah bekerja di Balai Arkeologi Sulawesi Utara.Â
Saat itu, kami melaksanakan sosialisasi arkeologi, sebelum ke kawasan Lore Lindu, tepatnya di Lembah Besoa untuk melaksanakan program Rumah Peradaban.
Namun saya ingin menceritakan tentang Kota Palu, saat saya berkesempatan untuk kali kedua ke sana.Â
Hari-hari ini Kota Palu kembali bergeliat, setelah duka pilu mengguncang kota itu akibat gempa dahsyat dan tsunami tahun 2018 lalu.Â
Kota kembali bercahaya, dengan kadar Kota Palu yang setia bersahaja. Pantai Talise dengan patung kudanya berwarna putih masih tetap kokoh dan berdiam diri di tempatnya.Â
Cahaya lampu, warung-warung dan tenda penjual jajanan kembali berlomba menjajakan dagangannya di tepi pantai yang sempat porak poranda, diguncang gempa. Sepi, sunyi dan lengang untuk beberapa waktu, berdiam diri pasca tsunami.Â
Kini, Kota Palu kembali menari gemulai, meski pelan dan trauma masih menyisakan pilu bagi sebagian warganya. Meski demikian, pada umumnya mereka ingin melupakan kenangan pilu itu.Â
Saya berkesempatan melihat-melihat sudut kota yang membisu. Beberapa puing-puing reruntuhan akibat gempa masih terlihat dibiarkan begitu saja. Terutama di sepanjang pantai.Â
Ohya, meskipun belum selesai, pantai kini sudah ditanggul dengan tumpukan batu-batu berukuran besar. Bahan bakunya diambil dari lokasi setempat.Â
Katanya, pembuatan tanggul batu itu bantuan Jepang. Sayangnya, saat akibat pandemi Covid 19, banyak bantuan terhenti.Â
Kota Palu, kini sudah mulai bergeliat, melupakan kisah pilu tahun 2018 lalu. Meskipun trauma masih saja menyisakan berbagai kisah yang nyaris kini tak terdengar. Samar-samar dan terabaikan.Â
Banyak warga kota Palu, meninggalkan kota Palu dan sampai saat ini enggan kembali. ASN yang pindah tempat tugas, warga yang tak terdengar khabar dan entah di mana sekarang. Â Setidaknya itulah beberapa kisah pilu, yang semakin hari semakin samar.Â
Kota Palu, utamanya di sepanjang pantai, tampak sudah berubah bentuk. Pertokoan dan beberapa hotel sudah tak nampak lagi,kecuali beberapa menyisakan gedung yang rusak dan puing-puing bangunan.Â
Namun di bagian lain, Kota Palu tetap bertumbuh. Gedung-gedung baru terbangun. Perekonomian mulai berjalan, meskipun bencana pandemi, lagi-lagi membuat Kota Palu, dirundung pilu kembali.Â
Baru saja ingin membangun pasca gempa dan tsunami, bencana pandemi menghadang kembali. Bencana beruntun itu memang cukup membuat perekonomian di Kota Palu terguncang.Â
Akibatnya, bantuan-bantuan kemanusiaan pun terhenti. Di salah satu kawasan yang dulu paling terparah terdampak gempa dan tsunami, masih terdapat camp pengungsi.Â
Entah sampai kapan mereka bertahan di situ. Di antara puing bangunan dan rumah pengungsian ala kadarnya yang sekilas tampak tak layak huni.Â
Meski demikian, secara umum tampaknya masyarakat sudah terbiasa dengan kondisi itu.Â
Meskipun banyak tempat dan lokasi masih menyisakan jejak gempa dan tsunami. Melihat keseharian masyarakat, tampaknya mereka sudah terbiasa.Â
Beberapa jejak gempa dan tsunami bahkan sekarang menjadi tempat wisata. Contohnya di seputaran bekas jembatan kuning.Â
Tampak masyarakat asyik duduk-duduk disitu menikmati suasana sore. Beberapa titik ada peringatan soal kehadiran buaya.Â
Rupanya adanya buaya di seputar pantai, ruas jalan dan sungai di tengah kota, bukan isapan jempol belaka. Pasca gempa dan tsunami beberapa kasus orang digigit buaya, memang benar terjadi.Â
Banyak kisah di Kota Palu pasca gempa dan tsunami. Kisah pilu namun juga kisah warga yang membangun semangat baru.Â
Kota Palu memang belum seutuhnya pulih. Menurut warga setempat, butuh waktu sepuluh tahun lagi untuk mengembalikan Kota Palu kembali seperti sebelum gempa dan tsunami 2018.Â
Banyak kisah tentang Kota Palu, di antara rindu dan pilu. Kesemuanya itu rasanya tak cukup dilukiskan dan dituliskan.Â
Yang pasti, langit tetap biru di atas Kota Palu. Meskipun dirundung pilu, namun Kota Palu adalah gambaran kota yang memiliki banyak potensi.Â
Potensi sumber daya mineral tambang tersebar di beberapa lokasi. Sudah pasti itu menjadi modal untuk membangun Kota Palu yang porak poranda akibat gempa dan tsunami.Â
Belum lagi potensi wisatanya, baik wisata alam maupun wisata budaya, adalah potensi yang tak habis dimakan zaman.Â
Kota Palu yang indah, seperti tiga dimensi yang menyatu antara laut, gunung dan dataran yang menyatu. Lanskap Kota Palu yang menghadirkan keindahan panoramanya.Â
Meski Kota Palu, di beberapa sudutnya masih terlihat porak poranda, tapi tidak kehilangan daya magisnya untuk selalu dikunjungi orang.Â
Langit biru di atas Kota Palu, bukan hanya hiasan semu. Namun menambah daya pikat Palu yang memang penuh rindu. Menepis pilu.Â
Demikian. Salam hangat
***
Mas Han, Palu, 26 November 2021
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI