Keempat, ideologi dianggap sebagai common sense. Kelima, ideologi tidak tampak secara kasat mata melainkan disembunyikan melalui tanda dan simbol.Â
Keenam, ideologi larut dalam teks sehingga dianggap sebagai dunia yang berdiri bebas.Â
Ketujuh, ideologi kokoh dipertahankan sehingga secara tak sadar tampak dalam wujud superstruktur.
Jadi, pada baliho, kita akan melihat dengan jelas identitas si pemilik baliho, maksudnya orang atau tokoh yang dipampang di baliho.Â
Jadi baliho-baliho yang berserak di jalan-jalan itu sebenarnya menandai adanya perang simbol dan identitas. Padahal masa kampanye saja masih jauh.Â
Bagaimana pesan tentang identitas itu sampai ke publik, tergantung bagaimana pemilik baliho memberikan tanda dan simbol yang bisa diterjemahkan publik.Â
Perang simbol sudah dimulai. Tapi apakah tanda dan identitas bisa dipahami? Publik mempertanyakan, apa gerangan pesan apa yang hendak disampaikan, lalu dimaknakan.
Kadang kala identitas menjadi kabur, karena tak terwakili oleh simbol-simbol pada baliho sebagai bahasa benda.Â
Teks mengaburkan makna, karena simbol hanyalah kamuflase atau meng-kamuflase-kan identitas.
Tujuannya apa? Tak lebih dan tak kurang, karena euforia. Euforia untuk mengkampanyekan dirinya, melebihi identitas sebenarnya.Â
Contoh, saya adalah arkeolog yang belajar menulis fiksi. Demi membangun identitas yang bisa untuk membangun citra diri, lebih dari identitasnya, saya buat seolah-olah saya pujangga ternama.Â