Presiden Jokowi sudah melantik Nadiem Anwar Makarim menjadi Mendikbud Ristek dan mengangkat Tri Laksana Handoko sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional. Seturut dengan itu berkembang informasi bahwa lembaga balitbang kementerian akan pindah rumah ke BRIN.Â
Beberapa pengamat mengatakan bahwa bergabungnya litbang kementerian ke BRIN merupakan langkah yang baik untuk pengembangan industri berbasis iptek.Â
Bagaimana lembaga riset yang bergerak di bidang riset untuk pengembangan budaya, termasuk riset arkeologi? Berikut pikiran-pikiran awal saya melihat kemungkinannya lembaga riset arkeologi akan bergerak dibawah naungan BRIN.Â
Sebagaimana dikatakan oleh Kepala BRIN yang baru dilantik, Tri Laksana Handoko, bahwa hasil riset akan dibawa untuk berkonstribusi dalam peningkatan ekonomi. Pernyataan tersebut sangat tepat, bahkan untuk lembaga riset di bidang kebudayaan sekalipun.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional beserta 10 Balai Arkeologi di seluruh Indonesia, selama ini terkesan terombamg ambing dalam berbagai dinamika perubahan kementerian.Â
Di Era pemerintahan SBY, kebudayaan berada di rumah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pada masa itu, riset arkeologi diarahkan hasilnya untuk pengembangan pariwisata.Â
Selanjutnya, setelah era SBY, kebudayaan satu atap dengan pendidikan di rumah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, oleh karena itu riset arkeologi diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan peningkatan pendidikan, juga penguatan karakter.Â
Selama ini Puslit dan Balar dianggap bekerja di wilayah hulu, yakni melakukan penelitian arkeologi dan pengembangannya, lalu kemudian direkomendasikan untuk pemanfaatannya oleh BPCB yang melakukan program hilirisasi, salah satunya penetapan dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi sebagai cagar budaya.Â
Namun, seringkali ada anggapan bahwa pekerjaan Balar dan BPCB seringkali tumpang tindih, keduanya dianggap seperti dua sisi mata uang, yang tidak bisa dipisahkan, sehingga seharusnya kedua lembaga pemerintah itu digabungkan, karena satu pihak Balar bekerja untuk penelitian, sedangkan BPCB bekerja untuk pelestarian sumberdaya arkeologi melalui kebijakan untuk penetapan cagar budaya.Â
Namun, karena dua lembaga ini terpisah, bahkan masing-masing dibawah naungan eselon I yang berbeda, sehingga keduanya disibukkan persoalan koordinasi, bahkan ada kesan persaingan karena ego sektoral.Â
Bagi kalangan peneliti arkeologi, apa yang dikerjakan oleh para arkeolog pelestari di BPCB, dianggap seringkali overlapping, para arkeolog di BPCB yang semestinya melakukan kerja-kerja pelestarian, namun tak bisa dihindari mereka juga seringkali melakukan eksplorasi dan penelitian, yang dianggap sebagai domain para peneliti arkeologi di Puslit Arkenas dan Balar.Â