Hiruk pikuk baliho politisi adalah tanda dimulainya perang simbol dan identitas para politisi.
Amati di depan sahabat semua, jejeran baliho politisi yang terpampang besar dan lebar. Apa yang sahabat lihat dan pikirkan tentang itu?Â
Saya melihatnya seperti sebuah tanda atau simbol tentang identitas seseorang di sana. Identitas siapa dan mengapa dirinya terpampang di baliho-baliho besar itu.Â
Baliho politisi, itu sebenarnya dengan sendirinya mengungkapkan tentang jati dirinya. Itu kalimat sederhana dari frase kata bahasa politisi.Â
Tapi, lebih jauh soal itu, bagaimana seseorang yang terpasang gambarnya di baliho itu, ingin menerangkan soal jati dirinya. Baliho hanyalah media menerakan simbol dan identitasnya.Â
Kadangkala simbol-simbol itu ditata sedemikian rupa, menjadi tanda atau yang menandai. Bahasa ilmiahnya, ada semiotika di sana. Semiotika, adalah ilmu tentang tanda atau yang menandai.Â
Baliho adalah benda, dan apa yang dituliskan dalam baliho, baik itu slogan, ajakan, atau bahasa apapun, kita sebut saja teks.Â
Nah, baliho dan teks itu kita terjemahkan saja sebagai benda budaya. Ada bahasa benda di situ yang kita bisa tafsirkan, atau kita interpretasikan.Â
Dalam bahasa arkeologi, baliho tanpa teks itu saja sudah mengandung teks, jika kita terjemahkan dan hasil penerjemahan itu bisa kita tuliskan sebagai hasil menginterpretasikan benda budaya itu sendiri.Â
Dalam arkeologi hal ini disebut arkeologi semiotika atau arkeologi simbol, sebagaimana yang banyak ditulis oleh Ian Hodder, arkeolog berkebangsaan Inggris, dalam berbagai buku teks arkeologi simbol.
Dan dalam bahasa ini termasuk dalam heurmenetika. Ilmu yang menerjemahkan teks dan tanda sebagai teks.Â
Jadi arkeologi mengadopsi metodologi bahasa atau linguistik untuk menerjemahkan atau bahasa benda.Â
Artefak atau budaya benda itu bisu, tapi jujur mengatakan siapa dirinya. Begitulah keyakinan arkeologi dalam memahami bahasa benda.Â
Jadi biar lebih jelas, semiotika itu ilmu yang mempelajari tentang tanda dan simbol, maka heurmenetika itu metode untuk menerjemahkan teks dan tanda sebagai teks.Â
Baik, saya tidak akan berpanjang lebar soal teori-teori heurmenetika dan semiotika. Yang ingin saya ulas kali ini adalah tentang interpretasi terhadap baliho politisi dalam kacamata budaya benda.Â
Sekali lagi di dalam baliho itu ada benda dan juga ada teks. Keduanya bisa diterjemahkan dalam satu kategori yang sama, bahasa benda.Â
Dalam arkeologi semiotika, benda itu bisa diterjemahkan sebagai teks yang bisa kita baca, kita terjemahkan.Â
Jadi baliho politisi itu bisa disebut bahasa benda, yang bisa kita terjemahkan atau kita tafsirkan (interpretasi).Â
Baliho politisi, dalam kacamata arkeologi itu kita kategorikan sebagai benda atau artefak yang memiliki style atau gaya. Gaya atau style dari artefak inilah yang menjadi syarat arkeologi semiotika dapat bekerja.Â
Masih rumit ya? Saya coba sederhanakan saja, begini. Baliho politisi itu artefak, budaya benda. Dalam kajian semiotika, benda itu bisa diterjemahkan sebagai teks yang kita baca dan kita terjemahkan.Â
Ada tanda dan makna di baliho yang bisa kita baca dan kita terjemahkan. Apa yang ditandai dari sebuah baliho politisi?Â
Sudah pasti identitas politisi yang gambarnya terpampang di situ. Jadi baliho politisi itu simbol identitas.Â
Dalam arkeologi semiotika, baliho politisi itu sebagai tanda sekaligus simbol identitas politisi, dari situ kita terjemahkan, siapa dan bagaimana figur yang dipajang di baliho itu.Â
Bukan hanya siapa orangnya, sudah jelas orangnya kita liat di baliho, tapi pesan apa yang ingin disampaikan.Â
Itulah yang kita terjemahkan dari baliho, sebagai benda budaya yang memajang bahasa benda di dalamnya.Â
Hampir samalah, misalnya kalau kita lihat papan reklame atau papan billboard yang mengiklankan produk tertentu, "Pakailah Cap Lang Untuk Meredakan Nyeri Otot".Â
Contohnya begitu, teksnya sudah bisa kita terjemahkan, bahwa itu iklan produk minyak angin tertentu, bukan? Apalagi di iklan itu, kita bisa melihat simbol cap elang dipajang pula.Â
Sama halnya pula, dengan baliho politisi. Simbol-simbol identitas, pasti ada di dalamnya. Seberapa banyak pengungkapan identitas yang dapat kita lihat.Â
Tergantung seberapa luas pula kita mampu menerjemahkan bahasa benda itu dalam mengungkapkan identitas dari yang terpasang di baliho itu.Â
Jadi bagaimana identitas dari seseorang yang terpampang di baliho, dapat dilihat bagaimana bentuk dan style baliho yang dapat kita liat dan kita terjemahkan.Â
Nah, di posisi baliho sendiri, ada dua elemen yang terlibat, yaitu pembuat baliho dan 'produk' yang diiklankan di baliho.Â
Jadi sebenarnya, apa yang dapat dilihat dari baliho adalah cerminan dari si pembuat baliho maupun wajah yang terpampang pada baliho itu sendiri. Ada identitas yang dapat dikenali atau ditandai di sana.Â
Semiotika bekerja pada soal-soal itu. Lebih luas lagi, baliho politisi dengan sendirinya juga memperlihatkan gesture politik yang terpampang di sana.Â
Jadi kemasan baliho adalah tanda dan simbol dari identitas pemilik baliho atau yang diwakili dari wajah yang terpasang di Baliho.Â
Sementara kita abaikan si pembuat baliho, karena si pembuat mengerjakan yang dipesankan oleh pemilik baliho itu, tentu saja.Â
Yang pasti pada wujud material budaya, baliho ada ekspresi yang ditunjukkan sebagai tanda dan simbol yang saling menandai.Â
Sebagai contoh warna dasar merah, biru, kuning dan sebagainya, jelas menunjukkan simbol yang menandai ekspresi dan juga identitas pemilik baliho.Â
Pesan itu, harus sampai kepada pembaca atau orang yang melihat baliho. Bahasa gambar atau bahasa benda yang diwakili oleh baliho yang terpasang, menunjukkan identitas pemiliknya. Identitas itu terwakili oleh tanda dan simbol.Â
William Raymon (1977) mengemukakan tujuh cara yang dipergunakan untuk memasukkan identitas sosial ke dalam sebuah pemaknaan. Ketujuh langkah tersebut, sebagai berikut.Â
Pertama, ideologi disembunyikan lewat propaganda yang bisa dilihat melalui teks baliho. Teks dianggap bisa sama dengan risalah agama, mantera, atau mitos.Â
Kedua, ideologi ditingkatkan dari propaganda dengan bermaksud membujuk dan memengaruhi masyarakatnya.Â
Ketiga, dengan cara mempertentangkan para tokoh yang disimbolkan dalam baliho. Â
Keempat, ideologi dianggap sebagai common sense. Kelima, ideologi tidak tampak secara kasat mata melainkan disembunyikan melalui tanda dan simbol.Â
Keenam, ideologi larut dalam teks sehingga dianggap sebagai dunia yang berdiri bebas.Â
Ketujuh, ideologi kokoh dipertahankan sehingga secara tak sadar tampak dalam wujud superstruktur.
Jadi, pada baliho, kita akan melihat dengan jelas identitas si pemilik baliho, maksudnya orang atau tokoh yang dipampang di baliho.Â
Jadi baliho-baliho yang berserak di jalan-jalan itu sebenarnya menandai adanya perang simbol dan identitas. Padahal masa kampanye saja masih jauh.Â
Bagaimana pesan tentang identitas itu sampai ke publik, tergantung bagaimana pemilik baliho memberikan tanda dan simbol yang bisa diterjemahkan publik.Â
Perang simbol sudah dimulai. Tapi apakah tanda dan identitas bisa dipahami? Publik mempertanyakan, apa gerangan pesan apa yang hendak disampaikan, lalu dimaknakan.
Kadang kala identitas menjadi kabur, karena tak terwakili oleh simbol-simbol pada baliho sebagai bahasa benda.Â
Teks mengaburkan makna, karena simbol hanyalah kamuflase atau meng-kamuflase-kan identitas.
Tujuannya apa? Tak lebih dan tak kurang, karena euforia. Euforia untuk mengkampanyekan dirinya, melebihi identitas sebenarnya.Â
Contoh, saya adalah arkeolog yang belajar menulis fiksi. Demi membangun identitas yang bisa untuk membangun citra diri, lebih dari identitasnya, saya buat seolah-olah saya pujangga ternama.Â
Begitulah saya membaca baliho dalam kacamata bahasa benda. Semiotika bisa menggiring penafsiran, melebihi tanda dan simbol yang di-tera-kan.
Namun sebaliknya, tanda dan simbol bisa menghasilkan terjemahan melebihi teks yang dimaksudkan.Â
Kacamata sebagai penerima atau pengguna, menentukan pembacaan atau penerjemahan terhadap, simbol, tanda dan identitas.Â
Akhirnya, butuh bijaksana dalam membaca tanda dan simbol untuk memahami identitas.
Demikian, semoga bermanfaat.Â
Salam hormat.
Mas Han. Manado, 20 Agustus 2021
Sekelumit rujukan: William, Raymond. 1977. Marxism and Literature. Oxford dan New York: Oxford.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H