Momentum Hari Museum Nasional, yang diperingati setiap 12 Oktober, menjadi refleksi bersama membangkitkan kesadaran tentang pentingnya menjaga pusaka budaya.Â
Refleksi ini mengingatkan saya ketika beberapa tahun lalu, saya terlibat riset bersama sahabat saya, Syahruddin Mansyur, arkeologi yang kini bekerja di Balai Arkeologi Provinsi Sulawesi Selatan.Â
Saat itu saya mendampinginya dalam sebuah riset arkeologi tentang pengembangan museum negeri.Â
Sebelum membahasnya, perlu saya sampaikan, bahwa dalam pikiran saya, museum negeri sebenarnya adalah museum yang didirikan di tingkat desa. Khususnya di Maluku, desa-desa adat disebut sebagai negeri.Â
Sederhananya seperti itu. Saya belum mau membincangkan konsep yang rumit-rumit soal museum negeri, yang di dalamnya bicara tentang  soal eco museum maupun comunity museum.Â
Konsep pengelolaan museum sebagaimana yang arkeolog sahabat saya itu pernah bahas. Saya akan menyinggungnya nanti di bagian akhir tulisan saya ini.Â
Dalam artikel ini, mula-mula saya hanya akan bahas pengalaman-pengalaman saya, menjumpai berbagai hal tentang cara pandang masyarakat terhadap pusaka budaya dan cara mereka merawat dan melestarikannya. Â
Dalam beberapa kali melakukan penelitian di lapangan, waktu itu memang di Maluku saat saya dan sahabat saya itu bekerja sebagai arkeolog di Balai Arkeologi Maluku.Â
Sebenarnya, pengembangan Museum negeri, mengingat banyak koleksi pusaka budaya yang disimpan sebagai koleksi pribadi oleh masyarakat adat di banyak negeri atau desa di Maluku.Â
Masyarakat Maluku, memang dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan adat istiadat serta budaya lokal setempat.Â
Tak heran, jika sampai hari ini, banyak negeri yang masih menyimpan koleksi pusaka budaya tinggalan leluhur yang disimpan oleh penduduk negeri sebagai pewaris tinggalan atau pusaka budaya.Â
Masyarakat negeri di Maluku sebagian besar memiliki kearifan lokal untuk melestarikan pusaka budaya warisan leluhurnya.Â
Menjadi semacam kesadaran kolektif untuk melestarikannya. Sayangnya, kesadaran itu tidak disertai upaya pewarisan dan penyadaran pada generasi-generasi muda.Â
Pada umumnya, kesadaran melestarikan pusaka budaya, hanya ada pada generasi tua atau tetua adat. Ada semacam kekhawatiran jika tetua adat sudah tidak ada lagi, pusaka budaya yang disimpan di rumah-rumah penduduk akan hilang dan tak meninggalkan jejak. Entah karena rusak, terjual ataupun terbuang.Â
Pengalaman di lapangan, banyak koleksi pusaka budaya di penduduk, semakin hari semakin tergerus zaman. Terancam rusak dan hancur dimakan waktu.Â
Di beberapa negeri, ada koleksi-koleksi pusaka budaya yang tersimpan di rumah adat. Menjadi semacam kepemilikan kolektif oleh penduduk.Â
Rumah adat juga menjadi semacam museum negeri. Contoh ini misalnya ada di Rumah Pusaka Marga Manilet di Negeri/Desa Morella, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah.Â
Di dalam Rumah Pusaka Marga Manilet itu, terdapat koleksi penduduk seperti naskah-naskah kuno dan juga beberapa artefak pusaka negeri warisan leluhur.Â
Sayang sekali, karena alasan pendanaan, rumah pusaka itu seperti tak terawat, juga terdapat kerusakan disana sini. Demikian juga dengan koleksi-koleksi pusaka budayanya.Â
Kesadaran penduduk untuk melestarikan warisan leluhur, perlu diapresiasi, sayangnya tak cukup dukungan dari sisi kebijakan dan pendanaan, juga kesadaran itupun tidak membangkitkan kesadaran kolektif penduduk lainnya untuk berperan di dalamnya.Â
Nasib lebih beruntung misalnya koleksi pusaka budaya di Negeri/Desa Kaitetu, Kecamatan Leihitu. Koleksi naskah-naskah kunonya sebagian sudah didigitalisasi oleh Perpustakaan Nasional.Â
Selain itu, menurut pengakuan Husein Hatuwe, pemilik koleksi pusaka budaya, ia pernah mendapat bantuan untuk alat penyimpanan koleksi warisan leluhurnya, meskipun masih jauh dari memadai.Â
Di Negeri/Desa Haria, terdapat rumah Kapitan Pattimura, Pahlawan Nasional yang kini dikelola oleh keturunannya. Rumah pusaka itu juga digunakan sebagai Museum Pattimura. Salah satu koleksi yang penting adalah peralatan yang digunakan oleh Kapitan Pattimura yakni pakaian dan parang (pedang). Selain itu juga terdapat meja tua nan antik dari bahan marmer dan kayu.
Berdasarkan pengalaman riset selama di Maluku, memang dapat dijumpai di desa-desa adat yang disebut negeri banyak terdapat rumah-rumah pusaka, yang digunakan sebagai tempat menyimpan pusaka budaya peninggalan atau warisan leluhur negeri.Â
Kembali soal riset tentang pengembangan Museum Negeri, ini dimaksudkan untuk melihat peluang secara regulasi dan institusi lahirnya museum-museum di tingkat desa atau negeri.Â
Secara regulatif, keberadaan museum di tingkat desa yang dikelola dengan manajemen yang lebih baik oleh pemerintah desa atau negeri, setidaknya lebih bisa menjamin keberadaan museum dan koleksi-koleksi pusaka negeri.Â
Keberadaan museum negeri, sebenarnya untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat adat di tingkat desa atau negeri. Hal ini karena, khususnya di Maluku basis tentang adat dan tradisi ada di desa-desa adat atau negeri.Â
Acapkali karena soal hak kultur dan historis, masyarakat adat menginginkan pusaka negeri tidak keluar dari wilayah adatnya.Â
Itu makanya, sebagian masyarkat lebih memilih menyimpan pusaka warisan leluhurnya di rumah-rumah adat, bukan di museum baik di kabupaten maupun provinsi.Â
Kepentingan seperti itu sangat beralasan. Namun sayangnya kondisi ini belum dibarengi oleh instrumen dan regulasi yang memadai.Â
Rumah-rumah pusaka yang ada di beberapa desa atau negeri, semuanya berhubungan soal adat dan tradisi juga kearifan lokal.Â
Sehingga kesadaran menyimpan koleksi pusaka budaya warisan leluhur, lebih didorong karena ingin melestarikan budaya dan juga identitasnya.Â
Saya membayangkan jika setiap penduduk desa memiliki kesadaran menjaga pusaka budaya, berapa banyak artefak-artefak warisan leluhur yang bisa di selamatkan.Â
Hari Museum Nasional ini menjadi momentum yang refleksif tentang kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga, merawat dan melestarikan pusaka budaya warisan leluhur.Â
Memang, kita tidak harus bergantung dari pemerintah untuk merawat dan melestarikan pusaka budaya melalui museum-museum yang dikelola pemerintah, baik di tingkat kabupaten hingga provinsi, atau bahkan tingkat nasional.Â
Museum-museum seperti rumah-rumah pusaka marga di negeri-negeri adat seperti di Maluku, sebenarnya sangat penting perannya dalam merawat dan melestarikan pusaka budaya.Â
Meski demikian, sampai hari ini tampaknya kesadaran itu masih sebatas ada pada pikiran dan tindakan para tetua adat. Meski tidak sedikit juga kaum muda millenial di beberapa negeri di Maluku juga peduli.Â
Namun, konsep museum negeri sebagaimana yang saya ceritakan di awal, tentu tidak seperti halnya rumah-rumah adat yang menyimpan koleksi pusaka warisan leluhur.Â
Hal ini, rumah-rumah adat meskipun menyimpan koleksi pusaka budaya warisan leluhur, namun masih sebatas kesadaran personal kalau kolektif lebih pada kesadaran kelompok-kelompok marga menjaga identitasnya.Â
Konsep museum negeri, lebih menyeluruh. Ia hadir atau dihadirkan sebagai bagian dari tradisi dan adat itu sendiri. Juga tidak hanya sekedar tentang menyimpan koleksi pusaka budaya yang dimiliki secara individu.Â
Hadirnya museum negeri, dimungkinkan mewakili perwajahan tradisi dan budaya masyarakat lokal secara keseluruhan di setiap negeri.Â
Pengelolaannya diarahkan untuk lahirnya museum di setiap negeri atau desa adat yang merepresentasikan kekayaan historis dan kultural yang mewakili desa-desa adat tersebut.Â
Dalam kacamata arkeolog sahabat saya Syahruddin Mansyur itu, museum negeri merupakan upaya merawat dan melestarikan memori kolektif masyarakat.Â
Melalui museum negeri, semacam upaya melahirkan museologi baru sebagai paradigma baru pengelolaan museum.Â
Katanya, paradigma baru itu menjadi semacam "kontainaer" yang mengakomodasi pikiran-pikiran dan kebutuhan masyarakat, sehingga peran museum memang menjadi upaya pelestarian memori kolektif dan penguat identitas masyarakat.Â
PIkiran itu tentu saja bersifat konseptual, bahwa lahirnya museum negeri sebagaimana rumah-rumah pusaka marga yang ada di beberapa negeri adat di Maluku. Ia menjadi semacam kesadaran sekaligus kebutuhan dalam pengakuan dan penguatan identitasnya.
Namun, jika rumah-rumah pusaka marga lebih merepresentasikan identitas marga, maka museum negeri secara menyeluruh menjadi upaya penguatan identitas masyarakat adat di setiap negeri.Â
Dalam museum negeri, maka paradigma museologi baru digunakan. Sebaliknya dalam paradigma museologi baru, maka menghadirkan museum negeri merupakan cara pandang yang kontekstual saat ini.Â
Melibatkan peran serta masyarakat, pikiran-pikiran dan kebutuhan masyarakat terhadap penguatan identitas budayanya, juga sekaligus mengakomodasi memori kolektif masyarakat adat.Â
Dalam pandangan itu maka, museum negeri dikelola dengan cara pandang sebagai eco museum maupun comunity museum. Â
Konsep pengelolaan demikian memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Bukan hanya dalam soal teknis pengelolaan saja.Â
Dalam hal ini juga dalam menentukan pusaka budaya yang mana yang dapat merepresentasikan memori kolektif  tentang sejarah dan kebudayaan ataupun jati dirinya.
Melalui museum negeri dengan konsep pengelolaan comunity museum, juga tidak terbatas pada bentuk penyajian sebagai bangunan fisik, museum negeri juga bisa meliputi lokasi di mana saja pada wilayah budaya tertentu. Â
Pada prinsipnya, masyarakat dapat tampil sebagai pengelola museum, yang dapat bermitra dengan para profesional.Â
Museum negeri juga bersifat inklusif, terbuka untuk mengakomodasi peran serta dan kepentingan masyarakat. Â Dan menampilkan museum menjadi agen perubahan untuk meningkat kualitas hidup masyarakat.Â
Jadi untuk membangkitkan kesadaran tentang pentingnya menjaga pusaka budaya, membangkitkan kecintaan terhadap museum di seluruh Indonesia. Harus tumbuh dari bawah. Harus tumbuh dari masyarakatnya, yang sebenarnya pemilik hak historis dan kulturalnya.Â
Museum Nasional adalah representasi rumah bagi pusaka-pusaka budaya di seluruh negeri di Nusantara. Namun museum negeri penting dihidupkan untuk menjaga dan melestarikan memori kolektif masyarakat terhadap sejarah dan kebudayaannya.Â
Demikian. Salam Museum...Salam Budaya...Salam Lestari.Â
Salam hormat.Â
Mas Han. Manado, 16 Oktober 2021
***
Bacaan :
Mansyur, Syahruddin, 2010 Museum Negeri : Sebuah Upaya Melestarikan Memori Kolektif. Kapata Arkeologi. Volume 6 Nomor 11. Balai Arkeologi Ambon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H