Kota Palu, rindu dalam sepotong kenangan yang telah berdebu dan terlupa itu, kini terurai.Â
Kenangan tak lagi terendap, tapi melesap dalam perjumpaan pada waktu yang tak pernah terkira.
Pernah suatu ketika saya ingin sekali ke kota Palu, namun baru terlaksana tahun 2019, ketika saya sudah bekerja di Balai Arkeologi Sulawesi Utara.Â
Saat itu, kami melaksanakan sosialisasi arkeologi, sebelum ke kawasan Lore Lindu, tepatnya di Lembah Besoa untuk melaksanakan program Rumah Peradaban.
Namun saya ingin menceritakan tentang Kota Palu, saat saya berkesempatan untuk kali kedua ke sana.Â
Hari-hari ini Kota Palu kembali bergeliat, setelah duka pilu mengguncang kota itu akibat gempa dahsyat dan tsunami tahun 2018 lalu.Â
Kota kembali bercahaya, dengan kadar Kota Palu yang setia bersahaja. Pantai Talise dengan patung kudanya berwarna putih masih tetap kokoh dan berdiam diri di tempatnya.Â
Cahaya lampu, warung-warung dan tenda penjual jajanan kembali berlomba menjajakan dagangannya di tepi pantai yang sempat porak poranda, diguncang gempa. Sepi, sunyi dan lengang untuk beberapa waktu, berdiam diri pasca tsunami.Â
Kini, Kota Palu kembali menari gemulai, meski pelan dan trauma masih menyisakan pilu bagi sebagian warganya. Meski demikian, pada umumnya mereka ingin melupakan kenangan pilu itu.Â