Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis dengan Empati, Membaca dengan Hati

17 Agustus 2021   22:53 Diperbarui: 18 Agustus 2021   01:39 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini di Kompasiana seperti menjadi ajang debat ego. Masing-masing mempertahankan kebenaran dengan cara pandangnya sendiri-sendiri, dan tergiring kepada ego intelektualnya sendiri saja. 

Tidak salah. Sama sekali tidak salah. Dengan kecerdasannya, masing-masing Kompasianer punya cara pandang sendiri dalam melihat kebenaran. 

Tidak ada kebenaran absolut di dunia ini, semua tergantung bagaimana kita melihat kebenaran itu sendiri.Apa yang kita pikirkan, kita tulis. Benar, semua pikiran kalau kita tuangkan ke dalam tulisan bisa mengubah dunia. 

Tapi tentu kita harus pikirkan, bahwa menulis itu untuk mencerahkan, menenangkan dan seperti obat terapi. Menulis tidak hanya memerlukan kecerdasan intelektual, atau bahasa lainnya, otak saja. Tapi menulis juga butuh komitmen, butuh kejernihan hati. 

Saya pernah menuliskan di artikel K sebelumnya,  karena kita ingin mengabarkan kepada dunia, apa yang kita alami, kita rasakan, kita lihat dan kita pikirkan. Atau kita berpikir dunia harus tahu apa yang kita lihat, kita alami dan kita pikirkan. Pengalaman itu, akan melahirkan kepekaan atau sense.  

Tulisan yang baik adalah tulisan yang mampu menggugah, menginspirasi dan juga mengajak pembaca untuk memahami lingkungan dan kondisi di luar dirinya. Oleh karenanya menulis juga memerlukan empati. Menulis karena ada dorongan kepekaan. 

Ada sense of humanism di dalamnya. Menulis, apapun topik, tema, subyek dan obyeknya, selalu saja tidak bisa lepas dari topik kemanusiaan. Karena semua yang kita tulis, tidak bebas nilai. 

Selalu ada value, nilai dan norma terkait eksistensi manusia. Coba, sebut satu saja topik tulisan yang tidak terkait soal kemanusiaan. Satu saja. Ada? 

Bahkan menulis yang paling binatang sekalipun, ada nilai kemanusiaan terkait di dalamnya. Kenapa, karena selalu saja, manusialah obyek dan subyek di setiap topik kehidupan. 

Seseorang menulis tentang banjir misalnya, karena ada kepekaan, ada empati, merasakan keprihatinan tentang penderitaan yang dirasakan para korban banjir. Itu salah satu contoh kecil saja.

Sebaliknya sebagai pembaca, kita tidak selalu menalar teks dengan nalar saja. Namun juga perlu kejernihan hati.

Sehingga pesan yang disampaikan penulis, selalu dikonstruksikan dalam porsi yang pas dan baik. Kita menilai suatu tulisan juga tidak sepihak, karena nalar dan hati yang jernih. 

Apakah salah jika melakukan penilaian atas tulisan orang lain secara sepihak? Ya, tentu tidak salah. Sepihak, dalam pengertian cara pandang kita sendiri, tentu saja itu sesuatu yang mengalir dan inheren. 

Tetapi membaca itu proses yang given. Kita memberi penerjemahan, sehingga tentu ada subyektifitas. Kadangkala juga bias, bilamana melihat atau menerjemahkan tulisan tanpa proses yang take, hanya memberikan penafsiran dari sudut pandang kita sendiri saja. 

Tanpa berusaha memposisikan diri kita sebagai diri atau subyek yang menulis. Kita perlu mengambil posisi, sebagai penulis itu sendiri.  Jadi membaca itu juga perlu proses take  dan given. 

Semua hal diluar diri kita tidak bebas nilai dan tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, kita bisa menulis apapun yang kita inginkan. Namun, bukankah menulis untuk dibaca orang? Artinya ada target dan sasaran yang kita inginkan, juga tujuan. 

Nah, karenanya menulislah dengan sense, kepekaan dan empati. Karena apa yang kita tulis, bersingguhan dengan orang lain, dengan lingkungan di luar diri kita. 

Se-merdeka apapun kita menulis, sekali lagi tidak bebas nilai. Ada nilai-nilai yang orang lain, pikirkan dan menjadi bagian yang take dan given juga bagi orang lain. 

Begitu juga ketika kita membaca. Membaca dengan kejernihan hati, akan menimbulkan pula empati. Kita memasuki wilayah yang bukan hanya ada di kesadaran kita sendiri. 

Namun juga kesadaran orang lain, yaitu penulis. Jadi, ketika kita membaca sebuah tulisan, kita tidak hanya menjadi diri kita sendiri, namun mengalami diri sebagai penulis. Demikianlah yang saya maksud dengan membaca dengan hati. 

Sebenarnya dalam perkara menulis dan membaca antara penulis dan pembaca adalah dua subyek yang saling take dan given. Lagi-lagi saya tekankan soal ini, karena tidak ada yang bebas nilai di luar diri kita, semuanya saling bersinggungan dan pengaruh mempengaruhi. 

Menulis, harus memahami topik dan sasaran yang ingin kita targetkan sebagai pembaca kita. Selalu ada message, ada pesan yang ingin kita sampaikan. 

Penulis seperti halnya komunikator, atau messager, yang ingin menyampaikan pesan dari apa yang kita tulis. Oleh karenanya, ketika menulis, maka penulis juga harus memahami, suasana batin pembaca. 

Demikian pula pembaca, tentu memaknai, memahami ataupun menerjemahkan tulisan yang kita baca, tidak hanya sebagai diri kita sendiri sebagai pembaca. 

Namun juga kadangkala memposisikan diri sebagai penulis, agar lebih memahami maksud dari tulisan itu, dalam kacamata atau sudut pandang yang lebih dialogis. 

Saya akan contohkan tulisan saya dan tulisan Prof Felix. Saya menulis  tentang kerja sampingan menulis bagi peneliti. 

Sementara Prof Felix, menanggapi tulisan saya dengan menuliskan artikel berjudul "Menulis Itu Puncak Kerja Penelitian". 

Saya akan bedah sedikit, bagaimana menulis dengan empati dan membaca dengan hati. 

Pertama, saya akan mewakili diri saya sendiri, yang menulis tentang tuntutan peneliti untuk menulis. 

Dalam unggahan itu saya sampaikan, bahwa sebagai peneliti, menulis adalah kerja sampingan. Saya katakan menulis sebagai sampingan karena sadar, betapa beratnya menulis ilmiah bagi sebagian peneliti. 

Sebenarnya, tanpa menyebut wajibpun, peneliti sudah paham, tanpa menulis, maka mereka belum selesai melakukan penelitian. Itu kata kunci yang final sebenarnya. 

Saya menuliskan, bahwa pekerjaan sebuah penelitian, belum selesai jika kita belum mempublikasikannya. 

Mempublikasikan sebuah hasil penelitian adalah salah satunya, dan justru yang utama bagi karir peneliti adalah mempublikasikannya dalam karya tulis ilmiah. 

Meskipun begitu, memang kuat sekali pesan yang tersampaikan adalah bahwa menulis adalah kerja sampingan peneliti. Kesan itupun yang kemudian dikritik oleh Prof. Felix.

Ketika membaca tulisan saya, Prof. Felix membacanya dengan hati. Beliau tidak menekankan atau menggiring bahwa apa yang saya tulis semata-mata tulisan yang salah, keliru, apalagi dangkal.  

Beliau katakan, bahwa jika merujuk pada kredo publish or perish, publikasi atau lenyap, maka penulisan -- dalam arti publikasi -- adalah puncak kerja penelitian. 

Namun, di satu sisi juga dikatakannya, bisa disebut menulis sebagai kerja sampingan bagi peneliti misalnya adalah penulisan populer. 

Dengan demikian, dengan hati Prof Felix, membesarkan hati saya, tidak sebaliknya mendangkalkannya. 

Saya tidak akan berpanjang lebar silakan baca sendiri dua artikel yang saling menguatkan itu. 

Menulis dengan empati dan membaca dengan hati, nilainya menyemangati, tanpa perlu interupsi, apalagi menyebabkan ketersinggungan hati. 

Baca : 
a. Keuntungan Berlipat Ganda, Menulis sebagai Kerja sampingan Peneliti (Mas Han)
b. Menulis Sebagai Puncak kerja Penelitian (Felix Tani)

Prof Felix, membaca artikel saya, dengan hati, sehingga tanggapan atas tulisan saya, tidak menafikan dan mendangkalkan cara berpikir saya. 

Oleh karenya, ketika posisi beliau sebagai penulis, menulis tanggapan terhadap artikel saya, rasa empatinya ditunjukkan. 

Tulisannya itu meskipun memberi kritik pada beberapa narasi yang saya tuliskan, namun sesungguhnya secara keseluruhan justru saling menguatkan sudut pandang masing-masing. Tak ada debat kusir, apalagi debat kuda. 

Tanpa saya harus menegaskan, menulis adalah wajib. Karena, secara keseluruhan isi tulisan saya soal itu, sebenarnya menekankan bahwa menulis adalah kewajiban peneliti.

Dalam kasus dua tulisan itu, saya dan Prof Felix, berperan ganda, sebagai penulis dan pembaca sekaligus. Saya menjadi penulis yang ditanggapi Prof Felix sebagai pembaca tulisan saya. 

Sebaliknya saya juga menjadi pembaca dari tulisan Prof Felix yang menanggapi tulisan saya sebelumnya.

Secara keseluruhan, dua artikel dari saya maupun dari Prof Felix, sebenarnya menunjukkan bahwa perdebatan soal karya tulis di K, tidak perlu menjadi perdebatan sengit, yang menunjukkan ego intelektual masing-masing.

Justru dengan hati dan empati, akan lebih mencerahkan dan menyemangati. Lihat saja, komentar saya dan komentar Prof Felix di masing-masing artikel kami. 

Sepertinya lebih santun dan mencerahkan. Dan pada titik itu, kadangkala kesemuanya terasa lebih proporsional, pas dimana memang harus ditempatkan. 

Demikian, semoga bermanfaat.  

Salam Hormat. 

Mas Han. Manado, 17 Agustus, 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun