Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Langit Biru di Atas Kota Palu

27 November 2021   08:23 Diperbarui: 28 November 2021   17:58 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Salah Satu sudut Kota Palu, Pantai Talise dengan Patung Kuda | Sumber: dokumen Pribadi

Empat belas, lima belas atau enam belas tahun lalu, tepatnya saya lupa. Saya pernah ke hotel ini, Palu Golden Hotel di Kota Palu.

Untuk pertama kalinya, menginjakkan kaki dan merasakan bagaimana rasanya duduk di sofa lobi hotel. Meskipun tidak sempat merasakan empuknya kasur hotel, waktu itu.

Palu Golden Hotel pasca berbenah set lah gempa dan tsunami, 2018. Sumber: dokumen pribadi
Palu Golden Hotel pasca berbenah set lah gempa dan tsunami, 2018. Sumber: dokumen pribadi


***
Hari ini (25/11/2021) untuk kedua kalinya saya menginjakkan kaki di hotel ini. Dan kali ini berkesempatan bermalam di hotel yang sempat membuat mulut ternganga keheranan, bahwa saya tak selalu harus belajar dari hutan, tapi juga gedung berbintang. Waktu itu.

Kala hujan masih remaja, dan yang tak pernah deras, tapi gerimis di siang bolong. Hanya cukup untuk sejenak membasahi kulit yang kering, seperti dompet yang selalu bolong di saku celana...hahahaha

Belasan tahun lalu itu, saya berjumpa dengan banyak sahabat, teman seperjuangan yang diakrabkan oleh teriknya matahari dan debu jalanan, juga sesekali suara menderu di lorong-lorong waktu.

Suasana Pantai Talise, kondisi sekarang. Sumber: dokumen pribadi
Suasana Pantai Talise, kondisi sekarang. Sumber: dokumen pribadi

Entah di mana mereka. Semoga selalu sehat-sehat saja. Para sahabat di Kota Palu, yang belasan tahun lalu, menjadi rekan seperjuangan. 

Merekam jejak dalam ingatan di kepala dan menuliskannya dalam baris-baris kata yang mungkin tak terbaca. 

Tidak apa-apa. Sebab semua selalu begitu saja, saat waktu belum menuliskan kita ini siapa.

Kota Palu, rindu dalam sepotong kenangan yang telah berdebu dan terlupa itu, kini terurai. 

Kenangan tak lagi terendap, tapi melesap dalam perjumpaan pada waktu yang tak pernah terkira.

Pernah suatu ketika saya ingin sekali ke kota Palu, namun baru terlaksana tahun 2019, ketika saya sudah bekerja di Balai Arkeologi Sulawesi Utara. 

Saat itu, kami melaksanakan sosialisasi arkeologi, sebelum ke kawasan Lore Lindu, tepatnya di Lembah Besoa untuk melaksanakan program Rumah Peradaban.

Namun saya ingin menceritakan tentang Kota Palu, saat saya berkesempatan untuk kali kedua ke sana. 

Hari-hari ini Kota Palu kembali bergeliat, setelah duka pilu mengguncang kota itu akibat gempa dahsyat dan tsunami tahun 2018 lalu. 

Salah satu ruas jalan di Kota Palu. Sumber: dokumen Pribadi
Salah satu ruas jalan di Kota Palu. Sumber: dokumen Pribadi

Kota kembali bercahaya, dengan kadar Kota Palu yang setia bersahaja. Pantai Talise dengan patung kudanya berwarna putih masih tetap kokoh dan berdiam diri di tempatnya. 

Cahaya lampu, warung-warung dan tenda penjual jajanan kembali berlomba menjajakan dagangannya di tepi pantai yang sempat porak poranda, diguncang gempa. Sepi, sunyi dan lengang untuk beberapa waktu, berdiam diri pasca tsunami. 

Beberapa bangunan yang rusak ditinggalkan begitu saja pasca Gempa dan Tsunami 2018. Sumber: dokumen Pribadi
Beberapa bangunan yang rusak ditinggalkan begitu saja pasca Gempa dan Tsunami 2018. Sumber: dokumen Pribadi

Kini, Kota Palu kembali menari gemulai, meski pelan dan trauma masih menyisakan pilu bagi sebagian warganya. Meski demikian, pada umumnya mereka ingin melupakan kenangan pilu itu. 

Saya berkesempatan melihat-melihat sudut kota yang membisu. Beberapa puing-puing reruntuhan akibat gempa masih terlihat dibiarkan begitu saja. Terutama di sepanjang pantai. 

Ilustrasi, Masjid Terapung yang kini menjadi obyek wisata di Kota Palu pasca gempa
Ilustrasi, Masjid Terapung yang kini menjadi obyek wisata di Kota Palu pasca gempa

Masjid Terapung, Kota Palu pasca Gempa dan Tsunami 2018. Sumber: Dokpri
Masjid Terapung, Kota Palu pasca Gempa dan Tsunami 2018. Sumber: Dokpri

Ohya, meskipun belum selesai, pantai kini sudah ditanggul dengan tumpukan batu-batu berukuran besar. Bahan bakunya diambil dari lokasi setempat. 

Katanya, pembuatan tanggul batu itu bantuan Jepang. Sayangnya, saat akibat pandemi Covid 19, banyak bantuan terhenti. 

Pembuatan tanggul Batu di sepanjang Pantai Talise, Kota Palu yang sebelumnya hancur akibat Gempa dan Tsunami. Sumber: dokumen Pribadi
Pembuatan tanggul Batu di sepanjang Pantai Talise, Kota Palu yang sebelumnya hancur akibat Gempa dan Tsunami. Sumber: dokumen Pribadi

Kota Palu, kini sudah mulai bergeliat, melupakan kisah pilu tahun 2018 lalu. Meskipun trauma masih saja menyisakan berbagai kisah yang nyaris kini tak terdengar. Samar-samar dan terabaikan. 

Banyak warga kota Palu, meninggalkan kota Palu dan sampai saat ini enggan kembali. ASN yang pindah tempat tugas, warga yang tak terdengar khabar dan entah di mana sekarang.  Setidaknya itulah beberapa kisah pilu, yang semakin hari semakin samar. 

Kota Palu, utamanya di sepanjang pantai, tampak sudah berubah bentuk. Pertokoan dan beberapa hotel sudah tak nampak lagi,kecuali beberapa menyisakan gedung yang rusak dan puing-puing bangunan. 

Namun di bagian lain, Kota Palu tetap bertumbuh. Gedung-gedung baru terbangun. Perekonomian mulai berjalan, meskipun bencana pandemi, lagi-lagi membuat Kota Palu, dirundung pilu kembali. 

Jembatan yang bertahan meski gempa dan tsunami 2018. Sumber: dokumen pribadi
Jembatan yang bertahan meski gempa dan tsunami 2018. Sumber: dokumen pribadi

Baru saja ingin membangun pasca gempa dan tsunami, bencana pandemi menghadang kembali. Bencana beruntun itu memang cukup membuat perekonomian di Kota Palu terguncang. 

Akibatnya, bantuan-bantuan kemanusiaan pun terhenti. Di salah satu kawasan yang dulu paling terparah terdampak gempa dan tsunami, masih terdapat camp pengungsi. 

Ilustrasi, lokasi yang masih ditempati pengungsi antara ruang jalan dan pantai. Sumber: dokumen pribadi
Ilustrasi, lokasi yang masih ditempati pengungsi antara ruang jalan dan pantai. Sumber: dokumen pribadi
Entah sampai kapan mereka bertahan di situ. Di antara puing bangunan dan rumah pengungsian ala kadarnya yang sekilas tampak tak layak huni. 

Meski demikian, secara umum tampaknya masyarakat sudah terbiasa dengan kondisi itu. 

Meskipun banyak tempat dan lokasi masih menyisakan jejak gempa dan tsunami. Melihat keseharian masyarakat, tampaknya mereka sudah terbiasa. 

Beberapa jejak gempa dan tsunami bahkan sekarang menjadi tempat wisata. Contohnya di seputaran bekas jembatan kuning. 

Puing-puing jembatan kuning masih dibiarkan saja, belum dibangun kembali. Sumber: dokumen pribadi
Puing-puing jembatan kuning masih dibiarkan saja, belum dibangun kembali. Sumber: dokumen pribadi

Ilustrasi, di sekitar muara sungai dan jembatan kuning yang menjadi tempat wisata warga kota Palu. Sumber: dokumen Pribadi
Ilustrasi, di sekitar muara sungai dan jembatan kuning yang menjadi tempat wisata warga kota Palu. Sumber: dokumen Pribadi

Tampak masyarakat asyik duduk-duduk disitu menikmati suasana sore. Beberapa titik ada peringatan soal kehadiran buaya. 

Ilustrasi, waspada banyak buaya berkeliaran. Sumber: dokumen Pribadi
Ilustrasi, waspada banyak buaya berkeliaran. Sumber: dokumen Pribadi

Rupanya adanya buaya di seputar pantai, ruas jalan dan sungai di tengah kota, bukan isapan jempol belaka. Pasca gempa dan tsunami beberapa kasus orang digigit buaya, memang benar terjadi. 

Banyak kisah di Kota Palu pasca gempa dan tsunami. Kisah pilu namun juga kisah warga yang membangun semangat baru. 

Kota Palu memang belum seutuhnya pulih. Menurut warga setempat, butuh waktu sepuluh tahun lagi untuk mengembalikan Kota Palu kembali seperti sebelum gempa dan tsunami 2018. 

Banyak kisah tentang Kota Palu, di antara rindu dan pilu. Kesemuanya itu rasanya tak cukup dilukiskan dan dituliskan. 

Yang pasti, langit tetap biru di atas Kota Palu. Meskipun dirundung pilu, namun Kota Palu adalah gambaran kota yang memiliki banyak potensi. 

Salah satu cafe n resto, dengan lanskap di atas perbukitan yang dapat melihat pantai dan Kota Palu dari ketinggian. Sumber: dokumen pribadi.
Salah satu cafe n resto, dengan lanskap di atas perbukitan yang dapat melihat pantai dan Kota Palu dari ketinggian. Sumber: dokumen pribadi.

Potensi sumber daya mineral tambang tersebar di beberapa lokasi. Sudah pasti itu menjadi modal untuk membangun Kota Palu yang porak poranda akibat gempa dan tsunami. 

Belum lagi potensi wisatanya, baik wisata alam maupun wisata budaya, adalah potensi yang tak habis dimakan zaman. 

Kota Palu dengan lanskap pantai dan gunung tanpa batas. Sumber : Dokumen pribadi
Kota Palu dengan lanskap pantai dan gunung tanpa batas. Sumber : Dokumen pribadi

Kota Palu yang indah, seperti tiga dimensi yang menyatu antara laut, gunung dan dataran yang menyatu. Lanskap Kota Palu yang menghadirkan keindahan panoramanya. 

Meski Kota Palu, di beberapa sudutnya masih terlihat porak poranda, tapi tidak kehilangan daya magisnya untuk selalu dikunjungi orang. 

Langit biru di atas Kota Palu, bukan hanya hiasan semu. Namun menambah daya pikat Palu yang memang penuh rindu. Menepis pilu. 

Demikian. Salam hangat

***

Mas Han, Palu, 26 November 2021
***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun