Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catur Daya dan Rasa yang Memperkaya Karya

29 Mei 2021   20:55 Diperbarui: 12 Juni 2021   22:12 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Catur Daya dan Rasa Yang Memperkaya Karya. Sumber: Pixabay

Bekerja dengan rasa cinta, berarti menyatukan diri dengan diri kalian sendiri, dengan diri orang lain dan kepada Tuhan. Tapi bagaimanakah bekerja dengan rasa cinta itu? Bekerja dengan cinta bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan memakainya kelak

(Khalil Gibran)

Rasa, sudah jelas bagian dari karya, sebagaimana juga seorang pujangga termasyur dunia, Khalil Gibran dari untaian kata puitisnya pernah mengatakan sebagaimana halnya yang saya kutip di atas. 

Namun, rasa bagian kecil saja dari proses berkarya. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, sudah memperkenalkan tiga konsep falsafah hidup yang dikenal dengan Tridaya, yaitu Cipta, Rasa, dan Karsa. Tridaya juga dikenal sebagai Trisakti Jiwa pendidikan. 

Tiga kekuatan karakter pendidikan yakni yang terdiri dari: (1) pikiran dan imajinasi atau juga dikenal dengan cipta, (2) rasa/perasaan, dan (3) kehendak atau karsa. Ketiganya dikenal dengan istilah Tri Sakti Jiwa. 

Dari tiga kekuatan atau kesaktian jiwa itulah, muaranya akan menghasilkan apa yang disebut sebagai karya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karya, dapat diartikan sebagai hasil sebuah usaha, upaya, perbuatan atau ciptaan. 

Jadi karya lahir dari pikiran dan imajinasi atau cipta, rasa atau perasaan dan juga karsa atau kehendak. Sesungguhnya karya sebenarnya tidak hanya lahir dari rasa atau perasaan saja, tetapi juga pikiran dan kehendak.  Jadi bisa dibilang, cipta, rasa, karsa dan karya tidak bisa dipisahkan, dan saya sebut sebagai catur daya. 

Ya, rasa itu berhubungan dengan cinta. Jadi sebuah karya hanya bisa dihasilkan jika ada rasa cinta. Bagi saya pribadi, karya tidak akan dihasilkan jika ada rasa kegalauan, jika ada kebencian, jika ada nestapa, jika ada derita dalam batin kita.

Sebab karya yang dihasilkan dari sebuah derita, nestapa, benci dan kegalauan batin, tidak bisa disebut karya. Ia hanyalah ungkapan rasa, yang jauh dari makna karya, yakni hasil sebuah upaya, usaha atau ciptaan yang lahir karena pikiran, perasaaan dan kehendak. 

Tetapi bukan berarti segala rasa dari kegalauan, derita, nestapa berhenti begitu saja, hanya sampai di titik derita. Ia akan menjadi rasa untuk menghasilkan karya, jika telah diolah atau dikelola. 

Oleh karena itu mengolah atau mengelola rasa, adalah juga kehendak mengelola keputusasaan menjadi cita-cita,  rasa yang negatif menjadi positif. Dari sinilah sebuah karya baru bisa mengalir. 

Konsep ini sesuai pula pemahaman filosofi kehendak dari seorang filsuf Nietzche. Menurutnya kehendak itu tidak hanya keinginan atau kemauan yang sangat besar, melainkan lebih dari itu, juga ada tindakan, usaha yang sangat keras atau aktif dan bebas, atau tidak terikat oleh sesuatu. 

Dengan kehendak, setiap individu akan tergugah jiwanya atau menjadi bersemangat untuk mewujudkan cita-cita. Dalam pandangan Nietzche itu sesungguhnya, setiap orang memiliki energi untuk menjadi "pencipta". Hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Demikian Nietzche. 

Hmmm...menurut saya, rasa itu hanya bagian kecil dari usaha melahirkan karya. Karya tanpa rasa, juga seperti kering dan garing. Karya apa saja, apalagi sebuah karya tulis. Rasa mewakili sense, kepekaan kita menangkap fenomena. 

Karya yang lahir dari sebuah pikiran, rasa dan kehendak (tridaya, trisakti jiwa) adalah sebuah kemanunggalan penciptaan dari energi positif manusia. Jadi catur daya (cipta, rasa, karsa dan karya) adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam sebuah proses penciptaan dari manusia. 

Ada sisi logis dan rasional, ada kepekaan dan empati, juga ada energi berkemauan atau berkehendak, yang mendorong semua proses itu mengalir dan melahirkan sebuah karya, hasil sebuah pikiran, rasa dan kehendak. Karya yang lahir dari tridaya itu, menjadi karya yang orisinal dan agung pada ruang dan waktu. 

Rasa, itupun sebuah energi jika diolah atau dikelola. Ia tak lekang dimakan usia, tak pudar didera hujan badai. Rasa, adalah mewakili perasaan yang hakiki manusia, bersifat humanis dan puncak dari segala etika. Rasa, bisa jadi menjadi landasan etis sebuah karya. Itu menurut saya ya. 

Rasa adalah potensi energi yang tersimpan rapi dalam diri manusia. Ia akan menjadi kekuatan dasyat untuk menghasilkan karya. Namun, rasa harus dikelola, dibarengi pula dengan mengelola pikiran, dan juga kehendak.

Oleh karena itu, bagaimanapun kuatnya energi rasa, ia tak bisa berdiri sendiri, paling tidak salah unsur tridaya atau trisakti jiwa lainnya harus ada. Jadi mengelola rasa itu adalah seni mengubah semua hal yang negatif menjadi positif. 

Mengubah energi negatif menjadi positif. Sebuah puisi tentang luka, duka, derita, nestapa, jika itu mewakili rasa penyairnya, maka karya puisi itu akan menjadi hidup jika penyairnya atau penulisnya mampu mengelola rasa negatif itu menjadi energi yang positif, disitulah adanya pikiran dan kehendak disatukan. 

Puisi tentang luka, cerpen tentang duka, prosa tentang nestapa, bisa jadi lahir mewakili penulisnya ataupun tentang kisah seseorang, namun ketika dikelola dengan pikiran dan kehendak yang positif, maka menghasilkan sebuah karya yang di dalamnya mengandung hikmah atau pesan yang positif. 

Mengolah rasa menjadi karya, adalah mengelola rasa (kepekaan, empati, perasaan, dan sebagainya) menjadi energi positif untuk menjadi sebuah hasil karya yang sarat pesan dan makna. 

Untuk mengelola rasa bisa tampil demikian, maka rasa tidak bisa berdiri sendiri, ia harus menyatu dengan cipta (pikiran) dan karsa (kehendak). Dengan proses mengelola rasa demikian sajalah, maka sebuah karya bisa dihasilkan. 

Oleh karena itu, manusia sebagai individu yang diberi kemampuan catur daya (cipta, rasa, karsa dan karya) adalah mahluk paling mulia di jagat dunia ini. Melalui proses me-rasa, maka mendorong manusia untuk men-cipta (berpikir, berimajinasi),  ber-karsa (berkehendak) dan ber-karya (menghasilkan sesuatu). 

Jadi, kesimpulannya rasa adalah bagian dari catur daya (cipta, rasa, karsa dan karya). Dengan rasa, kita bisa berkarya. Dengan rasa, kita bisa menghasilkan sebuah bentuk dari proses berpikir, merasa dan berkehendak. Berkarya adalah proses mewujudkan rasa, cipta dan karsa itu sendiri. 

Salam Trisakti Jiwa...Salam Catur daya...Cipta, Rasa, Karsa dan Karya

Salam hormat. 

Mas Han
Manado, 29 Mei 2021 

Bahan Bacaan  :
Dewantara, Ki Hadjar. Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1977

Friederich Nietzsche, Sabda Zarathustra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun