Menulis, harus memahami topik dan sasaran yang ingin kita targetkan sebagai pembaca kita. Selalu ada message, ada pesan yang ingin kita sampaikan.Â
Penulis seperti halnya komunikator, atau messager, yang ingin menyampaikan pesan dari apa yang kita tulis. Oleh karenanya, ketika menulis, maka penulis juga harus memahami, suasana batin pembaca.Â
Demikian pula pembaca, tentu memaknai, memahami ataupun menerjemahkan tulisan yang kita baca, tidak hanya sebagai diri kita sendiri sebagai pembaca.Â
Namun juga kadangkala memposisikan diri sebagai penulis, agar lebih memahami maksud dari tulisan itu, dalam kacamata atau sudut pandang yang lebih dialogis.Â
Saya akan contohkan tulisan saya dan tulisan Prof Felix. Saya menulis  tentang kerja sampingan menulis bagi peneliti.Â
Sementara Prof Felix, menanggapi tulisan saya dengan menuliskan artikel berjudul "Menulis Itu Puncak Kerja Penelitian".Â
Saya akan bedah sedikit, bagaimana menulis dengan empati dan membaca dengan hati.Â
Pertama, saya akan mewakili diri saya sendiri, yang menulis tentang tuntutan peneliti untuk menulis.Â
Dalam unggahan itu saya sampaikan, bahwa sebagai peneliti, menulis adalah kerja sampingan. Saya katakan menulis sebagai sampingan karena sadar, betapa beratnya menulis ilmiah bagi sebagian peneliti.Â
Sebenarnya, tanpa menyebut wajibpun, peneliti sudah paham, tanpa menulis, maka mereka belum selesai melakukan penelitian. Itu kata kunci yang final sebenarnya.Â
Saya menuliskan, bahwa pekerjaan sebuah penelitian, belum selesai jika kita belum mempublikasikannya.Â